Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Selasa, 30 Juli 2013

Martutu Aek, Tradisi Pembaptisan Batak Kuno


Martutu aek adalah pembaptisan, pada tradisi Batak kuno, dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan membawanya ke homban (mata air di tengah ladang). Upacara ritual ini dimulai dengan doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan kepada Mulajadi na Bolon. Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos ragi idup di atas pasir. Lalu Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke dalam cawan yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi si bayi tersebut berada di dalam badan.
Setelah itu, bayi yang hendak diberi nama dimandikan di mata air. Ulu Punguan lalu menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan menguras bayi tersebut degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan minyak kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut pisau Solam Debata yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon kepada Mulajadi Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain putih tersebut diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi agar mereka di kemudian hari jauh dari marabahaya.
Sumber lain, Negeri Bakara, mengatakan bahwa bila bayinya laki-laki turut dibawa hujur (tombak) sebagai simbol laki-laki, jika perempuan turut dibawa baliga (perkakas tenun berbentuk seperti sisir) sebagai simbol perempuan. Dan saat Datu menciduk air dan memandikan bayi tersebut, dengan diiringi tangis bayi, diucapkanlah oleh Datu: “sai lam tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai suara anak dan boru di masa mendatang) maksudnya sebagai pengharapan agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik laki-laki dan perempuan.
Bayi kemudian dibawa kembali ke rumah, dilanjutkan dengan acara pemberian nama. Pemberian nama dipertimbangkan dengan cermat, karena Suku Batak meyakini nama dan tondi harus sejalan. Jika mambuat goar ni Ompu atau mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka syahlah nama anak tersebut, dilanjut makan bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan syukur.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu Aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Nabolon dan meminta agar bayi itu disucikannya. Setelah Kristen masuk ke Tanah Batak, Adat Martutu Aek ini kemudian menjadi sama dengan baptisan Kristen (Tardidi atau Pandidion) yang dilaksanakan di gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada si Bayi atau anak.

Legenda Guru Saman

guru saman 

Cerita Guru Saman kurang begitu tersiar dihalayak umum, khususnya bagi orang Batak baik berada di kota maupun yang di huta. Kurang tau penyebabnya apa, mungkin saja salah satu alasannya cerita yang konon adalah kejadian nyata dari cerita pengakuan orangtua dulu, bahwa semua karakter Guru Saman yang tidak manusiawi. Pembunuh, preman habis dan urak-urakan.
Mendengar nama Guru Saman, masyarakat begitu menyegani sekaligus sangat membencinya. Banyak yang menghindar apabila melihat apalagi mendekati Guru Saman, karena perbuatannya yang semena-mena jagoan inipun tidak segan-segan untuk berbuat kasar bahkan membunuh semua orang yang dia benci.
Guru Saman, dia adalah seorang turunan Lau Balang yang berasal dari Tanah Karo. Semasa remajanya, Guru Saman belajar ilmu silat (moncak Batak), ilmu kebal tikam dan ilmu hitam lainnya yang didapatkannya dari seorang guru kebatinan. Setelah semua ilmu yang diajarkan gurunya dikuasai, mulailah muncul niat Guru Saman untuk merantau meninggalkan tanah Karo menuju Tanah Tapanuli. Dengan ilmu yang dia miliki membuat dirinya sangat berani kemana saja dihendaki. Bahkan dengan ketenarannya pada saat itu banyak orang yang mengandalkan Guru Saman sebagai pembunuh bayaran. Guru Saman tidak akan pernah segan-segan untuk membunuh manusia, siapa saja termasuk yang tidak disukai atau dibenci Guru Saman.
Hampir seluruh daerah Karo di datangi sembari menujukkan kehebatannya kepada orang-orang. Merek dan Saribu Dolok adalah kampung yang dilaluinya dari jalan-jalan hutan. Disinilah Guru Saman menunjukkan |gobatak.com| kehebatannya dengan berbuat semena-mena terhadap orang-orang di perkampungan dan pasar-pasar. Makan dan minum di warung-warung warga tanpa membayar sepeserpun. Jika warga tidak menuruti segala permintaannya, mereka akan menjadi korbannya.
Kemudian dari dua perkampungan tersebut Guru Saman melanjutkan perjalannya menuju Sipahutar melewati SiborongBorong dan Garora. Kedua tempat persinggahan inipun tidak luput dari aksi brutalnya. Minum tuak dan makan paganggang sesukanya, dia akan memaksa orang perkampungan untuk menyediakan makanan meski sudah tidak ada lagi. Jika tidak, dengan wajah sangar sembari menancapkan belati dengan mengancam – darah pemilik warung tuakpun menjadi minumannya sebagai pengganti tuak. Bukan hanya itu, harta dan uang warga juga dia rampok untuk dia hamburkan diatas meja judi.
Setelah beberapa waktu pergi ke Sipahutar, daerah Tapanuli Utara, dia lakukan juga pembunuhan kepada seorang pelayan gereja yang bernama Guru Martin, sekaligus dengan Klara, istri yang sedang berbadan dua. Pembunuhan dilakukan atas desakan Hermanus, kepala desa Sipahutar dan bekas murid Guru Saman. Seminggu sebelumnya Hermanus sekeluarga sempat menyerang Guru Martin saat pasca ibadah gereja. Hermanus merasa tersinggung karena uang pembangunan gereja yang digunakan selama ini disinggung tiba-tiba dalam pertemuan itu. Ketersinggungan itu akhirnya dibawa pulang ke rumah dan menjadi motif kemarahan Guru Saman dan rencana pembunuhan tepat pada Sabtu malam.
Pembunuhan sadis tersebut yang dilakukan oleh Guru Saman adalah akhir hidupnya. Setelah warga Sipahutar mengetahui siapa pembunuh Guru Martin, segera warga pelapor kepada polisi di Tarutung. Guru Saman dan muridnya itu ditangkap dan diadili. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.
Inilah pesan Guru Saman kepada warga yang menyaksikan hukuman tersebut: “Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”
Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.
Cerita sejarah Guru Saman sudah pernah diangkat dalam bentu drama dan opera oleh para seniman-seniman Batak. Ada motivasi yang diambil dari cerita tersebut diatas yakni tentang sikap orangtua kepada anak-anak agar tidak memancakan anaknya.

Ikan Batak di Mual Sirambe


Mual sirambe, satu embung kecil yang airnya jernih dan dingin. Mengalir dari celah batu yang dipenuhi dengan ikan batak yang lajim disebut “Ihan”.

Berada di desa Bonandolok Kecamatan Balige. Lebih dekat dari Laguboti, jaraknya sekitar 5 kilometer. Yang masih remaja tahun 70-an di Toba sudah pasti tau riwayat Mual Sirambe ini karena menjadi obyek wisata lokal.
Ihan itu jarang menampakkan wujudnya, bila nampak, itu ada pertanda rejeki bagi yang melihatnya, kata penduduk setempat. Dikatakan, ada yang berulang datang kesana karena pada kesempatan pertama ihan itu tidak muncul, tapi sayangnya pada kunjungannya yang kedua, ihan itu juga tidak muncul.
Pada kesempatan kami berkunjung kesana bersama Kabid Perikanan Dinas Pertanian Tobasa, ikan itu sedang ramai bercanada dipermukaan air. Menakjubkan. Ihan itu menyambar kacang yang kami lemparkan setelah dikunyah lebih dahulu. Katanya, air liur kita yang dimakan ikan itu akan semakin mendekatkan kita dengannya. Ikan-ikan itu tidak bereksi terkejut begitu kami sampai di embung dekat lubuknya. Ihan sangat sulit disaksikan di alam habitatnya seperti di sungai dan danau Toba. Gerakannya sangat cepat, punggungnya agak kehitaman.
sirambe_02.jpg 
Penduduk di Sirambe tidak pernah memakan ikan itu. Itu terlarang sejak dahulu. Ikan itu adalah representasi boru Siagian yang memilih akhir hidupnya disana.
Konon, katanya pada zaman dulu kala, seorang putri dijodohkan dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe. Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda. Batu itu, diyakini sebagai perwujutan dari “namboru boru Siagian” yang menjadi penghuni Mual Sirambe.
Ihan Sudah langka.
Ihan memiliki nilai religius tersendiri, terutama dalam upacara adat. Sekarang, ikan tersebut mulai langka. Karena penangkapan terus berlangsung, tapi perkembang biakan di alam menurun.
Pada jaman dulu penangkapan ihan di danau toba biasanya dengan menggunakan sabaran beruba susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan tenang. Setelah mereka masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan. Tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya yang dapat mengganggu pertumbuhan jentik. Pamijahan ikan lajimnya di hulu sungai yang jernih untuk menghindari prederator yang ada dikolam raksasa itu.
Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu adalah alam habitat ihan batak. Masyarakat sekitar yang hendak menangkap ihan dari sungai itu sudah punya aturan dan cara tersendiri. Aturan can cara itu tujuannya untuk tidak terjadi perusakan apalagi niat menghancurkkan ikan sakral itu.
Namun, masyarakat disana pernah mengutarakan kekecewaan mereka, ketika masyarakat dari kota datang menangkap ikan di sungai itu dengan menggunakan stroom listrik. Itu akan membunuh anak ikan, keluh mereka. Belum ada peraturan daerah untuk perlindungan ikan langka itu.
Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Tobasa, melaksanakan kegiatan “Pembuatan Kolam Penampungan”. Tujuannya, agar ikan yang keluar dari lubuk dimaksud, dapat tertampung . Diharapkan, lubuk larangan yang menjadi habitat ihan yang menjadi kebanggan orang Batak ini, bisa dilestarikan. Tujuan paling utama, yaitu pelestarian. Lubuk larangan akan dipagari berdasarkan nilai etika dan estetika. Sehingga, pada gilirannya bisa berpeluang menjadi objek agro wisata minat khusus. Eksistensi ihan batak yang legendaris, harus dapat dipertahankan.
Aek Sirambe, diyakini merupakan habitat paling sesuai. Juga, merupakan situs menarik yang unik dan legendaris. Disana sudah dibangun sebuah kolam untuk pembiakan ihan itu dan selanjutnya dilepas kehilir sungai. Bila ini berhasil, sungai itu akan dipenuhi ihan yang dapat ditangkap dan dimakan.
Kualitas air sirambe sangat bagus, memungkinkan untuk syarat hidup ikan yang sudah hampir langka ini. Yaitu, hanya bisa hidup pada air jernih yang terus mengalir deras, dengan suhu relatif rendah 21 – 25 derajat Celcius. Kebiasaan dari ikan ini, berkelompok dan beriring (mudur-udur).
Dengke Simudurudur
Ada pemahaman saat ini bahwa dikatakan simudurudur karena ikan yang sudah dimasak dijajarkan beberapa ekor diatas nasi dalam piring. Namun leluhur kita yang arif dan bijak itu tidak menggambarkan sfat mati untuk harapan sifat hidup. Ihan dan porapora memiliki sifat hidup mudurudur ke satu arah tertentu. Ini tidak dimiliki sifat ikan mas, menurut pengamatan para leluhur.
Yang dikatakan masyarakat batak dengke simudurudur adalah ihan dan porapora. Ikan mas tidak termasuk kategori dengke simudurudur, tapi disebut dengke namokmok. Kedua jenis ihan dan ikan mas dikategorikan juga dengke sitiotio, tidak termasuk porapora. Simudurudur adalah sebutan dari sifat ikan itu semasih hidup, yaitu ihan dan porapora. Simudurudur bukan menggambarkan (sifat) ikan yang sudah mati, dimasak dan dibariskan dalam piring. Leluhur selalu menggambarkan sifat hidup dan untuk hidup.
Porapora adalah pilihan kedua dalam acara mangupa setelah ihan. Ikan mas adalah pilihan ketiga. Saat ini masyarakat adat sudah melupakan sifat ikan itu yang marudurudur dan telah mengatakan itu pada ikan mas dan menjadi pilihan pertama

Jenis Ikan Batak (IHAN)

 


Ikan Batak (Ikan Jurung) seberat 1,4  

Nama Ikan Batak belakangan ini sudah demikian pamor dikenal di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di Bogor sudah berhasil dibudidayakan dan menjadi komoditas ekslusif yang bernilai mahal, sementara di Tanah Batak tidak demikian perkembangannya. Jenis yang mana sebenarnya yang disebut Ikan Batak itu? Kalau ditanyakan pertanyaan ini kepada orang Batak mungkin saja jawabannya berbeda-beda karena orang Batak sendiri sudah banyak yang tidak tau dan bahkan tidak perduli dengan yang disebut Ikan Batak.
Kekurangtahuan itu ternyata mengakibatkan penamaan Ikan Batak secara umum di dunia ikan di Indonesia berbeda dengan Ikan Batak yang dimaksud oleh orang Batak kebanyakan. Dari kalangan yang banyak berkecimpung dibidang perikanan terutama ikan air tawar baik dari instansi pemerintahan maupun perorangan dalam bentuk upaya pembibitan dan pembesaran mengenal Ikan Batak adalah dari genus ‘Tor’, sementara orang Batak sendiri kebanyakan mengenal Ikan Batak yang disebut ‘ihan’ adalah dari genus Neolissochilus yang memang ikan endemik di Tanah Batak yang sudah terancam punah dan masuk dalam Red List Status di IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan kode Ref.57073 sejak tahun 1996.
Ikan Batak yang dikenal secara umum di dunia perikanan dari genus Tor, memang tampilannya mirip dengan ‘ihan’ genus Neolissochilus, dan memang berasal dari keturunan yang sama yaitu Family Cyprinidae. Kalau yang dimaksud adalah dari jenis genus Tor maka jenis ikan ini masih banyak dijumpai di berbagai habitat aslinya di Indonesia seperti di Tanah Batak (Sumatra Utara), Sumatra Barat, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan mungkin masih banyak ditemukan di daerah lainnya. Jadi pada dasarnya jenis ikan ini belum menjadi ikan yang terancam punah.
Ikan Batak yang dimaksud (genus Tor) bagi orang Batak sendiri dikenal dengan nama dekke Jurung-jurung atau Ikan Jurung. Secara umum Ikan Jurung ini disebut sebagai Ikan Batak karena di Tanah Batak lebih lazim digunakan dalam suatu prosesi adat sebagai simbol kesuburan dengan harapan kepada keluarga yang diberikan penganan dari Ikan Jurung-jurung ini akan berketurunan banyak, baik laki-laki dan perempuan dan mendapat rejeki sebagaimana perilaku Ikan Jurung-jurung tersebut yang sifat hidupnya membaur beriring-iringan.
Ikan Batak Penyandang Mitos
Ikan Batak yang aslinya disebut sebagai Ihan dari genus Neolissochilus memang dimitoskan sebagai makanan para raja-raja dijaman dahulu. Disamping itu Ihan merupakan penganan sesembahan kepada Tuhan (upa-upa) yang diberikan kepada seseorang oleh Hula-hula atau hierarchi clan marga yang lebih tinggi (dalam falsafah kekerabatan Dalihan Natolu) dengan harapan pemberian makanan itu mendapat berkat dari Tuhan berupa kesehatan dan panjang umur, mendapat banyak keturunan, dam mudah rezeki di harta. Dalam prosesi adat perkawinan, penganan ini juga diberikan kepada pihak boru (hierarchi marga yang lebih rendah) sebagai balasan pemberian makanan yang enak berupa suguhan makanan (tudu-tudu sipanganon) yang bermakna sama mendapat berkat dari Tuhan.
Tatalaksana pemberian makanan ikan seperti ini masih berlangsung sampai sekarang namun sudah menuju degradasinya karena tidak ditemukan lagi jenis Ihan di Tanah Batak (punah). Sebagai pengganti maka jenis ikan Mahseer dari genus Tor (Dekke Jurung-jurung) merupakan pengganti penganan yang dimaksud. Ternyata jenis inipun mulai langka ditemukan di Tanah Batak dan digantikan menjadi ikan mas dari genus Cyprinus. Jenis ikan mas sebagai pengganti penganan adat tersebut adalah dari spesies Cyprinus carpio yang berwarna kuning kemerahan. Jenis ikan mas yang berwarna kuning kemerahan ini kurang diminati oleh masyarakat di Pulau Jawa sehingga masyarakat Batak yang berada di Jawa ini terpaksa menggunakan ikan mas berwarna hitam sehingga penganan tersebut kurang ceria tampilannya dan terlihat kusam warnanya.
Sungai Sirambe Nauli terletak di Desa Bonan Dolok (“Bondol”), kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara, terdapat Ikan Batak yang mereka sebut Ihan namun sebenarnya adalah Ikan Batak yang secara umum disebut sebagai Ikan Jurung dari genus Tor. Oleh warga setempat sungai itu dianggap keramat namun berfungsi juga sebagai sumber air untuk minum. Masyarakat setempat biasanya mengambil air minum dari sungai tersebut lantaran airnya sangat jerni dan bersih. Sungai tersebut juga merupakan kolam mandi dan berenang sepuasnya, dan juga dipergunakan untuk tempat ibu-ibu mencuci pakaian.
Uniknya, di Sungai itu hidup ratusan ekor Ikan Batak berukuran besar dan kecil, Ikan Batak inilah yang menjadikan Desa Bonan Dolok istimewa dan menjadi salah satu objek parawisata di Balige Kabupaten Toba Samosir. Biasanya Ikan Batak tersebut bersembunyi dalam goa-goa batu yang berada didasar kali dan akan keluar saat pengunjung turun ke sungai Sirambe Nauli untuk memberi makan, missal seperti kacang-kacangan atau pun nasi.
Masyarakat setempat mengatakan air sungai dapat dipergunakan sebagai obat, namun Ikan Batak yang terdapat disitu tidak dapat diambil. Konon sudah pernah ada pengunjung yang mengambil Ikan Batak dari sungai tersebut dan dimasaknya dirumahnya namun anehnya Ikan Batak itu hanya setengah yang matang dan setengah lagi tidak matang. Disebutkan pula, apabila ada pengunjung yang mengambil Ikan Batak itu akan mengalami sakit keras.
Di Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Tobasa, juga menjadi habitat Ikan Batak. Masyarakat sekitar yang hendak menangkap Ikan Batak dari sungai itu sudah punya aturan dan cara tersendiri. Namun sering pula masyarakat pengunjung dari kota datang menangkap ikan di sungai itu dengan menggunakan stroom listrik. Itu akan membunuh anak ikan, keluh mereka. Belum ada peraturan daerah untuk perlindungan ikan langka itu.
Di Desa Rani Ate, Kecamatan Padang Sidempuan Barat Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatra Utara terdapat sebuah sungai yang menjadi habitat Ikan Jurung. Konon sekitar tahun 1940 seorang guru tarekat naqsabandiyah dari Tabuyung yang dipangil sebagai Syekh Tabuyung yang tinggal di sebuah mesjid di tepi kali mengambil 7 ekor Ikan Batak (Ikan Jurung) dan menaruhnya di sungai di belakang mesjid dengan maksud agar air sungai menjadi bersih untuk dipakai sebagai air wudhu. Syekh Tabuyung melarang orang-orang sekitar untuk mengambil ikan itu kecuali bila ikan itu melewati 75 m kearah hulu dan 75 m kearah hilir dari mesjid.
Bagi warga setempat, Ikan Batak itu telah menjadi keajaiban karena mereka tak mau pindah dari lokasi sekitar masjid dan jarang berenang di luar batas yang digariskan Syekh Tabuyung. Bahkan pada tahun 1980-an, ketika seluruh desa tenggelam banjir dan sungai ini pun meluap, Ikan Batak itu ikut pergi bersama warga ke arah hulu. Namun, ketika air surut dan warga kembali, ikan tersebut pun kembali lagi di daerah sekitar masjid. Ikan-ikan itu tak pernah jauh-jauh dari masjid. Sepertinya, ikan itu tahu tugas mereka untuk membersihkan air di sekitar masjid. Fenomena itu membuat warga kian percaya dengan keajaiban Ikan Batak itu dan mereka bertekad untuk menjaganya turun-temurun. Warga pun bersepakat untuk tak mengambil ikan itu sama sekali, hingga kini.
Warga percaya bahwa siapa yang mengambil ikan itu akan terkena malapetaka. Konon ceritanya sudah banyak bukti orang yang mengambil dan makan Ikan Batak dari sungai ini berakhir mati mengenaskan. Misalnya, seorang pendatang dari Padang Sidempuan yang tengah mengerjakan proyek pembuatan jalan di desa ini beberapa tahun lalu yang nekat mengambil dan memakan Ikan Batak dari sungai ini, kemudian mati tiba-tiba. Warga sini tak ada lagi yang berani mengambil ikan larangan ini. Jadilah Sungai Rani Ate, yang hanya selebar sekitar lima meter itu, menjadi semacam lubuk larangan, tempat pelestarian ekologi bagi ikan jurung yang di habitatnya terancam punah. (disarikan dari www.mandailing.org.)
Di Sungai Timbulun Kabupaten Solok Sumatra Barat, masyarakatnya menebarkan jenis Ikan Batak agar tetap lestari dan masyarakat dilarang menangkap atau memancingnya paling tidak selama setahun. Di Kabupaten Agam ada sebuah sungai yang disebut Sungai Janiah walaupun airnya tidak jernih, tetapi demikianlah namanya dan menjadi objek wisata masyarakat sekitar. Ada lengenda yang melingkupi cerita rakyat di situ mengenai ikan sakti yang hidup di Sungai Janiah dan masyarakat tidak berani menangkapnya; berikut ceritanya:
Muchtar Tuanku Sampono (96 tahun), tokoh masyarakat Sungai Janiah mengatakan, ikan di Sungai Janiah ini tidak ‘sakti’. Ikan tersebut berasal dari anak yang hilang. Malam harinya ibu anak tersebut bermimpi agar dibuat nasi kunyit (nasi kuning) dan dipanggil anaknya di Sungai Janiah.
“Sejak dulu tidak ada yang berani memakan ikan di Sungai Janiah ini, karena mereka enggan saja karena sepertinya memakan manusianya saja, bahkan Belanda dan Jepang tidak berani menjamah ikan ini,” katanya kepada PadangKini.com. Menurut Tuanku Sampono tidak ada yang tahu jenis dan nama ikan tersebut. Ikan ini seperti Ikan Batak (ikan gariang, nama di daerah itu), namun kata orang Jambi ikan ini sejenis ikan Kalari. Seperti yang dikatakan oleh Tuanku Sampono ikan-ikan tersebut sejak dulu tidak terlihat anak-anak ikannya. Apakah cerita-cerita rakyat itu benar atau tidak? Yang jelas legenda Sungai Janiah mendatangkan berkah bagi penduduk sekitar dengan banyaknya orang berkunjung setiap hari.
Versi lain menurut buku C. Pangguluh bahwa asal mula ikan yang ada di Sungai Janiah dari penjelmaan anak manusia dan anak jin yang telah dikutuk oleh Tuhan, karena kedua makhluk yang berlainan alam ini telah melanggar janji yang telah mereka sepakati.
Alkisah, penduduk Nagari Tabek Panjang di Kecamatan Baso ini berasal dari puncak gunung Merapi. Karena persediaan air di Gunung Merapi semakin terbatas, maka timbullah ide mencari hunian baru di bawah Gunung Merapi. Maka diutuslah Sutan Basa untuk mencarai lokasi baru itu, Sutan Basa menemukan kawasan yang memiliki Sungai dan air mancur yang sangat jernih.
Tapi daerah itu telah ditempati oleh bangsa jin, maka Sutan Basa menyampaikan keinginannya kepada jin tinggal dikawasan itu bersama kelompoknya. Maka diadakanlah kesepakatan antar kepala suku masing-masing, bahwa boleh tinggal di daerah itu, asalkan kalau anak kemenakan dari Datuak Rajo Nando mamak dari Sutan Basa menebang pohon agar membuang serpihan dan sisa kayu ke arah rebahnya pohon. Kalau kesepakatan ini dilanggar, maka keturunan dari keduanya akan memakan kerak-kerak lumut, tempatnya tidak diudara tidak juga di daratan.
Setelah sepakat tinggallah kaum tersebut di Sungai Janiah. Suatu waktu ada keinginan untuk membangun gedung pertemuan atau balairung untuk tempat berkumpul. Maka ditugasilah oleh Sutan Basa sekelompok irang untuk mencari kayu sebagai tonggak tuo. Maka pergilah mereka ke hutan. Karena begitu senang bercampur lelah, mereka langsung menebang pohon yang mereka nilai cocok, tapi mereka lupa akan janji yang telah disepakati oleh kepala suku. Karena tidak mengindahkan janji tersebut maka hasil tebangan pohon tersebut mengenai anak- anak jin. Kejadian ini membuat marah keluarga jin, mereka menurunkan batu-batu dari Bukit Batanjua yang ada di sekitar sungai tersebut, yang menyebabkan gempa.
Keadaan ini menyebabkan hubungan tidak harmonis antara keduanya. Suatu waktu Datuak Rajo Nando dan istrinya pergi membersihkan ladang tebu mereka dengan meninggalkan anak perempuan mereka berusia 8 bulan. Setelah pulang dari ladang, tidak ditemui anak tersebut. Maka seluruh orang kampung diperintah mencari anak hilang tersebut, sampai larut malam seluruh usaha seakan sia-sia.
Malam hari istri Datuak Rajo Nando bermimpi agar memanggil anaknya di Sungai Janiah dengan cara membawa beras dan padi dan memanggil anaknya seperti memanggil ayam. Esok siang dilakukanlah seperti di mimpinya. Setelah dipanggil datanglah dua ekor ikan yang satu tampak jelas dan yang satu lagi tampak samar. Maka ikan yang tampak jelas itu adalah anak Datuak Rajo Nando dan satunya lagi adalah anak jin. Hal ini terjadi karena keduanya melanggar janji, sehingga termakan sumpah.
Di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, tepatnya disebuah desa bernama Lubuak Landua di Kecamatan Pasaman terdapat objek wisata Lubuak Landua yang ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat ikan larangan yang berada di sungai Batang Luan, yang mengalir di tepi surau Lubuak Landua. Ikan-ikan ini telah berusia ratusan tahun sama usianya dengan surau Lubuak Landua. Ikan larangan adalah Ikan Batak (Gariang) dipelihara dengan memberi makan dan tidak boleh diambil sesuai dengan kesepakatan masyarakat. Dulunya ikan-ikan ini diberi uduah semacam ilmu teluh, agar tidak dicuri, apabila ada yang mencurinya akan mendapat penyakit bahkan mengakibatkan kematian. Namun saat ini hal tersebut sudah tidak digunakan lagi. Tujuan utama dari memelihara ikan liar di sungai ini adalah untuk sumber bibit ikan, melestarikan lingkungan, menjadikan sungai bersih dari kotoran dan sebagai daya tarik pengunjung dari luar daerah objek wisata.
Di Desa Talawi, Nagari Baruang-baruang Balantai, Kecamatan Koto-XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terdapat Lubuak Larangan sebagai kawasan wisata yang dipenuhi ribuan ikan-ikan jinak jenis Ikan Batak (Gariang) namun dilarang untuk ditangkap. Apabila seseorang terbukti menangkap ikan itu maka akan dikenakan denda senilai 100 zak semen. Diceritakan bahwa pada malam hari ikan-ikan tersebut tidak kelihatan, namun pada pagi harinya sewaktu dikunjungi orang maka ikan-ikan itu berkumpul kembali. Pada hari tertentu setiap tahunnya, digelar lomba memancing dengan hadiah Sepeda Motor, Kulkas, dan Televisi bagi yang berhasil menangkap Ikan Batak berukuran lebih dari 2 kg, namun tak seorangpun yang mendapat hadiah.
Di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, terdapat sebuah kolam pemandian benama kolam Cibulan dengan ukuran 30m x 70m dengan kedalaman bervariasi dibangun tahun 1939 disebut menjadi kolam pemandian tempat berenang bersama-sama dengan Ikan Batak dengan sumber airnya dari Gunung Ciremai.
Ikan Batak atau Ikan Dewa oleh masyarakat setempat disebut Ikan Kancra Bodas dipercaya sebagai ikan istimewa yang membawa berkah bagi siapapun yang dapat menyentuh badannya. Legenda tersebut terus tersebar dari mulut ke mulut- hingga masyarakat sekitar Cirebon bahkan dari luar Cirebon, datang ke Kuningan ingin melihat Ikan Batak tersebut, baik hanya sekedar melihat ataupun mempunyai tujuan yang lain. Diceritakan, ” Dahulu kala ketika Prabu Siliwangi masih hidup, beliau memerintah dengan adil dan bijaksana, sehingga hampir semua prajurit dan kawulanya tunduk dan hormat pada Sang Prabu. Namun tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan Prabu Siliwangi, walaupun sudah memerintah dengan adil, masih ada saja prajurit yang tidak suka dan tidak puas terhadap Prabu Siliwangi. Singkat cerita, dikutuklah prajurit-prajurit yang membangkang tersebut sehingga menjadi ikan, yang keberadaannya masih bisa kita saksikan sampai sekarang di kolam Cibulan”.
Dikatakan, tak ada satu orangpun yang berani mengambil ikan ini, baik hanya sekedar dipelihara, atau bahkan dimasak untuk dimakan. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, barangsiapapun yang berani menganggu ikan-ikan tersebut, terhadap dirinya akan terjadi sesuatu bencana. Ini cerita yang bisa kita dengar dari masyarakat sekitar, boleh percaya atau tidak. Bahkan menurut cerita yang berkembang, jumlah ikan yang ada di kolam ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah bertambah atau berkurang, tetap segitu-gitu saja.
Pernah sekali terjadi tiba-tiba, ikan-ikan Batak yang berada dalam kolam tersebut hilang entah kemana, kemudian esok harinya kembali seperti semula. Sadar akan potensi wisata tentang keberadaan ikan Batak, maka desa setempat membangun tempat ini, sehingga selain para pengunjung bisa melihat Ikan Batak yang terlihat cantik dan seksi, juga para pengunjung bisa berenang bersamanya. Jangan khawatir, Ikan Batak atau ikan Dewa atau ikan Kancra Putih yang bersisik putih mengkilap, tidak akan menganggu manusia yang ingin berenang bersamanya, malah seakan-akan mereka merasa senang, karena kadang-kadang sambil berenang mereka mengikuti kita. (Cerita ini disarikan dari situs liburan.info).
Ikan Batak dari genus Tor, di Jawa Barat disebut sebagai Ikan Dewa yang dikeramatkan sehingga masyarakat tidak mengkonsumsinya. Di daerah Kuningan Jawa Barat, konon bila masyarakat menemukan ikan ini mati maka mereka memperlakukannya layaknya manusia yang diberi kain kafan dan dikuburkan. Di beberapa daerah Jawa Barat lainnya seperti di kawasan Telaga Remis dan Telaga Nilem, ikan ini disebut dengan nama Ikan Kancra.
Demikianlah mitos yang melegenda di masyarakat tentang Ikan Batak yang secara alami ternyata mampu melestarikan jenis ikan ini dari kepunahannya.
Sebagai Ikan Komersial
Ikan Batak yang disebut Ikan Jurung, selain sebagai penganan dalam prosesi adat oleh masyarakat Batak, juga dikonsumsi sebagai makanan biasa. Di daerah Bahorok – Sumatra utara, Ikan Batak adalah sebagai ikan sajian di restoran atau warung makan yang disajikan berupa ikan steam yang satu porsinya ukuran 1 ons seharga Rp 20.000. Harga Ikan Batak yang berukuran sekitar 1 kg di Bahorok adalah sekitar Rp 200.000. Bukan hanya di daerah Bahorok, tetapi di kota Medan relativ banyak restoran yang menyajikan menu dari Ikan Batak.
Kalau di Tanah Batak khususnya bahwa Ikan Batak sebagai ikan konsumsi sementara banyak pula kawasan menganggapnya sebagai ikan keramat dan mempercayai bahwa yang memakannya akan mendapat sakit, bahkan musibah yang membawa kematian, tentu sangat jauh dari logika akal sehat, namun cerita yang dimitoskan ini memang diakui efektif untuk melestarikannya.
Yang menjadi pertanyaan besar bahwa ikan ini terpromosikan secara berlebihan sehingga ada yang memanfaatkannya menjadi komoditi yang sangat mahal harganya. Kalau di Tanah Batak harganya dapat mencapai Rp 200.000 – Rp 350.000 untuk ukuran minimal 1 kg, maka di Bogor yang sudah mengembang biakkannya berharga sampai mencapai Rp 1.000.000 per ekor untuk ukuran 1 kg. Luar biasa…. Tendensi mahalnya ikan ini justru akan memotivasi masyarakat untuk mengambil Ikan Batak ini secara tak terkendali. Mudah-mudahan tidak terjadi.
Sebenarnya sebaran habitat Ikan Batak sangat meluas dan masih banyak ditemukan dikawasan Asia Tenggara. Seluruh daerah di Pulau Sumatra masih ditemukan jenis Ikan Batak dari genus tor ini. Bahkan sebaran ini terdapat pula di Pulau Jawa dan Kalimantan. Jadi anggapan bahwa ikan ini menuju kepunahannya tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan. Para penangkar di Pulau Jawa sudah banyak yang mengembangkannya dan bahkan instansi perikanan sudah mengembangbiakkannya dengan sangat gampang.
Kalau di Sumatera Utara, khususnya Tanah Batak memang sudah berkurang pasokannya karena kepedulian masyarakat yang masih rendah memperlakukan alam sebagai lingkungan ekosistim yang perlu dijaga. Banyak masyarakat Batak yang tidak terusik dengan mitos sehingga mereka menangkap Ikan Batak (ikan Jurung) ini dengan setrum listrik, bahkan dengan penaburan racun sehingga tentusaja perkembangannya terhambat dan memang sudah menuju kepunahan di daerah itu.
Salah Kaprah
 

Jenis Ikan Batak genus Tor (Ikan Jurung), bukan Ihan
Ikan Batak
yang dikenal secara umum di Indonesia adalah dari genus Tor, yang di Tanah Batak dikenal dengan Dekke Jurung-jurung (Ikan Jurung). Memang benar Ikan Jurung ini dinamai Ikan Batak, namun Ikan Batak yang disebut sebagai Ihan adalah ikan asli Batak yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari genus Neolissochilus.

Ikan Batak yang secara umum di Indonesia memiliki nama-nama lain di setiap daerah seperti: Ikan Jurung (Sumatra Utara), Ikan Kerling (Aceh), Iken Pedih (Gayo), Ikan Gariang (Padang), Ikan Semah (Palembang), Ikan dewa (Jawa Barat), Ikan Kancra bodas, Kencara (Kuningan Jawa Barat), Ikan Tambra, Tombro (Jawa), Ikan Kelah, Ikan Sultan (Malaysia), Ikan Mahseer (Internasional), dan mungkin masih banyak nama lainnya.
Secara morfology memang sulit untuk membedakan antara genus Tor dan genus Neolissochilus, bahkan boleh dikata ada kemiripan bentuk dengan jenis ikan mas kecuali ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan mas (Cyprinus Carpio) yang memang dari keluarga yang sama yaitu family Cyprinidae. Kemiripan inilah yang membuat orang-orang lantas menamakan Ikan Jurung sebagai Ikan Batak, padahal Ikan Batak Asli adalah yang disebut Ihan adalah dari genus Neolissochilus yang sudah menuju kepunahan, dan salah satu spesiesnya Neolissochilus thienemanni, Ahl 1933 adalah ikan endemik Danau Toba dan umumnya di Tanah Batak.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini diuraikan taxonomi Ihan (Ikan Batak Asli) yang masuk dalam status The Red List of Threatened Species oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources):
IHAN:
Taxonomy:
  • Kingdom: Animata
  • Phylum: Chordata
  • Class: Actinopterygii
  • Order: Cypriniformes
  • Family: Cyprinidae
  • Scientific Name: Neolissochilus thienemanni
  • Species Authority: (Ahl, 1933)
1. Assesment Information:
  • Red List Category & Criteria: Vulnerable D2 ver2.3
  • Years Assessed: 1996
  • Annotation: Need updating 
  • Assessor/s: World Conservation Monitoring Center 
2. Geographic Range
  • Range Description: Endemic to Lake Toba in Sumatera
  • Countries: Natives: Indonesia (Sumatera)
3. Habitat & Ecology
  • Systems: Freshwater
IUCN Red List Status (Ref. 57073) (IUCN 2006 2006 IUCN red list of threatened species. www.iucnredlist.org.)
Dari genus Neolissochilus yang terdapat di Indonesia ada dua spesies yaitu species Neolissochilus Sumatranus, yang terdiri dari tiga sub-spesies yaitu Lissochilus sumatranus, Weber & de Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus, Datta & Karmakar, 1984; Neolissochilus sumatranus, Doi, 1997. Spesies lain adalah species Neolissochilus thienemanni, Doi, 1997 dengan sub-species Lissochilus thienemanni, Ahl, 1933.
Untuk lebih memahami perbedaan Ikan Batak yang diartikan secara umum dan Ikan Batak Asli yang dikenal oleh orang Batak sebagai Ihan, berikut ini diuraikan taxonomy masing-masing:
Taxonomy Ikan Jurung (Ikan Batak = Ikan Dewa), terdapat 24 spesies yang baru tercatat:
  • Kingdom: Animalia
  • Phylum: Chordata
  • Subphylum: Vertebrata
  • Superclass: Osteichthyes
  • Class: Actinopterygii
  • Subclass: Neopterygii
  • Infraclass: Teleostei
  • Superorder: Ostariophysi
  • Order: Cypriniformes
  • Superfamily: Cyprinoidea
  • Family: Cyprinidae
  • Subfamily: Cyprininae
  • Genus: Tor Gray, 1834
Species:
  1. Tor ater, Roberts, 1999
  2. Tor barakae, Arunkumar & Basudha, 2003 , Barakae mahseer
  3. Tor douronensis, Valenciennes, 1842, khela mahseer or river carp
  4. Tor hemispinus, Chen & Chu, 1985
  5. Tor kulkarnii, Menon, 1992, Dwarf mahseer , uncertain only one specimen found till now
  6. Tor khudree, Sykes, 1839, Deccan mahseer
  7. Tor laterivittatus, Zhou & Cui, 1996
  8. Tor macrolepis, Heckel, 1838, uncertain species
  9. Tor polylepis, Zhou & Cui, 1996
  10. Tor progeneius, McClelland, 1839, Jungha mahseer
  11. Tor qiaojiensis, Wu, 1977
  12. Tor malabaricus, Jerdon, 1849, Malabar mahseer
  13. Tor mosal, Hamilton, 1822, Mosal Mahseer; Tor mosal mahanadicus, (closer to Tor putitora)
  14. Tor mussullah, Sykes, 1839, High-backed mahseer, Hump-backed mahseer or Southern mahseer
  15. Tor putitora, Hamilton, 1822, Himalayan mahseer or Golden mahseer
  16. Tor sinensis, Wu, 1977, Chinese mahseer
  17. Tor soro, Valenciennes, 1842
  18. Tor tambra, Valenciennes, 1842
  19. Tor tambroides, Bleeker, 1854, Thai mahseer
  20. Tor tor, Hamilton, 1822, Red-finned mahseer, Short-gilled mahseer or Deep-bodied mahseer
  21. Tor yingjiangensis, Chen & Yang, 2004
  22. Tor yunnanensis, Wang, Zhuang & Gao, 1982
  23. Tor remadevi, NATP report, 2004 uncertain – only one specimen found
  24. Tor moyarensis, NATP report, 2004 uncertain – only one specimen found
Taxonomy Ihan (Ikan Batak Asli), terdapat sekitar 24 spesies:
  • Family: Cyprinidae
  • Sub family: Cyprininae
  • Genus: Neolissochilus
Species:
  1. Neolissochilus baoshanensis (Chen & Yang 1999)
  2. Neolissochilus benasi (Pellegrin & Chevey, 1936)
  3. Neolissochilus blanci (Pellegrin & Fang, 1940): Puntius blanci; Barbus blanci Pellegrin & Fang, 1940; Labeobarbus blanci Pellegrin & Fang, 1940
  4. Neolissochilus blythii (Day, 1870): Puntius blythii; Barbodes blythii Day, 1870; Barbus blythii Day, 1870
  5. Neolissochilus compressus (Day, 1870): Puntius compressus; Barbodes compressus Day, 1870; Barbus compressus Day, 1870
  6. Neolissochilus dukai (Day, 1878): Puntius dukai; Barbus dukai Day, 1878; Neolissochilus dukai Doi, 1997
  7. Neolissochilus hendersoni (Herre, 1940): Lissochilus hendersoni Herre, 1940
  8. Neolissochilus heterostomus (Chen & Yang 1999)
  9. Neolissochilus hexagonolepis (McClelland, 1839): Puntius hexagonolepis; (synonym); Barbus hexagonolepis McClelland, 1839; Acrossocheilus hexagonolepis Shrestha, 1978; Barbodes hexagonolepis Chu & Cui, 1989; Neolissochilus hexagonolepis Talwar & Jhingran, 1991; Barbus hexagonlepis Zhang et al., 1995
  10. Neolissochilus hexastichus (McClelland, 1839)
  11. Neolissochilus innominatus (Day, 1870): Puntius innominatus; Barboides innominatus Day, 1870; Barbus innominatus Day, 1870
  12. Neolissochilus longipinnis (Weber & de Beaufort, 1916): Labeobarbus longipinnis Weber & de Beaufort, 1916
  13. Neolissochilus nigrovittatus (Boulenger, 1893): Puntius nigrovittatus; Barbus nigrovittatus Boulenger, 1893
  14. Neolissochilus paucisquamatus (Smith, 1945): Barbus paucisquamatus; Puntius paucisquamatus Smith, 1945
  15. Neolissochilus soroides (Duncker, 1904): Puntius soroides; Barbus soroides Duncker, 1904
  16. Neolissochilus spinulosus (McClelland, 1845): Puntius spinulosus; Barbus spinulosus McClelland, 1845
  17. Neolissochilus stevensonii (Talwar & Jhingran, 1991): Puntius stevensonii; Barbodes stevensonii Day, 1870; Barbus stevensonii Day, 1870
  18. Neolissochilus stracheyi (Day, 1871): Puntius stracheyi; Barbus stracheyi Day, 1871; Neolissochilus stracheyi Talwar & Jhingran, 1991
  19. Neolissochilus subterraneus Vidthayanon & Kottelat, 2003
  20. Neolissochilus sumatranus Doi, 1997: Lissochilus sumatranus Weber & de Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus Datta & Karmakar, 1984; Neolissochilus sumatranus Doi, 1997
  21. Neolissochilus thienemanni (Ahl, 1933): Lissochilus thienemanni Ahl, 1933
  22. Neolissochilus tweediei (Herre and Myers, 1937): Lissochilus tweediei Myers, 1937
  23. Neolissochilus vittatus (Smith, 1945): Acrossochilus vittatus Smith, 1945
  24. Neolissochilus wynaadensis Talwar & Jhingran, 1991: Puntius wynaadensis; Barboides wynaadensis Day, 1873; Barbus wynaadensis Day, 1873.
Demikianlah bahwa ada perbedaan pemahaman tentang Ikan Batak. Ikan Jurung yang disebut sebagai Ikan Batak secara umum bukanlah Ikan Batak yang disebut Ihan, walaupun memang sama-sama sebagai Ikan Batak. Kalau Ikan Batak yang disebut Ihan (Neolissoichus Thienemanni) memang sudah tak kelihatan lagi dan mungkin sudah punah. Kalau jenis ikan langka ini ada ditemukan oleh masyarakat Batak khususnya di Danau Toba sebagai ikan endemic di ekologi aslinya, maka dihimbau untuk menyerahkannya kepada para ahlinya agar berkesempatan untuk diselamatkan.
Baru-baru ini di bulan Nopember 2009, Tim peneliti dari Balai Riset Perairan Umum (BRPU) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia berhasil menemukan 4 (empat) spesies ikan dari genus Tor (Ikan Batak = Ikan Jurung) di Danau Laut Tawar Takengon Aceh Tengah. Penemuan ini sangat menggembirakan karena di Danau Laut Tawar itu menjadi habitat terbanyak spesies ini, dimana sebelumnya di Jawa Barat hanya terdapat 3 spesies dari genus Tor ini. Spesies yang ditemukan di Danau Laut Tawar ini adalah species Tor Douronensis, Tor Tambra, Tor Soro dan Tor Tambroides.
Yang lebih mengagumkan lagi bahwa di Danau Laut Tawar itu ditemukan pula Ihan dari species Neolissochilos Longipinnis. Ikan-ikan langka tersebut diperoleh dari dua lokasi yaitu dari Kampung Lumut Kecamatan Linge dan sebagian ikan dari Samarkilang Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah. Mungkinkah Ihan ini dibawa oleh orang Batak yang sudah bermigrasi sejak jaman dahulu di Aceh Tengah? Tentu semua berharap bahwa jenis ikan khususnya Ihan yang ditemukan itu dapat diteliti lebih lanjut untuk dikembangkan dan bila perlu dikembangkan pula di Danau Toba sebagai habitat asli Ihan. (maridup hutauruk, jan2010).

Legenda Sigale-gale


 


Tapanuli sebagai kampung halaman suku Batak memiliki berbagai cerita rakyat sebagaimana cerita rakyat yang dimiliki suku-suku lain di Indonesia.  Berbagai peristiwa dalam kehidupan, secara tidak langsung dapat menjadi sebuah bentuk cerita yang disampaikan secara lisan, baik dari orang tua kepada anak atau pun dari satu kampung ke kampung yang lain.

Faktor alam atau lingkungan merupakan salah satu penyebab terbentuknya suatu model atau gaya dari suatu daerah, begitu pula yang dialami oleh orang Batak. Faktor alam mereka mempengaruhi gaya hidup dan juga bentuk kepercayaannya. Cerita-cerita yang terus diwarisi dari generasi ke generasi merupakan cara untuk tetap menjaga tradisi dan juga supaya tidak punahnya sejarah kehidupan bangsa tersebut.
Legenda-legenda yang merupakan bentuk dari cerita kehidupan masyarakat menjadi suatu pedoman untuk mengatur atau mengarahkan kehidupan untuk lebih baik. Legenda-legenda masyarakat sungguh banyak, misalnya Legenda Batu Gantung, Legenda Tunggal Panaluan, Legenda Danau Toba, Asal Mula Orang Batak, Legenda Sigalegale dan lain sebagainya. Kesemuanya itu adalah cerita-cerita yang mempengaruhi kehidupan orang Batak dalam kebudayaan dan kepercayaan mereka. Untuk hal itulah maka kami dari kelompok akan menyajikan salah satu legenda Batak yang mempengaruhi sistem kehidupan kebudayaan dan kepercayaan orang Batak. Ada pun legenda yang kami akan ceritakan adalah legenda Sigalegale yang memiliki makna budaya dan kepercayaan masyarakat Batak seluruhnya terkhusus masyarakat Batak di Toba.
II. Cerita Sigalegale
Pada masa yang silam, apabila seorang terkemuka meninggal sebelum mempunyai anak sebagai penyambung keturunan, dianggap merupakan kesialan. Untuk mencegah supaya nestapa seperti itu tidak berulang kembali, maka diadakanlah tarian duka menggunakan boneka dari kayu.
Boneka tersebut bentuknya seperti manusia, kepalanya dilumuri dengan kuning telur. Giginya dicat hitam menggunakan jelaga baja, pada lekuk mata dilekatkan buah berwarna merah. Boneka diberi pakaian ulos Batak, di atas kepalanya dilekatkan rambut kuda atau ijuk, atau diberi ikat kepala. Selanjutnya boneka diletakkan di atas papan beroda, lalu ditarik berkeliling kampung. Kaum kerabat memeluk boneka sambil menangis tersedu-sedu, sebagai tanda perpisahan untuk selamanya. Jika boneka duka diarak di kala terang bulan, akan membawa suatu perasaan pilu dan mengharukan. Pada malam terakhir acara tari-tari duka itu, boneka dibawa keluar kampung, lalu dicampakkan ke Danau Toba, maksudnya supaya di masa yang akan datang, tidak berulang lagi nasib seperti yang dialami oleh keluarga yang malang itu.
Sigalegale adalah sebuah patung yang terbuat dari kayu. Konon, kayu yang digunakan untuk membuat patung tersebut adalah “Hau Pokki” (Kayu Pokki). Di daerah Kalimantan, kayu tersebut dikenal dengan sebutan “Kayu Ulin” (Kayu Besi). Berdasarkan informasi yang ada, pada tahun 1980-an, Sigalegale dimainkan dengan diiringi Gondang Hasapi (Alat musik yang menggunakan alat musik kecapi, dan dalam memainkan Gondang Kecapi ini sangat diperlukan unsur perasaan. Alasannya adalah karena Gondang Kecapi ini terkesan lebih syahdu dan lembut) dan bukan Gondang Bolon (Alat musik yang tidak menggunakan alat musik kecapi) dan tidak lagi mengandung unsur mistis. (Dulu, pada waktu Dr. I. L. Nommensen datang ke tanah Batak, Gondang Bolon tersebut adalah salah satu kebudayaan yang sangat ditentang oleh Nommensen dari sekian banyak kebudayaan lainnya, karena dulu pemakaian Godang Bolon tersebut identik dengan magis atau mistik). Pertunjukan Sigalegale pun sudah menggunakan tali yang kemudian ditarik oleh dua orang dalang dan lima orang pemain musik.
Seiring dengan majunya zaman, apalagi di zaman sekarang ini, maka dengan sendirinya pemikiran manusia pun akan berubah, terutama dalam hal kebudayaan. Akhirnya, keinginan masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan Sigalegale pun semakin berkurang dan dalang yang memainkan Sigalegale ini pun berkurang menjadi satu orang dan alat musik yag digunakan pun menjadi alat musik yang sudah dikasetkan.
Tidak ada sumber yang pasti untuk legenda Sigalegale ini. Banyak versi yang beredar untuk menceritakan legenda tersebut. Namun semuanya itu mengandung makna dan pesan yang sama. Untuk itu kami memilih beberapa cerita yang memiliki cerita yang memiliki kesamaan dan juga lebih menyentuh kepada kepercayaan dan kebatinan.
Menurut cerita dari bapak Jimmy Sigiro seorang dalang patung Sigalegale asal mula boneka duka (Sigalegale) itu adalah sebagai berikut:
Sekitar ± 300 tahun yang lalu, seorang keturunan si Raja Batak yaitu Raja Rahat yang konon adalah seorang raja yang kaya dan memiliki banyak tanah yang berada ± 50 Km dari Tomok, di sekitar pegunungan Desa Lumban Suhi (saat ini kerajaan itu sudah tidak terlihat lagi). Si Raja Rahat hanya memiliki satu orang anak saja yaitu si Raja Manggele. Pada usianya yang menjelang dewasa, ± 15 – 16 tahun, si Raja Rahat memerintah si Raja Manggele untuk memperluas daerah kekuasaannya, yang mana dalam hal itu mereka harus berperang. Menurut cerita, si Raja Manggele adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya, sehingga dia pun menyanggupi perintah ayahnya tersebut.
Kemudian ia bergegas pergi ke daerah yang hendak dikuasai, bersama dengan prajurit-prajurit ayahnya. Melihat semangat si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat anaknya dan ia sangat mengasihi si Raja Manggele. Namun, kebahagiaan dan kesenangan itu tidak bertahan lama. Dalam peperangan itu Raja Manggele terkena musibah. Ia terkena panah sehingga terluka cukup parah. Pada saat itu, Raja Manggele masih sempat bertahan dan masih sempat diobati oleh “datu-datu (Dukun)”. Namun sangat disayangkan, usaha para datu tersebut ternyata sia-sia. Mereka tidak mampu untuk mengobati luka yang dideritanya, sehingga si Raja Manggele pun meninggal. Berita kematian Raja Manggele itu tersiar ke seluruh lapisan masyarakat. Kemudian sampailah kabar ini kepada si Raja Rahat dan ia pun sangat terkejut dan sangat menyesal karena telah menyuruh anaknya untuk ikut berperang. Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa menangis. Ia prustasi dan bahkan kelihatan layaknya seperti orang gila. Si Raja Rahat menyalahkan dirinya karena ia yang telah mengakibatkan semua itu. Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa meratap dan terdiam mengingat kejadian itu.
Pada saat itu sistem kehidupan masyarakat adalah apabila seorang raja mengalami musibah maka dengan sendirinya, masyarakat pun ikut sedih. Di kemudian hari, datanglah seorang datu kehadapan si Raja Rahat. Dia mencoba menghibur raja dengan mengusulkan untuk membuatkan baginya sebuah patung yang konon akan dibuat menyerupai wajah Raja Manggele, anaknya. Raja setuju dan proses pembuatan pun dilakukan. Namun datu itu tidak berhasil karena dia tidak memiliki kekuatan naturalis yang cukup untuk membuat patung itu. Akhirnya, ia mengumpulkan datu-datu besar sebanyak enam orang. (Menurut cerita dari Bapak Jimmy Sigiro, salah satu dari para datu yang membuat patung tersebut adalah marga Sinaga yang sampai saat ini masih hidup). Dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mencoba memahat kayu dan membuatnya persis menyerupai si Raja Manggele. Konon para datu tersebut tidaklah mengenal si Raja Manggele, namun dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mampu membuat sebuah boneka manusia yang terbuat dari kayu yang mirip dengan si Raja Manggele. Kemudian patung si Raja Manggele itu dipakaikan ulos serta tali pengikat kepala dengan tiga macam warna yaitu merah, hitam dan putih.
Setelah semuanya siap, kemudian patung si Raja Manggele tersebut dimasukkan kedalam peti. Hal itu dilakukan untuk masuk kedalam tahap berikutnya yaitu untuk menghidupkan patung itu. Ketujuh datu dengan bantuan pemain musik “Gondang Bolon” memanggil jiwa si Raja Manggele untuk merasuki patung tersebut. Kemudian, patung itu dapat bangkit dari peti itu dan patung tersebut mampu untuk menggerak-gerakkan badannya layaknya manusia (manortor). Gondang yang dipakai untuk memulainya adalah dimulai dari “Gondang Mulamula” sampai dengan “Gondang Hasahatan”. Melihat keberhasilan itu, akhirnya mereka berembuk untuk mempertunjukkan patung tersebut di hadapan si Raja Rahat. Kemudian mereka pun pergi ke halaman rumah si Raja Rahat dan mereka pun mulai membangunkan patung tersebut dengan bantuan alat musik Gondang Bolon. Di saat si Raja Rahat mendengar suara gondang tersebut, ia keluar dan turun ke halaman rumahnya untuk melihat apa yang sedang terjadi. Setelah melihat patung tersebut bisa “manortor” dan menyerupai anaknya si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat hal tersebut dan ia pun mulai tersenyum bahagia karena ia masih bisa merasakan anaknya seolah-olah hidup kembali. Oleh karena hal itu si Raja Rahat pun kemudian mengucapkan terimakasih kepada para datu yang telah berhasil membuat patung yang menyerupai anaknya itu. Si Raja Rahat pun menyimpan patung itu di dalam rumahnya. Sesekali, jika Raja rindu dengan anaknya si Raja Manggele, ia kembali memanggil ketujuh datu itu untuk mempertunjukkan dan mempertontonkannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan melihat patung itu dapat “manortor” dengan lemah gemulai mengikuti irama gondang yang dimainkan oleh para datu, patung itu pun berubah nama yang dulunya adalah si Raja Manggele, kemudian diberi nama “Sigalegale”.
Sedangkan versi dari buku Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu mengisahkan ceritanya adalah sebagai berikut.
Di dalam sebuah kampung di Toba, terjadi duka yang sangat dalam karena putra, tunggal seorang pemimpin yang terpandang meninggal dunia. Ayahnya sangat terpukul, karena tidak ada lagi anaknya yang akan meneruskan keturunan. Bagi orang Batak yang menganut paham patriarchal, kematian anak laki-laki satu-satunya itu berarti punahnya sebuah cabang keluarga. Si ayah sangat sedih dan sangat rindu kepada anaknya yang sudah meninggal, siang dan malam dia mengharapkan kalau saja dapat menatap wajah anaknya barang sekali saja. Pada suatu hari dia mengambil sepotong kayu dan mengukir patung manusia, bentuk dan corak wajahnya sangat menyerupai anaknya. Untuk mengenang putranya yang berumur pendek itu, ia menggerak-gerakkan boneka kayu tersebut sebagaimana ia pernah lakukan ketika anaknya masih hidup. Setiap bulan purnama menampakkan diri dan bintang-bintang bertaburan di langit, si ayah duduk di depan rumah dikelilingi oleh penduduk kampung. Dia menarik-narik lengan dan anggota tubuh boneka kayunya, sehingga kelihatan seperti orang yang sedang menari-nari. Semua yang hadir merasa iba dan turut bersedih hati. Para pria terenyak menyaksikan hal tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata karena turut bersedih., Ibu-ibu sambil duduk ikut menangis tersedu-sedu, karena anak tunggal itu telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Tarian boneka duka itu berlanjut terus dari waktu ke waktu, dan ditiru oleh orang-orang yang mengalami penderitaan yang sama seperti si ayah, suatu cara melampiaskan kerinduan kepada putranya yang sudah tiada.
Semakin lama boneka duka semakin disempurnakan, wajahnya diperindah, tariannya juga dibuat bertambah gemulai. Tarian boneka duka semakin bertambah lentik tak ubahnya seperti kupu-kupu yang sedang mengibas-ngibaskan sayapnya, dan boneka itu diberi nama Sigalegale (gale artinya lemah, tetapi dapat juga diartikan lentur-gemulai, karena jari-jarinya bergerak cekatan seperti penari serimpi).
Lama kelamaan Sigalegale tidak berfungsi hanya sebagai pelipur lara mengenang anak yang sudah tiada, tetapi juga berfungsi untuk menangkal malapetaka dan mengusir hal-hal yang buruk (papurpur sapata).
Sigalegale yang terbuat dari patung kayu, menggambarkan seorang manusia lengkap dengan tangan dan kaki yang dapat digerak-gerakkan. la berdiri di atas sebilah papan kayu yang mempunyai roda, sehingga dapat ditarik maju-mundur. Kepala boneka tersebut juga terbuat dari kayu (bentuknya tidak begitu halus), tetapi matanya dari logam (seng). Wajahnya dibungkus dengan kapur putih yang dilumuri dengan kuning telur bercampur kunyit. Di atas kepalanya dililitkan sejenis ulos, yang disebut tali-tali. Leher patung yang bentuknya seperti alu, dimasukkan ke dalam sebuah tiang atau pasak yang sudah diberi lubang, sehingga leher dan kepala dapat berputar ke segala arah. Pada badan boneka diikatkan dua tangan dari kayu berwarna cokelat tua; siku dan pangkal bahu dapat digerak-gerakkan ke atas maupun ke bawah, demikian juga jari-jarinya sangat lentur bila menari. Seorang pemegang tali kendali, duduk di belakang Sigalegale; dengan piawainya dia dapat menggerak-gerakkan seluruh tubuh boneka tersebut mulai dari kepala, tangan dan bahu.
Orang Batak yang animis percaya, orang yang meninggal tanpa keturunan akan masuk ke dalam Banua Toru bersama begu (roh jahat) yang derajatnya paling rendah. Mereka tidak diberi nama. Di alam begu, derajat seorang roh sangat tergantung pada jenis dan banyaknya sesajen yang dipersembahkan keturunan atau keluarga kepadanya. Jika tidak ada keturunan yang mempersembahkan sesajen atau kurban kepada orang yang meninggal, maka derajatnya di dunia roh dianggap rendah dan tidak mungkin melebihi roh-roh lain. Akibatnya dia akan disamakan dengan roh jahat yang hina-dina. Supaya roh tersebut tidak sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarganya yang tidak mempersembahkan kurban secara rutin, keluarganya berusaha memperdaya roh jahat. Diciptakan sebuah boneka kayu yang diberi peran sebagai anak kandung almarhum. Di atas mata boneka tersebut, ditempelkan lumut berisi air dan jika ditekan akan mengeluarkan air, seakan-akan air matanya jatuh bercucuran. Patung kayu itu dibuat seakan-akan dia adalah anak kandung almarhum yang sedang meratapi ayahnya. Dia menari dengan menggerakkan jari-jarinya yang lemah gemulai sehingga roh jahat terkecoh, dan mengira bahwa yang menari tersebut adalah anak almarhum. Selama acara kematian, boneka itu menari terus, maksudnya untuk memberi kedamaian kepada roh orang yang meninggal.
Jika seorang pria meninggal sebelum berumah tangga, berarti tidak mempunyai anak yang akan melanjutkan keturunannya. Di dunia roh dia akan dihina bahkan dikucilkan dari lingkungannya karena dianggap roh yang tidak berguna. Untuk menghiburnya supaya merasa aman dan damai, keluarga terdekat menempatkan sebuah joro (rumah tradisional dalam bentuk mini) di atas kuburannya. Pada joro itu digantungkan berbagai persembahan dan sesajen serta barang yang biasa dipakai almarhum sewaktu masih hidup. Lebih kurang dua bulan setelah kematian pria tersebut, diadakan pesta tarian Sigalegale di kampung. Semua keluarga dan sanak saudara serta seisi kampung diundang turut serta. Tamu-tamu disuguhi jamuan makan dan tuak yang berlimpah. Pesta itu berlangsung selama satu minggu, diiringi gondang Batak (orkes Batak). Sigalegale menari tiada henti-hentinya, di siang hari di bawah pohon hariara, di malam hari di udara terbuka diterangi bintang di langit. Pada hari terakhir tuan rumah membagi-bagikan daging kepada semua yang hadir. Sementara itu kepada Sigalegale dikenakan pakaian adat yang indah bertatakan perhiasan. Di pelataran kampung, Sigalegale menari terus diikuti “suhut (tuan rumah)”, beserta keluarga dan sanak saudara. Di penghujung acara semua yang hadir berpawai menuju kuburan, di barisan paling depan terlihat Sigalegale beserta joronya digotong beramai-ramai. Setelah tiba di makam, dipanjatkan doa takzim (tonggo-tonggo) memohon kepada roh leluhur supaya tidak terulang lagi nasib sial, meninggal sebelum memperoleh keturunan. Setelah selesai melakukan tugasnya, orang yang mengendalikan Sigalegale, bergegas pergi ke luar kampung; di sanalah dia mengasingkan diri selama satu malam. Tak seorang pun berani menampungnya di kampung, karena dianggap masih dirasuki oleh roh-roh orang mati yang belum puas dengan acara pesta kematian. Di kesunyian malam, roh-roh itu meninggalkannya tergeletak sendirian di lapangan terbuka.
III. Penutup
Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Batak sangat kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah kebudayaan berupa legenda atau mitos. Legenda merupakan suatu cerita dari generasi ke generasi suatu bangsa atau suku, khususya masyarakat Batak. Legenda Sigalegale merupakan suatu warisan yang sangat berharga bagi orang Batak, karena dalam legenda tersebut tersimpan suatu bentuk kehidupan orang-orang Batak pada masa dulu dan tentunya masih memberi makna pada kehidupan sekarang dan akan datang.
Sigalegale yang pada saat ini menjadi sumber objek wisata di Tomok sesungguhnya dulu adalah suatu patung yang memiliki kesan magis dimana dalam pembuatannya itu digabungkan kekuatan batin tujuh orang dukun ternama pada masa itu sehingga patung itu dapat bergerak sendiri. Patung tersebut memberikan suatu pesan kehidupan yang menjunjung tinggi silsilah atau garis keturunan keluarga. Begitu besarnya kedudukan laki-laki dalam orang Batak sehingga patung Sigalegale tercipta sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam dari keluarga yang kehilangan garis keturunannya.
Begitu juga dengan unsur-unsur yang digunakan untuk membuat sebuah patung. Bagi orang Batak, misalnya “kuning telur”, mempunyai arti tersendiri bagi orang Batak yaitu sebagai simbol kehidupan dan unsur kuning telur menunjukkan raut wajah yang cerah dan lebih hidup. Begitu juga dengan warna “putih, merah dan hitam”. Bagi orang Batak, warna-warna tersebut mempunyai arti tersendiri.
Ada umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Ompu Raja di jolo martungkot sialagundi; Angka na uli tinonahon ni angka ompunta na parjolo, siihuthonon ni hita angka na di pudi”. Maka dengan itu, kita sebagai orang Batak, hendaknya ikut berperan serta dalam melestarikan budaya kita dan menjunjung tinggi kebudayaan kita, karena hal itu sangatlah berharga bagi kita. Satu hal lagi umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Sinuan bulu, sibahen na las; Sinuan adat dohot uhum, sibahen na horas”. Dari umpama/umpasa tersebut kita bisa mengetahui bahwa, legenda-legenda atau mitos-mitos yang ada dalam orang Batak mempunyai tujuan yang baik bagi kita semua.

LEGENDA TUNGGAL PANALUAN

TUNGGAL PANALUAN LEGENDA TUNGGAL PANALUAN Tunggal Panaluan adalah sebuah tongkat yang bersifat magis dan terbuat dari kayu yang telah diukir dengan gambar kepala manusia dan binatang, panjang tongkat tersebut diperkirakan lebih kurang 2 (dua ) meter sedangkan tebalnya / besarnya kira – kira 5-6 cm. Dalam suku batak tongkat panaluan dipakai oleh para datu dalam upacara ritus, dan tongkat ini dipakai para datu (dukun) dengan tarian tortor yang diiringi gondang (gendang) sabangunan. Konon menurut sejarah suku batak bahwa Tunggal Panaluan ini merupakan fakta sejarah yang memiliki kisah hubungan terlarang, pada dahulu kala ada seorang raja yang tinggal di desa Sidogor dogor Pangururan di pulau Samosir di teluk perpisahan antara darat dan air, Raja ini bernama Guru Hatiabulan dengan memiliki seorang istri bernama Nan Sindak Panaluan. Sesudah perempuan itu hamil, maka luar biasa lamanya barulah melahirkan, sehingga penduduk kampung menganggap keadaan itu sesuatu hal yang gaib, sehingga terjadilah bala kelaparan di negeri ini. Tidak beberapa lama kemudian, melahirkanlah Nan Sindak Panaluan dengan melahirkan anak kembar, seorang anak laki – laki dan seorang anak perempuan (marporhas dalam suku batak ) dan seketika itu juga saat si anak dilahirkan turunlah hujan terus menerus dengan lebatnya, sehingga semua tanam tanaman bertumbuhan dan alam tampak segar dan hijau kembali. Lalu Guru Hatiabulan mengundang semua pengetua adat dan kepala – kepala suku untuk mengadakan pesta besar dengan memotong seekor kerbau sebagai persembahan untuk mendamaikan kekuatan jahat itu sekaligus untuk mengumumkan nama anak – anaknya yang baru lahir itu, sehingga mereka mengadakan perjamuan makan besar bersama. Usai mereka makan bersama, maka Guru Hatiabulan mengumumkan nama anak – anaknya, yang putra diberi nama “ Si Aji Donda Hatahutan “ dan yang putri diberi nama “ Si Boru Tapi Nauasan “. Sebelum acara perjamuan itu selesai ternyata para tamu yang hadir itu telah menasehati Guru Hatiabulan supaya anak – anak itu jangan bersama – sama diasuh, yang satu kiranya dibawah ke barat dan yang satunya ke timur, sebab kelahiran kembar apabila yang berlainan jenis adalah satu masalah yang sangat tidak baik menurut faham suku batak, akan tetapi Guru Hatiabulan tidak mengindahkan nasehat arif para pengetua – pengetua itu, bahkan Guru Hatiabulan mendirikan gubuk kecil di gunung Pusuk Buhit untuk menyembunyikan anak – anaknya dan iapun setiap harinya menghantarkan makanan mereka dengan menyiapkan seekor anjing untuk menjaga anak – anaknya itu. Setelah anak – anaknya mulai menginjak dewasa, maka sang putri bernama Si Boru Tapi Nauasan pergi bermain – main, dan kebetulan melihat sebatang pohon bernama “ Piu piu Tanggule ( hau tada – tada ) “ yang batangnya dipenuhi duri – duri, dan pohon ini memiliki buah sudah mulai matang (masak) dan cantik – cantik lagi di pandang mata, maka Si Boru Tapi Nauasan kepingin makan buah – buah itu, sehingga ia memanjatnya dan memetik buahnya lalu dimakannya. Akan tetapi seketika itu juga ia ditelan oleh pohon itu dan menjadi satu dengan pohon itu, hanya kepalanyalah yang masih kelihatan. Si Aji Donda Hatautan saudara laki – lakinya menunggu digubuknya sampai sore hari dalam kebingungan mengenai nasip saudarinya Si Boru Tapi Nauasan, sehingga saudaranya itu memutuskan untuk pergi kehutan untuk mencari saudarinya sambil memanggil – manggil namanya. Ternyata panggilannya itu di dengar oleh Si Boru Tapi Nauasan, dan saudara laki – lakinya itu pun bertanya kepadanya, kenapa sampai bisa ditelan oleh pohon itu, dan iapun ingin membantu saudarinya itu. Si Aji Donda Hatautan memutuskan untuk memanjat pohon itu, ternyata ia juga menjadi lengket dan dihisap dan bersatu dengan pohon itu, begitu juga dengan anjingnya setelah datang mencari – cari dan melompat kepohon itu untuk menolong tuannya tetapi anjingnya ini pun lengket juga dipohon itu. Sebagai mana biasanya, pada keesokan harinya, orangtuanya datang untuk mengantarkan makanan anak – anaknya ke gubuk, tetapi ia tidak melihat anak – anaknya di gubuk itu lagi, sehingga ia pergi mencarinya kedalam hutan dengan mengikuti jejak kaki anak – anaknya, dan ia sangat terkejut menlihat kejadian itu yang hanya melihat kepala anak – anaknya dan kepala anjingnya lengket di pohon itu. Dengan rasa sedih dan bersusah hati, Guru Hatiabulan pergilah mencari seorang tukang sihir, dan ia bertemu dengan “ Datu Parmanuk Koling “, dan menceritakan apa yang telah dialami oleh anak – anaknya. Datu inipun pergilah kepohon itu disertai dengan orang – orang yang ingin melihat kejadian itu, karena kejadian ini sudah tersiar kemana – mana. Seperangkat alat gendang dibawalah ketempat itu dan sang datupun mulai membacakan mantera – manteranya untuk mengusir roh – roh jahat itu, dan sang dukun memanjat pohon itu akan tetapi ia juga ditelannya. Dengan hati bingung dan bertanya – tanya dalam hati, Guru Hatiabulan dan para warga yang menyaksikan ritual tersebut kembali kerumahnya masing – masing, akan tetapi mereka tidak putus harapan mereka juga pergi untuk mencari seseorang datu (dukun) lain dengan harapan dapat mengambil anak – anaknya yang lengket dipohon itu dan mereka pun bertemu dengan seorang ahli/tukang sihir ternama yang bernama “ Marangin Bosi “ atau disebut juga dengan gelar dukun “ Malatang Malliting” , orang inipun pergilah kepohon itu akan tetapi di telan juga. Begitu juga dengan “Datu Boru Sibasobolon “ datang juga kepohon itu namun ditelan juga, begitu juga yang terjadi dengan “ Datu Horbo Marpaung “ dan “ Datu Siajibahir “ atau gelar jolma so begu (separoh manusia separoh setan ) dan seekor ular yang kebetulan memanjat pohon itu tertelan juga. Guru Hatiabulan telah kehabisan akal, karena ia telah mengeluarkan banyak hartanya untuk keperluan para dukun (datu) tersebut, berselang beberapa hari kemudian seseorang “ Datu Parpansa Naginjang “ datang menjumpai Guru Hatiabulan dan memperkenalkan diri dan dukun ini mengatakan bahwa ia bisa melepaskan orang – orang yang ditelan pohon itu. Sehingga Guru Hatiabulan mempercayai sang dukun ini dan memberikan semua keperluan yang ia minta karena menurutnya mereka harus mempersembahkan kurban kepada semua roh – roh dari daratan dan roh – roh dari hutan dan yang lain nya, maka mereka akan dilepaskan. Guru Hatiabulan mempersiapkan semua permintaan dan melaksanakan petunjuk sang dukun, kemudian merekapun pergi kepohon itu untuk memasang semua ilmu – ilmu sihir yang diketahui si dukun ini. Lalu sang dukun menebang pohon sampai roboh namun secara tiba – tiba semua kepala manusia dan kepala binatang itu lenyap dan menghilang sehingga semua orang – orang yang menyaksikannya menjadi bingung. Akan tetapi sang dukun berkata, agar Guru Hatiabulan memotong kayu dan mengukirnya dengan memberikan gambaran dari orang – orang yang lenyap di pohon itu. Hal inipun dilakukannya dengan mengukir gambaran 5 (lima) orang kepala laki – laki, dan 2 (dua) orang kepala perempuan, seekor anjing dan seekor ular melata. Setelah usai di ukir merekapun kembali kekampungnya dan diadakanlah pesta dengan memalu gendang dan memotong seekor kerbau. Datu Parpassa Ginjang menarikan suatu tari kebirahian, dengan jalan ini ia membuat dirinya kesurupan dengan roh – roh dari yang tertelan itu, sesudah ia disurupi oleh roh – roh ini merekapun memulai pembicaraan melalui sang dukun dan salah seorang dari roh itu mengatakan :” O….bapak pengukir, bapak telah mengukir gambaran kami yang mempunyai mata, akan tetapi tidak dapat untuk melihat, kami mempunyai mulut akan tetapi tidak dapat berbicara, kami mempunyai kuping akan tetapi tidak dapat mendengar, kami mempunyai tangan akan tetapi tidak bisa memegang, maka kami akan mengutuk bapak penyihir.” Ujar roh itu. Datu itu pun menjawab : “ jangan kutuk saya, akan tetapi pisau inilah, karena jika tidak dengan itu saya tidak dapat mengukir gambaranmu “. Lalu Pisau itu menjawab :“ jangan kutuk saya akan tetapi tukang besi itulah, karena jika ia tidak menempa saya, saya tidak akan pernah menjadi sebilah pisau “. Tukang pandai besi berkata :” jangan kutuk saya, akan tetapi pengembus / puputan itulah, karena jika tidak dengan tiupannya saya tidak akan dapat menempa sesuatu apa “.Pengembus / Puputan itu berkata : “ jangan kutuk saya, akan tetapi Guru Hatiabulan lah, sebab jika ia tidak seperti yang kami perbuat, kami tidak akan pernah melakukan pekerjaan ini. Roh itu kembali berbicara, yang ditujukan kepada Guru Hatiabulan dengan mengatakan : “ saya kutuk kamu bapa dan juga kamu ibu yang melahirkan saya, “Lalu Guru Hatiabulan menjawab : “janganlah kutuk saya, akan tetapi kutuklah dirimu sendiri, kau yang telah terjerumus / jatuh kedalam lubang, kau yang dibunuh dengan lembing dan kamu yang tidak mempunyai keturunan.”ujarnya. Lalu roh itu berkata : “ jikalau demikianlah kejadiananya bapa, pergunakanlah saya dari sekarang sebagai pangkal pada musim hujan, pemanggil hujan dalam musim kemarau, penasehat dalam pemerintahan dalam negeri, teman seperjuangan dalam peperangan, sumber / penyebab kebusukan / kerusakan dalam penyakit dan kematian, kekuatan untuk mengusut pencuri dan perampok.” Sesudah itu, upacarapun usai dan masyarakatpun kembali kerumahnya masing – masing, sehingga di kemudian hari nasehatnya itu dituruti dengan mempergunakan tongkat yang demikian sesuai dengan yang dipesankan,

" LEGENDA PUTRI ULAR "

“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.

“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.

“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.

Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.

Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.

Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu.


PESAN MORAL : Setiap kata dan perbuatan adalah cerminan dan doa kita, maka bijaksanalah dalam berucap dan bertindak.

Si Boru Sangkar Sodalahi, sebuah Legenda Srikandi Batak




Kisah tentang keturunan Si Marsaitan adalah kisah paling tragis sekaligus heroik dari Tanah Batak. Yaitu kisah tentang seorang anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena sang ibu, perempuan yang hebat itu, berpura-pura cinta dan menjadi istri musuhnya karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai.

Di Negeri Urat, Pulau Samosir, berbahagialah Tuan Sipallat dengan istri junjungan jiwanya, Si Boru Sangkar Sodalahi, asal klan Manurung, penguasa Pegunungan Sibisa di kaki Gunung Simanuk-manuk. Tuan Sipallat dan istrinya bermukim di Suhut ni Huta. Karena hidup di dunia, bukan di surga, maka suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga. Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan, kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.

Dan, martabat klan yang kalah perang itu benar-benar terinjak-injak lagi ketika Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger marga membikin malu negeri. Bayankanlah, dia main mata, bercumbu-rayu, dan kawin pula dengan kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya. Sehari-hari pekerjaannya menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Disuruhnyalah suami barunya itu membuatkan bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah melingkup seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.

Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, maka sang suami, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur. Tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang. Cahaya samar pelita terpantul di mata senjata itu. Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat ditebaskannya pedang itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah bersimbah di peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu.

Lantas dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil menangis tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dibungkusnya tengkorak itu dengan ulos pusaka. Dia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar bernoda, dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya, dan dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.

Sampai di huta (desa) itu, Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng. Kepada penjaga dia mengatakan dia datang untuk menyerahkan sesuatu. Kedua penjaga, yang mengenalnya, kontan meninggi suaranya, mengusirnya. ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”

Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu. Niatnya tak tergoyahkan. Lalu, kepada penjaga di mengatakan dia harus bertemu dengan kepala marga dan percayalah bahwa dia tidak akan pergi sebelum diizinkan masuk. Wali adat pun dibangunkan, perundingan digelar di antara mereka. Hasilnya: Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap.

”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan takzim menggelar tengkorak suaminya yang pertama. ”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.” Dengan syahdu katanya pula: ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.” Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.

Selang beberapa lama, dilaksanakanlah upacara adat untuk membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang langit itu. Kedudukannya di dalam marga dipulihkan, dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging kami sendiri, oleh karena ia adalah buah bisikan roh leluhur.” Maka, lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan, yang salah seorang keturunannya kelak dikenal sebagai sastrawan besar dunia dari Tanah Batak, Sitor Situmorang. 


Dikutip dari Martin Aleida (Sitor Situmorang: Tak Ada Dendam, Tak Ada Yang Disesalkan), dari milis ALIMSU

LEGENDA NAMBORU BORU SARODING


Legenda Namboru Boru Saroding dituturkan dalam bahasa Batak, agar penyampaian informasi yang bertujuan mudah dibaca dan diketahui oleh Pecinta Seni Budaya Sejarah Tanah Air, terkhusus Anak Cucu Keturunan Toga Pandiangan.
Saya melakukan edit terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia tanpa mengurangi atau mengubah fakta dan tujuan dari Legenda Namboru Boru Saroding. Untuk itu, terlebih dahulu saya memohon Maaf yang sebesar-besarnya, kepada Namboru Boru Saroding, Amangboru, dan kepada keluarga besar saya, TOGA PANDIANGAN, jika terdapat kesalahan disana-sini dalam penulisan cerita ini. Saya dengan segenap hati saya, slalu menerima kritikan dan saran yang membangun demi meluruskan kisah Namboru kita ini.
Suatu hari menjelang siang, Namboru Boru Saroding pergi ke Danau Toba untuk mandi sekaligus mencuci pakaian, tepatnya di tepi danau tempat tinggal orang tuanya yang terletak di antara Palipi-Mogang (Kecamatan Palipi Kab.Samosir) yang bersebelahan dengan Rassang Bosi dan Dolok Martahan. Boru Saroding terkenal dengan kecantikannya, konon pada jaman itu Boru Saroding diklaim sebagai Putri tercantik dari seluruh Putri/Boru Pandiangan. Karena kecantikannya, banyak Pemuda yang datang dari kampung lain bahkan dari seberang Danau Toba untuk merayunya (Manandangi) akan tetapi tak satupun yang mampu menaklukkan hatinya baik yang kaya ataupun yang tampan. Pemuda yang datang, pulang tanpa hasil. Namun pemuda-pemuda tersebut juga tidak merasa sakit hati karena Boru Saroding menyambut mereka dengan sopan dan ramah.
Boru Saroding yang dikenal pendiam, sopan, taat akan orang tua dan baik hati terhadap teman-temannya, pandai membuat Ulos Batak. Dia sangat ulet dalam pekerjaannya. Ke-uletannya itu membuat orang tuanya cukup heran sekaligus bangga terhadap putrinya. Boru Saroding yang dalam adat Batak, mempunyai sifat dan sikap yang sangat baik, merupakan calon menantu idaman yang sangat dicari oleh putra raja.
Ketika Boru Saroding sedang mandi dan membilas rambutnya yang panjang dan indah di tepi Danau Toba, tiba-tiba sebuah sampan yang ditumpangi seorang pemuda tampan dan berwibawa yang berdiri di atas sampan datang menghampiri Boru Saroding. Melihat pemuda yang mengenakan Ulos Batak dan melihat tampangnya, Boru Saroding berpikir bahwa pemuda tersebut bukanlah seorang nelayan biasa seperti yang sering dilihat disekitar pantai Danau Toba. Ketika Pemuda bersampan tersebut semakin dekat ke tempat dimana Boru Saroding berkeramas jeruk purut (Anggir dlm Bahasa Batak) hati Boru Saroding berdebar dan bertanya-tanya dalam hati,
“Siapakah pemuda ini?” seraya bergegas dengan cepat membersihkan rambutnya, karena merasa malu dipandangi seroang pemuda sedang mandi.
Dengan tergesa-gesa Boru Saroding pun selesai mandi dan beranjak dari pantai menuju kediaman orang tuanya. Akan tetapi ketika Boru Saroding hendak melangkah, sang Pemuda pun berkata kepada Boru Saroding,
“Putri Raja.. kenapa tergesa-gesa pulang??” tanya pemuda tersebut kepada Boru Saroding. Seketika langkah Boru Saroding pun terhenti karena terkejut dan seraya melirik ke arah Pemuda yang memanggil nya.
“Pemuda ini tampan dan berwibawa ya” penilaian Boru Saroding dalam hati.
“Kebetulan masih banyak pekerjaan saya yang harus saya selesaikan di rumah kami” dalih Boru Saroding kepada Pemuda tersebut.
Si Pemuda Tampan dan Berwibawa tersebut pun menghampiri Boru Saroding seraya memperkenalkan diri. Tempat asalnya dari Rassang Bosi (Desa Sabulan Kec.Sitio tio) yang disebut Ulu Darat kepada Boru Saroding. Dengan hormat Sang Pemuda pun menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Boru Saroding sekaligus berniat agar Boru Saroding mau memperkenalkan pemuda tersebut kepada kedua orang tua Boru Saroding. Karena dari awal Boru Saroding melihat pemuda tersebut sudah terkesan dengan Ketampanan dan Kewibawaan sang pemuda, Boru Saroding pun merasa senang dan menyetujui permohonan sang pemuda, merekapun bergegas berjalan bersama menuju rumah Boru Saroding.
Ketika Boru Saroding dan Pemuda tersebut tiba di rumahnya, seketika Orangtua dan saudara-saudarinya merasa kagum akan tampang dan cara bicara sang pemuda yang datang bersama Boru Saroding, mereka serasa disulap melihat sang pemuda tersebut yang berbadan kekar tersebut.
Singkat cerita, Sang Pemuda tersebutpun menyampaikan niat baiknya yang ingin mempersunting Boru Saroding sebagai istrinya kepada Kedua Orang Tua dan Saudara-Saudari Boru Saroding, Guru Solandason (Ayah dari Boru Saroding) meminta tanggapan dari putrinya Boru Saroding, apakah putrinya Boru Saroding menyukai pemuda tersebut, Boru Saroding pun menyatakan bahwa putrinya suka dan mau menjadi istri Pemuda tersebut.
Tak lama kemudian, Guru Solandason memberitahukan kepada Sanak saudaranya. Dan selanjutnya Pemuda tersebut dan Boru Saroding pun mendapat restu dari kedua orangtua Boru Saroding. Kemudain Upacara Adat Pernikahanpun segera dilaksanakan di tempat tinggal Boru Saroding. Setelah acara adat selesai merekapun diberangkatkan menuju tempat dimana Suami Boru Saroding tinggal.
Merekapun naik sampan menuju Rassang Bosi, akan tetapi Boru Saroding sangat terkejut dikarenakan mereka begitu cepat sampai disana. Boru Saroding pun semakin heran karena suaminya menceritakan tempat tinggalnya di atas gunung di tengah hutan, Tombak Ulu Darat. Namun Boru Saroding tidak terlalu kawatir karena ketika mereka berjalan melewati jurang yang dalam dan terjal ditambah hutan yang begitu liar, Sang Suami menuntun langkahnya, memegang tangan Boru Saroding sehingga Boru Saroding tak sedikitpun merasa lelah bahkan suaminya terlihat kuat tanpa keringat melewati daerah yang cukup melelahkan untuk di lalui.
Tidak berapa lama kemudian, Boru Saroding dan Suaminya tiba di rumah Suaminya. Merekapun istirahat hingga tertidur pulas sampai keesokan harinya ketika menjelang pagi Boru Saroding pun terbangun namun Boru Saroding tidak melihat Suaminya sehingga Boru Saroding melihat ke samping rumah dan ke belakang rumah. Kemudain ketika Boru Saroding hendak melihat suaminya ke depan rumah, Boru Saroding pun tersentak karena terkejut melihat seekor ular berukuran sangat besar melintas di halaman depan rumah suaminya. Tiba-tiba dengan sangat tergesa-gesa Boru Saroding menutup pintu rumah karena merasa sangat terkejut dimana Boru Saroding sebelumnya tidak pernah melihat ular yang ukurannya sangat besar dan memiliki kepala yang tidak seperti kepala ular pada umumnya. Dengan rasa takut yang luar biasa dan rasa heran, Boru Saroding pun duduk diam terpaku di dalam rumah. Tak lama kemudian, Boru Saroding pun mendengar suara Suaminya memanggil namanya. Sehingga Boru Saroding dengan segera bergegas membukakan pintu rumah untuk suaminya dan langsung mengatakan “Tadi saya melihat seekor ular besar dengan kepala yang aneh melintas dari halaman rumah kita menuju pohon besar di hutan” kata Boru Saroding kepada Suaminya.
Kemudian Suaminya menjawab pertanyaan Boru Saroding “Tidak usah takut, ular itu ular yang baik dan tidak mengganggu”.
Mereka menjalani dan melalui hari ke hari dengan kebahagian karena Suami Boru Saroding selalu memenuhi kebutuhan mereka tanpa kekurangan bahkan Suami Boru Saroding cukup pintar menghibur Boru Saroding dengan canda dan tawa, serta memiliki perhatian dan kasih sayang yang begitu besar kepada Boru Saroding. Dia berusaha mencarikan buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan yang mampu membuat kecantikan Boru Saroding terawat. Semua hal tersebut dilakukan dan dipenuhi Suaminya dengan sangat sangat mudah tanpa ada keluhan apapun sehingga mereka hidup dalam kebahagian melalui hari-hari rumahtangga mereka.
Akan tetapi semakin lama Boru Saroding pun merasa heran yang dari hari ke hari semakin bertambah kecurigaanya terhadap cara hidup Suaminya yang penuh kemudahan hingga pada suatu saat tanpa sengaja Boru Saroding melihat Suaminya di bagian atas rumah (Para-Para dlm Bahasa Batak) sedang berubah wujud menjadi seekor ular berukuran sangat besar persis seperti ular yang pernah Boru Saroding lihat sebelumnya. Namun Boru Saroding berura-pura tidak melihat kejadian tersebut karena merasa takut Ular tersebut marah kepada Boru Saroding. Kemudian ular tersebut melintas keluar dari rumah menuju hutan hingga Boru Saroding tinggal sendirian di dalam rumah.
Boru Saroding merasa sangat terpukul dan merasa menyesal yang begitu mendalam karena tanpa berpikir panjang dan tanpa mengenal lebih jauh siapa laki-laki tersebut hingga menerima permintaannya menadi istrinya karena Boru Saroding telah mengetahui bahwa Suaminya bukan manusia biasa. Menjelang sore, suaminyapun kembali dari hutan membawa bekal berupa buah-buahan, daging Rusa, Burung. Kemudian Boru Saroding pun bergegas menyambut suaminya membawa hasil yang dibawa suaminya ke dapur untuk dimasak dan dijadikan untuk makan malam. Setelah Boru Saroding selesai menyiapkan makan malam, merekapun makan malam bersama di rumah yang berada di tengah hutan rimba tersebut dimana selama ini suaminya tinggal. Setelah usai makan malam, merekapun berbincang-bincang dan dengan jujur Suaminya memberitahukan siapa dia sebenarnya kepada istrinya Boru Saroding,
“Saya sebenarnya adalah Penguasa Ulu Darat, yang bisa berubah-ubah wujud dari manusia menjadi ular dan dari ular menjadi manusia” tegas Suaminya kepada Boru Saroding. Akan tetapi Boru Saroding cukup pintar menyembunyikan rasa takut dan penyesalannya yang sangat dalam kepada suaminya. Boru Saroding hanya tersenyum kepada Suaminya, sehingga suaminya merasa senang karena melihat istrinya Boru Saroding tidak terkejut atas pengakuannya yang jujur kepada Boru Saroding.
Hingga suatu ketika, kedua saudara Boru Saroding datang berkunjung ke rumah Boru Saroding yang berada di antara pegunungan di tengah-tengah hutan yang dinamai Tombak Ulu Darat. Karena kedua saudaranya sudah sangat merindukan Boru Saroding yang merupakan saudari perempuan tersayang mereka. Boru Saroding pun merasa sangat bahagia karena sudah dikunjugi oleh saudaranya sehingga dengan sangat gembira, Boru Saroding pun menyajikan berbagai aneka makanan dan buah-buahan kepada kedua saudaranya tersebut. Sembari menikmati makanan yang banyak, mereka bercerita dan berbincang-bincang hingga rasa rindu mereka terobati hingga waktu tidak terasa sudah berlalu lama. Senja pun tiba, seperti biasanya Boru Saroding tahu jika Suaminya akan segera kembali dari hutan dan dengan tergesa-gesa Boru Saroding berusaha mengajak kedua saudaranya untuk bersembunyi di bagian atas rumah di bawah atap karena Boru Saroding sudah mendengar suara-suara pertanda suaminya akan datang. Karena Boru Saroding merasa ketakutan dimana Boru Saroding tahu bahwa ular tersebut mau memakan manusia, kedua saudaranya pun bersembunyi agar tidak terlihat oleh Suami Boru Saroding. Suami Boru Saroding pun tiba di rumah, tiba-tiba suaminya tampak heran dan sepertinya mencium sesuatu yang lain dari yang lain dan bertanya “Sepertinya saya mencium darah manusia lain di rumah ini” kepada isterinya Boru Saroding. Dengan tergesa-gesa Boru Saroding berupaya mengalihkan pembicaraan dengan cepat menghidangkan makan malam suaminya. Kemudian Suami Boru Saroding selesai makan malam, selanjutnya Boru Saroding mengajak Suaminya untuk beristirahat. Ketika mereka hendak beristirahat, sesekali dengan tampak yang penuh curiga, Suami Boru Saroding bertanya, “Saya mencium ada orang lain di rumah ini?” tanya suaminya kepada Boru Saroding.
“Ah… sudahlah, itu hanya perasaanmu saja, tidak ada orang lain di rumah ini” jawab Boru Saroding dengan rasa takut yang luar biasa kepada Suaminya.
“Ini sudah larut malam, sebaiknya kita istirahat saja” ajak Boru Saroding kepada suaminya yang masih tetap bertingkah aneh penuh curiga.
Karena tidak tahan lagi Boru Saroding menyembunyikan rasa takutnya kepada suaminya, kemudian Boru Saroding pun memberitahukan keberadaan kedua saudaranya kepada Suaminya,
“Ampuni .. saya suamiku, karena aku telah membohongimu” kata Boru Saroding kepada Suaminya.
“Benar di rumah ini ada orang lain selain kita, karena saya beripikir engkau akan marah jika engkau tahu saudara-saudaraku datang mengunjungi kita ke tempat ini” aku Boru Saroding dihantui rasa takut yang sangat besar kepada Suaminya.
“Mereka datang karena sudah sangat rindu kepada kita” kata Boru Saroding sambil memohon dan membujuk Suaminya.
Kemudian Suami Boru Saroding meminta agar kedua saudara Boru Saroding dipanggil untuk datang menghadap suaminya. Dengan perasaan yang masih dihantui ketakutan, Boru Saroding pun memanggil kedua saudaranya keluar dari tempat persembunyian mereka di bagian atas rumah di bawah atap rumah (Dalam Bahasa Batak disebut Bukkulan Ni Ruma). Kemudian kedua saudara Boru Saroding menghampiri Suami Boru Saroding seraya saling bersalaman dan tidak seperti ketakutan yang dibayangkan oleh Boru Saroding, justru kedua saudara Boru Saroding tampak gembira bercerita dengan suaminya hingga saking asiknya pembicaraan mereka (Suami dan Saudara Boru Saroding) tidak terasa waktupun sudah menjelang pagi.
Setelah pagi hari tiba, kedua saudara Boru Saroding berniat untuk kembali ke Samosir, sehingga kedua saudaranya memberitahu kepada Boru Saroding bahwa mereka akan kembali ke Samosir pagi ini. Boru Saroding pun mengajak kedua saudaranya untuk mohon pamit kepada Suaminya. Ketika hendak berpamitan, salah satu saudara Boru Saroding berkata “Lae, kami akan segera pulang ke Samosir, Lae kasih apa sama kami untuk kami bawa pulang ke Samosir?” tanya saudara Boru Saroding kepada suami Boru Saroding.
“Trimakasih Lae karena telah datang berkunjung kesini” jawab Suami Boru Saroding kepada kedua saudaranya sambil memberikan 2 (dua) buah bingkisan yang di balut kain dan diikat dengan tali kepada Pandiangan (Kedua Saudara Boru Saroding), seraya berpesan : “Hanya saja ada syarat yang harus dipenuhi oleh Lae” kata Suami Boru Saroding.
“Apa saja syaratnya Lae?” tanya kedua saudara Boru Saroding kepada suami saudarinya itu.
“Sesampainya di Samosir, bingkisan ini jangan dibuka akan tetapi lae harus menunggu hingga 7 (tujuh) hari lamanya baru Lae Pandiangan bisa membuka bungkusan ini” pesan suami Boru Saroding kepada kedua saudara Boru Saroding.
Kedua Saudara Boru Saroding menjawab “Ia Lae, akan kami penuhi pesan lae”.
Kemudian Pandiangan (Kedua saudara Boru Saroding) pun pamit dan beranjak pulang melewati hutan yang cukup mengerikan, melalui lembah dan jurang-jurang yang terjal hingga kedua saudara Boru Saroding pun tiba di tepi pantai Desa Sabulan. Selanjutnya mereka menaiki sampan untuk menyebrang ke Pulau Samosir.
Setelah mereka tiba di rumah masing-masing dimana pada saat itu kedua saudara Boru Saroding (Pandiangan) sudah menikah dan tinggal dirumah bersama isteri masing-masing, mereka menceritakan perjalanan yang ditempuh kepada isteri mereka masing masing, mereka menunjukkan bingkisan (Gajut) yang mereka bawa kepada isterinya.
Salah satu dari Pandiangan (Saudara Boru Saroding) bersungut-sungut karena merasa kesal dengan hanya menerima bingkisan (Gajut) kecil dari Laenya yang sudah bersusah paya mengunjungi Lae dan saudarinya di tengah hutan diatas gunung Ulu Darat tersebut. “Masa jauh-jauh dari Samosir ke Ulu Darat hanya dikasih bungkusan kecil kek gini, itupun pake syarat pula itu” kata salah satu saudara Boru Saroding kepada istrinya. Pendek cerita, karena tidak sabar menunggu hari yang telah dipesankan oleh Laenya ditambah rasa penasaran yang cukup besar, maka Pandiangan (Sudara Boru Saroding) membuka bungkusan tersebut. Karena tidak sesuai dengan pesan Suami Boru Saroding, maka bungkusan yang dibuka salah satu saudara Boru Saroding tersebutpun hanya berisikan: Tanah, Kunyit, Potongan Kayu kecil dan ulat-ulat. Merasa dihina, Pandiangan (salah satu saudara Boru Saroding yang membuka bungkusan tersebut) pun marah dan mengucapkan makian terhadap suami Boru Saroding,
“Kurang ajar,,, masa kek gini cara dia menghargai saya selaku saudara laki-laki Boru Saroding. Tidak tahu sopan terhadap keluarga istrinya..!!!” kata salah satu saudara Boru Saroding lalu membuang bungkusan yang dibuka tersebut sebelum waktunya.
Kemudian Pandiangan membujuk dan mengajak adiknya Pandiangan paling bungsu untuk turut membuka bungkusan yang diberikan oleh Laenya tersebut, “Buka aja dik bungkusannya, mungkin isinya sama saja seperti yang telah abang buka tadi” kata Pandiangan yang tadi kepada saudaranya. Akan tetapi Pandiangan paling bungsu tetap tidak mau membuka bungkusan tersebut dan bertahan memenuhi pesan yang telah disampaikan oleh Laenya (Suami Boru Saroding). Setelah hari ke 7 (tujuh) tiba, sesuai dengan pesan Laenya, maka Pandiangan paling bungsu pun membuka bungkusan tersebut dan ketika bungkusan tersebut dibuka, tiba-tiba keluar ulat-ulat yang jumlahnya sangat banyak dari bungkusan akan tetapi dalam hitungan beberapa detik, ulat-ulat yang tadinya keluar dari bungkusan tersebut berubah menjadi kerbau dan sapi dengan jumlah yang sangat banyak juga. Saking banyaknya jumlah sapi dan kerbau tersebut, hingga lokasi pekarangan perkampungan tersebut terlihat padat. Sementara kunyit yang keluar dari bungkusan tersebut berubah menjadi emas dengan jumlah yang cukup banyak dan potongan kayu kecil pun berubah menjadi batang pohon yang memadati lokasi perkampungan Pandiangan paling bungsu.
Beberapa bulan kemudian, ternak sapi dan kerbau yang dimiliki Pandiangan paling bungsu semakin lama semakin bertambah banyak jumlahnya sementara hasil pertanian dan pohon yang dimilikinya ikut bertambah banyak sehingga Pandiangan paling bungsu semakin terkenal sebagai warga paling kaya di daerah tersebut.
Setelah hampir ½ tahun kemudian, karena sudah sangat rindu akan kampung halamannya, terlebih-lebih kepada Orangtua dan saudara-saudaranya di Samosir, maka Boru Saroding pun meminta ijin kepada suaminya untuk diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman guna mengobati rasa rindunya tersebut.
“Suamiku… saya sudah rindu akan kampung halaman, saudara-saudaraku dan terlebih lebih orang tuaku di Samosir, ijinkan saya menjenguk mereka, saya tidak akan lama lama disana” Kata Boru Saroding kepada Suaminya.
Dengan berat hati Suami Boru Saroding menjawab : “Sepertinya saya punya firasat buruk jika aku ijinkan engkau berkunjung ke Samosir, sepertinya engkau tak akan kembali lagi ke tempat kita ini (Ulu Darat)”
Boru Saroding pun tidak putus asa dan tetap berupaya membujuk suaminya agar Boru Saroding diberi ijin seraya berusaha memberikan kepercayaan kepada Suaminya.
“Suamiku… saya janji jika engkau ijinkan saya ke Samosir, saya akan pulang karena saya tidak mungkin meninggalkan suamiku sendiri yang telah memberikan saya kebahagian dan telah memberikan aku kasih sayang. Saya hanya sebentar di Samosir setelah itu saya akan pulang ke sini (Ulu Darat)” jelas Boru Saroding kepada Suaminya.
Karena Boru Saroding sudah memohon dan memberikan penjelasan yang cukup meyakinkan suaminya, maka suami Boru Saroding pun mengijinkan Boru Saroding untuk bertamu ke Samosir tempat tinggal mertuanya, sehingga suaminya mengantarkan Boru Saroding ke tepi pantai Danau Toba untuk menyeberangkan istrinya ke Samosir.
Dengan penuh keajaiban, suami Boru Saroding memetik sepucuk daun pohon kemudian meletakkannya di tepi Danau dan tiba-tiba daun tersebut berubah menjadi sebuah sampan. Setelah itu suami Boru Saroding mempersilahkan Boru Saroding memasuki sampan tersebut. Kemudain Suami Boru Saroding berkata : “Boru Saroding istriku yang baik hati, engkau adalah putri raja yang telah menjadi istrik. Engkau berjanji akan cepat kembali dari Samosir karena kita saling mencintai dan saling menyayangi. Jadi kumohon dengan sangat, agar engaku penuhi janjimu dan cepat pulang ya isteriku, saya juga percaya akan apa yang telah engkau janjikan kepadaku..” kata suaminya kepada Boru Saroding.
Boru Saroding pun mengangguk seraya meng-ia kan perkataan suaminya dan berkata “Baik Suamiku, percayalah… saya akan cepat pulang dari Samosir, engkau boleh membuat sumpah” kata Boru Saroding kepada suaminya dengan usaha untuk tetap menyakinkan suaminya agar rencananya dapat berjalan lancar. Lalu Suami Boru Saroding pun mengucapkan sebuah sumpah :
“Dekke Ni Sabulan Tu Tonggina Tu Tabona, Manang ise si ose padan..Turipurna tu magona” (Dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa : Setiap Orang yang Ingkar Janji/Sumpah maka Ia akan menanggung akibat buruk). Dengan perasaan sedih yang mendalam di hati Suami Boru Saroding mendorong sampan.
“Berangkatlah istriku Boru Saroding” kata Suaminya kepada Boru Saroding sambil melepas sampan yang dinaiki Boru Saroding ke arah Danau Toba yang saat itu situasi tampak damai tanpa angin dan tanpa gelombang. Bahkan saat itu, cuaca di langit tampak begitu cerah. Setelah Boru Saroding mendayung sampannya sekitar 5 (lima) meter dari bibir pantai, Boru Saroding pun berkata dengan pelan seperti berbisik “Beughhh…bursik ma ho….…., kupikir engkau manusia…ternyata engkau hanya seekor ular dan hanya hantu berwajah manusia. Kau kira saya akan kembali lagi ke Ulu Darat, tempat yang mengerikan itu? Dasar hantu berwajah manusia, berbadan ular.” Kata Boru Saroding dengan pelan sambil tergesa-gesa mendayung sampannya yang dibarengi rasa kecewa serta ketakutan.
Tiba tiba, cuaca di langit berubah menjadi gelap, angin putting beliung, hujan dan suara petir datang sehingga ombak besar mulai muncul di Danau Toba dimana Boru Saroding sedang melintas dengan sampannya. Melihat situasi yang tiba-tiba berubah, Boru Saroding pun menjerit-jerit ketakutan, dengan sekuat tenaga.
Boru Saroding pun berupaya mengendalikan sampannya. Tiba-tiba muncullah ombak yang sangat besar menuju Boru Saroding sehingga Boru Saroding pun tak mampu mengendalikan sampan yang ditumpanginya. Boru Saroding dan sampannyapun ikut terseret gelombang besar tersebut. Tak lama kemudian Boru Saroding pun hanyut dibawa arus air ke dasar Danau Toba.
Semenjak kejadian itu hingga sekarang, Boru Saroding tidak dapat ditemukan dan menurut keyakinan Orang Batak, khususnya warga Pulau Samosir, menyakini bahwa Boru Saroding menjadi arwah penjaga Danau Toba sampai saat ini. Banyak warga yang masih meyakini hal tersebut bahkan sesuai dengan kesaksian beberapa keturunan Pandiangan masih meyakini kalau arwah Boru Saroding konon dikatakan jika ada sebuah kapal yang sedang melintas di perairan Danau Toba dengan kondisi cuaca buruk dan gelombang/ombak besar maka salah satu penumpang kapal yang merupakan keturunan Pandiangan atau masih keluarga dari marga Pandiangan dapat meminta pertolongan melalui doa kepada Boru Saroding agar ombak besar dan angin kencang yang sedang menghalau kapal tersebut dihentikan oleh Arwah Boru Saroding. Akan tetapi hal ini ternyata benar-benar terbukti karena hanya dengan memakan Sirih lalu berdoa memohon bantuan Arwah Boru Saroding, maka kendala apapun yang sedang dialami oleh kapal tersebut, akan dihentikan.
Hingga kini sebagian besar warga Samosir masih meyakini legenda serta keberadaan Arwah Boru Saroding. Dan warga menyebutnya Namboru Boru Saroding Penunggu Danau Toba wilayah Rassang Bosi, Dolok Martahan, Palipi, Mogang, Sabulan Janji Raja, Tamba, Simbolon, dan Hatoguan.
Dan dipesankan kepada seluruh warga yang berkunjung dan melewati daerah tersebut diminta agar tidak membuang ludah/sampah ke Danau serta tidak boleh berbicara kotor karena konon katanya orang yang tidak memenuhi pesan tersebut akan mengalami suatu hal yang cukup mengerikan dan kemungkinan besar kapal yang ditumpangi akan mengalami musibah besar.
Sementara Suami dari Boru Saroding dipanggil warga dengan sebutan “Amangboru Saroding” yang diyakini dan disaksikan sebagian warga Pandiangan, sering melihat suami Boru Saroding turun dari Ulu Darat menuju Danau tempat Ia mengantarkan istrinya, Namboru Boru Saroding. Penampakan dari suami Boru Saroding berwujud Ular Besar dan Panjang berbadan manusia berenang di sekitar tempat Boru Saroding tenggelam bersama sampan yang ditumpanginya.
Sementara di Kaki Gunung Ulu darat tepatnya di perkampungan Pandiangan, Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio terdapat sebuah Permandian Namboru Boru Saroding yang diyakini sebagai tempat Boru Saroding mandi dan keramas dengan jeruk purut. Tempat tersebut diberi nama “Par Anggiran Ni Namboru Boru Saroding” di tempat permandian Boru Saroding tersebut terdapat pohon besar dimana pada dahan dan ranting pohon tersebut ditumpangi pohon Jeruk Purut. Akan tetapi buah dari Jeruk Purut yang menumpang ke Pohon besar tersebut tidak boleh diambil sembarang orang.
Kisah atau Legenda ini menjadi salah satu Objek Wisata di Kabupaten Samosir. Situs Budaya yang mengisahkan Legenda Perjalanan Boru Saroding dan kemudian tempat tersebut di beri nama “Par Anggiran Ni Namboru Boru Saroding” yang berlokasi di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio Kab.Samosir. Atau jika kita berkunjung ke tempat bersejarah tersebut, hanya sekitar ½ jam dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Mogang Kec.Palipi. Tempat ini seiring dikunjungi oleh Keluarga Pandiangan atau Si Raja Sonang bahkan turis lokal maupun mancanegara mengunjugi tempat ini dengan tujuan berjiarah sekaligus mengenang Perjalanan Namboru Boru Saroding Pandiangan.
Gambar
Hingga saat ini, kisah nyata serta kesaksian tentang keberadaan Arwah Namboru Boru Saroding masih banyak dikisahkan oleh warga Samosir khususnya warga yang sedang melintas di Daerah tersebut.
Sejarah Legenda Namboru Boru Saroding yang saya posting ini tentu saja masih belum sempurna bahkan mungkin jika sebelumnya pembaca pernah membaca atau mengetahui legenda ini dari sumber lain dan terdapat ada perbedaan, maka mohon untuk disampaikan komentar, agar kedepannya dapat dilakukan perbaikan-perbaikan…
Horas…!!! Mauliate….!!!