Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Minggu, 30 Juni 2013

legenda Si Boru Natmandi

 
Urban Legend Si Boru Natmandi

Dahulu kala sewaktu penduduk yang mendiami Rura (Lembah) Silindung masih memeluk kepercayaan Sipelebegu [1], hiduplah seorang Raja yang kaya, besar dan bersahaja[2]. Mereka hidup dengan damai di sebuah huta [3] di tepi sungai Aek Situmandi [4] yang bersih dan jernih. Tempat tinggal raja itu berada di seberang Huta Siparini sekarang. Huta Siparini terletak di kaki Dolok (Gunung) Siatas Barita. Dolok Siatas Barita adalah tempat “Pamelean” [5] keturunan Guru Mangaloksa sewaktu belum masuk agama Kristen ke Rura Silindung.


Walaupun Dolok Martimbang lebih tinggi dari Dolok Siatas Barita, itu tidak masalah  bagi mereka karena  guru  Mangaloksa pertama sekali mendirikan huta di kaki Dolok Siatas Barita. Dari sanalah awalnya guru Mangaloksa bersama keturunannya  mendiami seluruh Rura Silindung. Oleh karena itu,  Dolok Siatas Barita merupakan tempat  “Dolok Parsaktian” [6] bagi keturunan Guru Mangaloksa sekaligus menjadi tempat Pamelean zaman dahulu.
Terkabarlah Raja ini karena kekayaannya, kebesaran dan kebersahajaannya. Semua tanaman-tanaman diladang maupun disawah berlimpah ruah, bahkan  tempat penyimpanan yakni “Sopo” [7] tidak bisa lagi menampungnya. Begitu juga dengan ternaknya ( kerbau dan babi ) berlimpah. Sang Raja tinggal di “Rumah Batak“ [8] Tetapi lebih terkenal lagi raja ini karena kecantikan putrinya yang bernama Si Boru Natumandi .
Banyak anak-anak raja yang ingin menjadikan  siboru Natumandi menjadi istrinya. Kabar mengenai kecantikan siboru Natumandi sudah tersebar ke “Desa Naualu” [9]. Keindahan tubuh yang semampai, keindahan  matanya yang teduh, senyum dan tertawanya yang membuat hati damai, kecantikan wajahnya yang mempesona, rambutnya bagaikan mayang terurai sampai ketumitnya, cara bicaranya yang lemah lembut dan sopan, perilakunya membanggakan orang tua dalam bermasyarakat, dan cara berpakaiannya juga sangat sopan. Tidak ada seorangpun yang melebihi karisma yang dimilikinya bahkan diantara kawan-kawan  putri-putri raja yang seumuran denganya di Desa Naualu. Tidak hanya itu, dia pandai mengambil hati kedua orang tuanya, sangat terampil manortor (Tari-tarian suku batak) serta penenun yang handal dan rajin.
Banyak raja-raja dari toba, samosir, humbang, pos-pos, dan angkola datang kepada raja itu untk meminang raja Siboru natumandi menjadi “Parumaennya” [10] (menantunya). Siboru natumandi sangat pandai mengambil hati orang tuanya, sehingga  dia putri kesayangan ayah ibunya. Karena itu, sewaktu raja-raja datang meminang Si Boru Natumandi jadi parumaennya, raja hanya menjawab yakni : molo mangoloi borukku, sipanolopi ma ianggo hami ( kalau putriku mau menerima, kami orang tuanya merestuinya).
Mendengar jawaban raja itu, maka semua raja-raja yang mau meminang Si Boru Natumandi menyuruh  anak-anaknya  menjumpai Si Boru Natumandi untuk  meminta agar dia mau jadi istrinya.
Sungguh lemah lembut jawaban Si Boru Natumandi pada anak-anak raja yang datang menjumpainya. Si Boru Natumandi sangat senang menyambut kedatangan anak-anak raja itu. Bahkan mereka disuguhkan dengan makanan yang lezat dan nikmat. Setelah selesai makan dia memberikan jawaban kepada raja tersebut.
Anak-anak raja yang datang tidak bisa tenang, mereka selalu penasaran, hati mereka selalu berdebar-debar, apakah saya diterima? kalimat tersebut yang selalu ada dalam pikiran mereka. Kalau tidak diterima kenapa harus repot-repot memasak,  menyuguhkan makanan yang nikmat dan lezat dengan pelayanan yang memuaskan pada saya. Itulah yang menghantui pikiran anak-anak raja setip kali datang meminang. Wajahnya selalu tersenyum tidak menunjukkan ketidak sukaan pada setiap anak-anak raja yang datang. Hal tersebut juga membuat hati setiap anak-anak raja yang datang menjadi gusar dan bertanya-tanya sampai-sampai lupa pada makanan yang disuguhkan itu.
Perasaan ayah dan ibu Si Boru Natumandi ikut juga tidak tenang menunggu jawaban yang diberikan putrinya pada anak-anak raja yang datang itu. Mereka sangat berharap agar putrinya mau menerima  salah satu lamaran dari anak raja yang datang itu.
Setelah selesai makan, S Boru Natumandi memberikan jawabannya kepada anak-anak raja yang datang itu dengan sopan dan lemah lembut dia mengatakan : ‘mauliate ma diharoromuna na tu ahu, alai mulak ma hamu ai ndang lomo do pe rohakku mar hamulian’. (terimakasih karena telah datang menjumpai saya, tapi pulanglah kalian, karena saya belum ingin menikah/berumah tangga).
Bagaikan ‘Porhas na manoro di siang ari’ (bagaikan petir yang menyambar di siang hari) perasaan hati anak-anak raja mendengar perkataan Si Boru Natumandi yang singkat itu. Perasaan mereka lemas tak berdaya, tak sanggup lagi menjejakkan kakinya ke atas tanah karena mendengar jawaban tersebut.
Seperti itulah jawaban yang di berikan Si Boru Natumandi kepada setiap anak-anak raja yang datang melamarnya. Sungguh lemah lembut perkataannya, pelayanannya sangat sopan dan baik. Tapi jawabannya yang singkat itu bagaikan disembelih dengan sembilu, sungguh menusuk jantung.
Biasanya setelah anak-anak raja yang datang menjumpai Si Boru Natumandi pulang, kedua orang tua Si Boru Natumandi langsung menanyakan apakah putrinya itu  sudah menerima salah satu lamaran dari anak-anak raja yang datang tersebut? Tapi jawaban yang diberikan Si Boru Natumandi selalu sama yakni : ‘dang lomo do pe rohakku mar  hamulian amang-inang’ (ayah-ibu saya masih belum mau menikah).
Seperti itu juga raja-raja yang menyuruh anak-anaknya datang menjumpai Si Boru Natumandi mereka selalu bertanya-tanya. Setiap anaknya pulang dari rumah Si Boru Natumandi mereka langsung menanyakan : ‘beha do amang, di jalo do hatami? Asa manigor borhat hami mangarangragi’ (“Bagaimana nak, apakaah lamaranmu diterima?” lamaranmu? Supaya kita langsung berangkat menjumpai orang tuanya). Tapi dari pancaran wajah si anak yang lesu tidak bersemangat, mereka sudah tahu bahwa anak mereka tidak di terima Si Boru Natumandi. Semua raja-raja yang menyuruh anaknya itu menjumpai Si Boru Natumandi bertanya-tanya : ‘na behado ulaning, na hurang mora do pe au, nahurang do hasangapon hu?’ (apa gerangan yang terjadi, apakah saya kurang kaya, apakah saya kurang bersahaja?) Padahal kekayaan dan kehormatan saya bahkan sangat melebihi orang tua si perempuan, kata hati setiap raja-raja yang mengirim anaknya menjumpai Si Boru Natumandi.
Siang berganti malam, hari berganti minggu,  bulan berganti  tahun tetapi , jawaban yang    diberikan     Si Boru   Natumandi   selalu   sama  kepada  setiap  anak-anak raja yang datang  melamarnya. Ayah dan  Ibunya  sedih sebab  terdengar  berita  bahwa raja-raja yang menyuruh anaknya  menjumpai   Si Boru Natumandi  merasa   dikecilkan  dan mereka sakit hati. Padahal anak-anak raja tersebut tidak memiliki kekurangan  bahkan bisa dikatakan  sudah sempurna,  wajah  mereka   tampan,  kaya dan jug berkedudukan. Tetapi kedua  orang  tua Si Boru Natumandi  bingung  dan bertanya – tanya  dalam  hatinya.   Apa sebenarnya yang dipikirkan Si Boru Natumandi?
Kadang-kadang hati kedua orang tua Si Boru Natumandi sedih memikirkan itu, tapi mereka tidak mau memaksakan kehendak,takut putrinya tersinggung, sedih atau menangis,mereka juga takut putrinya nanti sakit hati pada mereka. Karena Pada dasarnya marga Hutabarat sangat baik dan sayang  pada anak perempuannya, bahkan sampai sekarang pun bisa kita lihat dalam kehidupan sehari- hari dan boru hutabarat sangat baik marhula-hula.
Ada kebiasaan sehari-hari Si Boru Natumandi yakni : dia tidak suka martua aek[11] dan mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai. Dia suka martua aek dan mandi di siang hari. Biasanya diwaktu  mandi dia marhatobung [12] di sungai. Setiap dia marhatobung, selalu terdengar sampai ke kampung, ladang dan sawah. Bahkan orang yang bekerja di sawah dan di ladang menghentikan  pekerjaanya hanya untuk mendengar hatobung Si Boru Natumanding. Entah kenapa, semua hasil pekerjaan Si Boru Natumandi lain daripada yang lain. Seperti hasil tenunannya sangat cantik dan indah lain dari tenunan putri-putri raja. Setiap orang memegang tenunannya, sepertinya ada satu kekuatan yang tidak nampak dan mampu menarik hati orang untik membelinya. Masakannya juga enak dan selalu nikmat, apa yang dikerjakannya selalu cocok  bagi orang yang melihatnya.
Banyak orang bertanya-tanya dalam hati mereka tentang kelebihan yang dimiliki Si Boru Natumandi terutama para tua-tua,dan kelebihan itu   tidak membawa keburukan sehingga membuat kaum muda dan orang tua tidak melanjutkan pertanyaan yang selama ini mereka tanyakan dalam hati mereka.
Disuatu hari, ibunya mendengar Si Boru  Natumandi sedang berbicara di tempat dia menenun. Ibunya mendekat dan ingin melihat siapa teman putrinya berbicara. Si Boru Natumandi sangat serius berbicara sambil mengerjakan tenunannya. Dari pembicaraan itu  terdengar suara  seorang pemuda yang menemani putrinya. Terkadang Si Boru Natumandi  tersenyum malu, dan kadang-kadang bukan dia yang menenun tenunannya. Ibunya terkejut melihat kejadian itu, sebab di sekeliling tempat putrinya bertenun tidak ada orang yang sedang berbicara dengannya.
Dihapusnya wajah dan dadanya,lalu si ibu tersadar setelah melihat kejadian  aneh yang menimpa putrinya. Dia bertanya dalam hatinya “apakah saya  sedang bermimpi?” “tapi saya tidak tidur”. Dia kembali melihat putrinya itu, tetapi tetap saja sama seperti yang pertama dilihatnya itu.
Setelah  beberapa hari kemudian dia memberitahukan kejadian  aneh yang menimpa putrinya   itu pada suaminya.  “Bibir saya bukan diretak panas……?” ( Apa yang saya katakan itu benar ) “Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri!” Ujar sang ibu kepada suaminya. Tetapi  raja itu tidak menanggapi celotehan istrinya dan juga tidak menanggapi    kejadian aneh yang menimpa  putrinya itu  dengan serius.   Malah sang raja menjawab , “ah, atik tung na marnipi do ho boru ni raja nami, nabisuk marroha do borunta i, sodung disurahan pangalahona, tung heama i ?” ( “ah, mungkin dinda sedang bermimpi, putri kita kan orangnya sopan, dan dia tidak pernah berbuat hal- hal yang yang buruk) Akhirnya kedua orang tuanya tidak   mempertanyakan masalah itu lagi.
Mungkin  Si Boru Natumandi sudah jatuh cinta pada pemuda yang datang menjumpainya itu, sebab disuatu hari dia memberitahukan kepada kedua orang tuanya  bahwa dia sudah menemukan pemuda pujaan hatinya.  Orang tuanya sangat senang mendengarkan apa yang diberitahukan putrinya.
Biasanya, jika seorang putri sudah menemukan tambatan hatinya. sudah lumrah bagi orang tuanya untuk menanyakan perihal  pemuda yang menjadi tambatan hati putrinya. Bagaimana kelahirannya, bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana kekayaannya, dan masih banyak lagi yang akan ditanyakan orang tua pada putrinya perihal pemuda yang menjadi tambatan hatinya. Supaya nantinya putrinya bahagia dan tidak terlantar, serta menantu itu nantinya bisa menjadi kawan yang dapat diandalkan di waktu terjadi hal-hal yang tidak diingainkan terlebih waktu berperang.
Si Boru Natumandi memberitahukan perihal idamannya kepada orang tuanya  yakni : “na pat ni gaja  tu pat ni hora, pahompu na raja jala anakni na mora do na manopot ibana” (cucu raja  serta anak orang kaya yang sedang melamar dia ).” Pemuda yang melamar saya  adalah pemuda yang baik, berhati bersih, bertanggung jawab dan dia anak raja, kata Siboru Natumandi  pada kedua orang tuanya dengan kegembiraan   yang terpancar  pada  pada raut wajahnya. Melihat kegembiraan putrinya itu, kedua orang tuanya tahu  bahwa Siboru Natumandi  sudah serius menerima lamaran   yang datang dari pemuda  itu. Kerinduan mereka sudah terpenuhi , sehingga mereka  ikut bergembira mendengar kabar  tersebut dan mereka berkata : ” ba molo songoni do inang patandahon majo  tu hami asa dohot hami mamereng nanaeng ga besirongkap ni tondi mi” (kalau memang seperti itu , pertemukanlah kami padanya, supaya kami dapat melihat pemuda yang menjadi  teman hidupmu nanti).
Disuatu hari Siboru Natumandi mempertemukan pemuda itu kepada orang tuanya. Sungguh tampan di, cara berpakaiannya menunjukkan dia keturunan seorang raja yang bersahaja, bentuk badannya seperti “ ulubalang “[13]. Tidak berselang  beberapa lama,pemuda itu tiba- tiba menghilang bersamaan  kedipan mata kedua orang tua  Si Boru Natumandi . Tiba- tiba mereka melihat seekor  ular keluar  dari rumah mereka. “Apa yang terjadi ?” Kata ayah Si Boru Natumandi  : “pasada ma roha dohot pikkiran mu amang , jala  sonang  ma roha  muna paborhatton ahu  marhamulian  tu silomo ni rohakku” ( satukan hati dan pikiranmu ayah, relakan hati kalian memberangkatkan saya memilih pemuda yang menjadi teman hidupku nanti). Kedua orang tuanya terdiam  tidak bisa berbicara apa-apa, karena Si Boru natumandi putri  yang sangat mereka sayangi dan kasihi.
Pada suatu hari , Si Boru Natumandi memberitahukan kepada orang tuanya  perihal keberangkatannya dan tentang apa saja  yang akan   mereka kerjakan setelah dia  berangkat dari rumah nanti.  Hal-hal yang akan mereka kerjakan dan yang perlu diperhatikan adalah :
  1. Mereka tidak perlu membuat pesta pemberangkatan,baru setelah 7 hari kemudian baru dibuat pesta yang besar sebab “ sinamot” [14] yang akan diberikan cukup besar. 
  2. Seperti  sinamot dari pihak laki- laki , mereka akan meninggalkannya di suatu tempat dengan jumlah 7 “ampang“ [15]. Sebelum 7 hari 7malam ampang itu tidak bisa dibuka oleh siapapun
  3. Setelah 7 hari 7 malam ampang itu baru bisa dibuka dan didalamnya akan terisi emas, itulah yang menjadi sinamot kami.
  4. Dalam  waktu 7 hari itu setelah kami berangkat, kami akan mengantar “pinahan“ [16] untuk dimakan, dan pada waktu pesta itu kami akan    mengantar kerbau sebagai “panjuhuti” [17]
  5. Tempat tinggal kami nantinya sangat jauh, kalian ikuti aja “sobuan” [18] yang saya jatuhkan mulai dari depan rumah kita. Dimana sobuan itu nantinya berakhir,sampai disitulah kalian mengikuti saya.sebab jalan yang saya lalui harus melalui sebuah gua yang ujungnya sampai ke daerah Toba dan bercabang ke daerah Penabungan.
Kedua orang tua si Boru Natumandi hanya diam mendengar semua yang dikatakan putrinya itu.  Mereka hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada “Mulajadi Nabolon” [19]
Setelah tiba waktu keberangkatan Si Boru Natumandi,lalu dia memasak makanan yang lezat mulai dari pagi hari sampai sore hari. Setelah semuanya siap mereka berdua makan bersama ,kedua orang tua si Boru Natumandi melihat putrinya sedang makan bersama pemuda yang pernah mereka lihat waktu itu.
Sesudah mereka selesai makan, kemudian orang tuanya melihat mereka lagi tetapi si Boru Natumandi dan pemuda itu tidak ada lagi di tempat mereka makan. Lenyap seperti ditelan bumi,orang tuanya melihat makanan yang tersaji itu tidak berkurang sedikitpun dan sudah dingin seperti sudah lama ditinggalkan.
Pagi-pagi buta, ibu Si Boru Natumandi bangun bersama ibu-ibu lain melihat sobuan tersebut dan mengikutinya seperti yang di pesankan Si Boru Natumandi pada ibunya. Mereka mengikuti sobuan itu hingga sampai di depan mulut sebuah gua yang berada di tepi  Aek Situmandi dekat aek rangat [20]. Mereka memberanikan diri memasuki gua tersebut,tetapi karena terlalu gelap mereka memutuskan  untuk tidak meneruskannya terlalu dalam lagi. Mereka pulang dan memberitahukan kejadian tersebut. Kabar itu langsung tersebar  di seluruh Lembah Silindung.
Setelah matahari tebit dari atas Dolok Siatas barita, sampailah ke huta itu beberapa ekor “aili” [21] yang besar-besar dan gemuk.Sepertinya ada yang menyuruh mereka turun dari hutan menuju Dolok Siatas Barita. Semua aili itu jinak dan tidak meronta  sewaktu ditangkap dan disembelih oleh orang-orang kampung  untuk digunakan pada acara pesta. Seperti itulah terus menerus aili turun dari hutan  di atas Dolok Siatas Barita selama 7 hari, sampai-sampai semua orang yang datang ke acara pesta itu  membawa sebagian dagingnya ke kampung  masing-masing.
Mungkin sudah kemauan Tuhan Yang Maha Esa, sebab sebelum digenapi 7 hari 7 malam beberapa  orang dari keluarga dekat si Boru  Natumandi secara diam-diam  mengintip isi ampang itu. Padahal Siboru Natumandi sudah memberitahukan  bahwa ampang itu tidak bisa di buka oleh siapapun sebelum tergenapi hari yang dijanjikannya. Mereka melihat isi ampang itu hanya sobuan yang sudah mulai menggumpal seperti emas di dalamnya.
Setelah kejadian itu,ayah dan ibu Si Boru Natumandi bermimpi. Mereka didatangi putrinya dan memberitahukan bahwa sudah ada yang melihat ampang  yang telah dipesannya itu. Ampang dan isinya sudah hambar sebab pesannya sudah dilanggar.
Melihat semua kejadian yang menimpa keluarga dan putrinya,maka raja tersebut mengumpulkan semua raja-raja,tua-tua kampung dan semua penduduk hutabarat  berkumpul “martonggo” [22] ke Mulajadi Na Bolon “Tung naso jadi ma Boru Hutabarat nauli molo marhasohotan tu “Ulok” [23] (Tidak akan pernah ada lagi  boru Hutabarat yang cantik rupawan kalau jadinya kawin sama ular).
Disini kami menegaskan bahwa asumsi masyarakat selama ini tentang si Boru Natumandi (semua boru Hutabarat saat ini) yang sombong adalah salah, dimana menurut cerita selama ini bahwa secantik apapun boru Hutabarat pasti ada cacatnya. Banyak marga Hutabarat membeberkan hal tersebut, tetapi perlu digaris bawahi itu terjadi bukan karena kesombongan namun karena sumpah leluhurnya tersebut.
Namun semua itu dikembalikan kepada penilaian kita masing-masing, kalau kita tinjau dari segi agama mungkin sangat bertolak belakang. Agama pada dasarnya membenarkan  suatu kejadian yang benar-benar terjadi bukan rekaan. Kita bisa membacanya dari kitab yang kita yakini sesuai dengan agama yang kita anut. Tetapi walaupun demikian kita tidak bisa menyalahkan budaya batak terutama pada zaman dahulu. Zaman dahulu masyarakat Silindung masih mempercayai legenda atau cerita rakyat yang bersifat anonim bukan hanya cerita  “Si Boru Natumandi”, masih ada legenda lainnya yang dipercayai orang batak seperti ”Terjadinya Danau Toba di Samosir”. Sedangkan zaman sekarang yang diperlukan adalah perkembangan sumber daya  manusia (pendidikan/keterampilan) berdasarkan moral religius dan etika. Oleh karena itu, dari segi agama maupun budaya kita bisa memilah mana yang bisa kita terima secara logika.

[1] Sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah
[2] Sumber mengatakan Raja itu bernama Raja Ama Natidar. Raja Ama Natidar mempunyai 2 orang putra yaitu : Raja Natidar dan Tuan Jabut serta seorang putri yang cantik rupawan yang bernama Si Boru Natumandi
[3] Huta, desa, kota; marhuta, berkediaman di kampung; marhuta sada, berjalan-jalan, tidak tinggal di kampung, keluar kota, bepergian; huta sabungan, ibu kota, kampung induk; parhutaan, pemukiman, perkampungan; pardihuta, bini, isteri, yang bertugas di desa, (lawan parbalian); tarhuta, diketahui orang didesa bahwa orang berutang banyak; marhutahuta, mainan anak-anak bangun kampung-kampungan; raja hutam sesepuh kampung; Huta Raja, Huta Talun, Huta Pea, nama desa, nama kampung. Sumber mengatakan kampung itu bernama Banjar Nahor. Tahun 1985 kampung itu berganti nama menjadi Banjar Nauli. Hanya ada 2 kampung pada masa itu yakni Hutabagasan dan Banjar Nahor
[4] Aek Situmandi. Nama sebuah sungai di daerah Hutabarat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Bentuk sungai sudah besar dan jalurnya sudah berubah.
[5] Pele kata dasar, mamele, umpele, menyajikan, mempersembahkan sajian, kurban kepada dewata atau roh; mamelehon, mempersembahkan sebagai kurban; pelean, persembahan, kurban sajian; mamele begu, memberi persembahan kepada nenek moyang, kepada roh-roh, menyembah roh; sipelebegu, orang kafir, pemuja nenek moyang, penyembah arwah. Dahulu Dolok Siatas Barita adalah tempat Penyembahan keturunan Guru Mangaloksa.
[6] Dolok Parsaktian. Dolok, gunung, pegunungan; dolokdolok, bukit, perbukitan; pardolok, penduduk gunung, juga: terletak di gunung; pardolohan, pegunungan.Di daerah Toba ada juga Dolok yang sama seperti Dolok Siatas Barita yang dijadikan masyarakat Balige dan sekitarnya menjadi tempat pamelean mereka yaitu Dolok Tolong
[7] Sopo, lumbung padi, di bawah atap disimpan padi, di ruang terbuka tempat menerima tamu serta tempat mengadakan pertemuan, di atas juga tidur para pemuda
[8] Ruma, rumah adat, terutama rumah Batak yang diukir; pardiruma, isteriku, nyonya rumah; di ruma, di nifas; ruma sahit, rumah sakit; dipaturuma, memanggil begu ke dalam rumah; ruma bolon, penjaga modal bersama, yang bertanggung jawab untuk itu.
[9] Desa, penjuru, mata angin; desa na ualu, delapan penjuru angin
[10] Parumaen, menantu perempuan; parumaen di losung, = parumaen sinonduk, calon menantu perempuan, yang sudah diterima dalam rumah sebagai pembantu dan sudah diberikan mas kawin, mengenai dia dikatakan: hira hatoban siulaon, alai hira raja nasida anggo di sipanganon, ia harus kerja seperti seorang hamba, tetapi ia peroleh makanan seperti seorang raja
[11] Martuaek, mengambil air
[12] Marhatobung. Yakni air sungai di permainkan dengan cara ditampar ,dipukul, dipotong dan disodok dengan tangannya  hingga menimbulkan suara atau musik yang sangat enak didengar.
[13] Ulubalang. Kata dasar Ulu, kepala; ulu ni timbaho, ujung lempeng tembakau yang paling enak rasanya; ulu ni rihit, gosong, busung pasir; P.B.: madungdung bulu godang tu dangka ni bulu suraton, molo mardomu angka na bolon, adong do ulu buaton, bambu besar menyentuh bambu kecil, manakala orang-orang besar bertemu pasti akan ada korban; manguluhon, memimpin perkara; pangulu, penengah antara dua pihak; pangulului, telah melihat setengah jalan (matahari); na pangului, jam 09.00 pagi; ulubalang, hulubalang, pendekar; ulubalang ari = hasiangan on;pangulubalang, patung kecil yang dipuja yang dimasukkan sedikit pupuk; hauluan = haulian = ulu, hauluan, tanda “i” dalam tulisan Batak: juga haulian; paulubalanghon, disewa sebagai hulubalang
[14] Sinamot.. Mas Kawin
[15] Ampang, bakul yang dianyam di bawah, berbentuk empat segi dan di atas bundar, juga dipakai sebagai takaran beras atau padi; parampangan, bakul besar dimana di dalamnya disimpan bakul-bakul kecil; na marampang na marjual, = na marpatik na maruhum, seseorang yang memakai takaran dengan baik dan jujur, menimbang secara adil dan punya undang-undang dan hukum keadilan; mangihut di ampang, berlangsungnya per-kawinan seorang gadis hanya dengan membawa bakul makanan buat pihak mertuanya, karena mahar (mas kawin) sudah beres sebelumya; marmanuk di ampang, meramalkan masa depan berdasarkan letak badan ayam yang lehernya dipotong segera ditutup dengan “ampang” (tentang dukun); parampang ni luat, bagian dari pekan yang dikhususkan bagi sesuatu daerah untuk menyimpan barang mereka; P.B.: sadampang gogo, sanjomput tua, tenaga satu ampang banyaknya, keuntungan hanya sejemput, kerja mati-matian, hasil minim; manghunti ampang, mempe- lai baru, yang pertama kali membawa makanan kepada mertuanya; suhi ni ampang na opat, sudut bakul nan empat, sebagai lambang empat fungsional penerima mas kawin pada adat menikahkan puteri empat; kerabat yang paling utama, dalam hal ini diingat kepada ampang yang ditutupkan datu pada ayam sembilahan itu, bila ayam itu menggelepar sampai keranjang jatuh, artinya celaka. Oleh karena itu keempat sudut keranjang harus diperberat.
[16] Pinahan. Ternak atau hewan yang di peliharaan (babi) yang di sembelih waktu perkawinan
[17] Juhut, daging; juhut bontar, orang utan, mawas; juhuton, muak, kebanyakan makan daging; juhutjuhuton, mengelupas pada kulit kuku; manjuhuti, menyediakan lauk daging; panjahuti, daging yang dibawa ayah mempelai laki-laki pada marunjuk
[18] Sobu, hidupkan api, lepas, sibuk, rajin pada sesuatu; manobu api, menutup api dengan abu, agar jangan padam betul; sobuon, tumpukan kulit padi, sekam, kulit tipis pada padi yang sewaktu menumbuknya menjadi lepas (ditebarkan pada api agar tidak mati); tano sobusobu, tanah yang lembek (seperti sobuon)..
[19] Mulajadi Na Bolon, dewa tertinggi yang menjadikan dunia dan nasib manusia berada dalam tangannya. Mula, mula, awal, asal; mulamula, mula-mula; di mula ni mulana, pada awal sekali; di mulana, mula-mula; parmulaan, permulaan; marmula, memulai; marmulahon, sesuatu sebagai asal mula-mula
[20] Rangat, aek rangat, air belerang, air hangat bersumber dari alam
[21] Aili, celeng, babi hutan
[22] Tonggo, martonggo, berdoa dalam agama animisme, berdoa kepada dewa; martonggo raja, mengundang raja-raja untuk turut berpesta; tonggotonggo, doa-doa bersifat agama.
[23] Ulok, ular; ulok na bisa, ular berbisa

Sumber :
St. M. Hutabarat, L. Hutabarat

TANAH AIR BATAK TERSEBAR DI BEBERAPA PROVINSI

TANAH BATAK TERSEBAR DI BEBERAPA PROVINSI


Wilayah sejati Rumpun Etnis Batak sesungguhnya lebih luas dari sebagian wilayah Tanah Batak yang saat ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara (SUMUT).
Beberapa daerah dan Sub rumpun Etnis Batak yang wilayahnya terletak di luar Provinsi Sumatera Utara saat ini adalah :

1. Gayo, Kluet, dan Alas 

Berdasarkan penelitian ahli anthropolgi, ahli bahasa, dan pakar budaya pada jaman Penjajahan Belanda yaitu Prof. Van Vollenhoven menemukan banyak kesamaan adat istiadat asli (sebelum dipengaruhi agama yg masuk belakangan), kesamaan budaya, kesamaan asal etnis, dan kesamaan dasar rumpun bahasa antara Batak Karo dengan Suku Batak Gayo dan Suku Batak Alas. Ketiga Suku ini dimasukkan Belanda ke dalam wilayah Aceh sejak penaklukan Aceh. Ketiganya dimasukkan Belanda sebagai bagian dari wilayah Keresidenan Aceh yang berpusat di Kutaradja (Banda Aceh, sekarang). Dalam hal ini Belanda mengesampingkan kenyataan perbedaan etnis, bahasa, adat istiadat, budaya dan sejarah yang ada diantara Suku Aceh dengan Suku Batak Gayo, Batak Kluet, dan Suku Batak Alas.
Van Vollenhoven mengklasifikasikan Rumpun Adat ini sebagai Rumpun tersendiri yang sejajar dengan Rumpun Budaya Batak yaitu Rumpun Gayo Alas Karo.
Dikatakannya kedua rumpun ini (Rumpun Batak dan Rumpun Gayo Alas Karo) memiliki kekerabatan dan sejarah awal yang berhubungan. Sehingga Rumpun Induk Suku Batak terdiri dari 2 Sub Rumpun Induk yaitu : Sub Rumpun Budaya Batak dan Sub Rumpun Budaya Gayo Alas Karo.
Masing2 sub Rumpun terdiri lagi atas beberapa Sub Suku yang sering dikenal dengan istilah Puak. Sub Rumpun Batak Gayo Alas Karo terdiri dari Puak-puak : Karo, Gayo, dan Alas, termasuk di dalamnya Suku Kluet yang juga dikategorikannya sebagai bagian dari Puak Batak ini.
Sedangkan Sub Rumpun Batak terdiri dari Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun dan juga Pakpak serta Singkil.
Pakpak dan Singkil menurutnya sebetulnya lebih tepat dikategorikan menjadi budaya peralihan yang terletak di pertengahan antara kedua klasifikasi Sub Rumpun Batak ini.
Secara mendatail ditemukannya banyak data yang menunjukkan lebih banyak persamaan antara ketiganya (Gayo, Alas, dan Karo). Penelitian seorang ahli Belanda lainnya yaitu Ypes yang khusus mempelajari budaya Batak Karo menemukan banyak data hubungan Puak ini dengan Gayo dan Alas, serta juga dengan Pakpak dan Singkil. Jauh lebih sedikit persamaan yang bisa ditemukan bila dibandingkan dengan rumpun Batak lain (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing).
Puak Karo memiliki cukup banyak persamaan dengan Pakpak dan Singkil dari segi Bahasa Daerah yang memiliki persamaan akar dialek, sementara secara adat dan budaya, Batak Pakpak dan Batak Singkil lebih dekat kepada Rumpun Batak Toba. Mungkin karena wilayah ini dalam sejarahnya menjadi daerah kekuasaan dan sekutu Toba di bawah Dinasti Sisingamangaradja dalam waktu yang sangat panjang.
Dalam sejarah banyak ditemukan kisah perantauan dari Karo dan Pakpak yang kemudian menetap di Tanah Gayo dan Tanah Alas dan sebaliknya. Banyak garis keturunan diantara ketiganya yang masih bisa ditelusuri hingga saat ini. Bahkan dalam sejarah juga dicatat kekuasaan kerajaan Alas dan Kerajaan Gayo sering menyerang dan menduduki wilayah Karo Atas (Karo Gunung di Tana Karo) hingga mencapai wilayah Simalungun. Orang Batak Gayo dan Batak Alas bahkan tercatat dalam sejarah mendirikan Dinasti beberapa kerajaan kecil di Simalungun dan Karo Gunung. 


2. Singkil 



Selain Gayo dan Alas, sesungguhnya wilayah Suku Batak juga mencakup Daerah Singkil yang saat ini juga termasuk wilayah Aceh. Budaya, adat istiadat asli dan bahasa daerah Singkil berkerabat dekat dengan Puak Batak Pakpak di Dairi. Begitu pula dengan marga-marga asli Singkil merupakan varian dari marga Pakpak. Disamping etnis Batak Singkil asli juga banyak bermukim keturunan Toba yang telah berabad-abad tinggal di sana dan menjadi orang Singkil sepenuhnya dalam budaya dan bahasa daerah Singkil. Kendati menjadi orang Singkil mereka masih tetap menggunakan marga yang 100% asli Toba, seperti Sinambela, Marpaung, Pardosi, Hutabarat, Hutajulu, Silalahi, Sihite, Situmorang, Pardede, Bakkara, Pasaribu, Sinaga, Simangunsong, Sidabutar, Tanjung, Pane, dll.
Daerah Batak Singkil dilepaskan Belanda dari lingkungan budaya Batak secara global dimasukkan ke dalam wilayah Aceh di masa penghujung kekuasaan Sisingamangaradja. Pada saat itu Sisingamangaradja XII sedang bertahan di Dairi dengan segenap kekuatan terakhirnya. Kekuatan beliau terdiri dari Pasukan inti dari Batak Toba yang masih setia padanya dengan tambahan pasukan dari Batak Pakpak, dan juga sekutunya Batak Singkil yg umumnya Muslim. Disamping itu juga ada bantuan dari Batak Gayo yang dikirim oleh Kesultanan Aceh karena mereka mengabdi kepada Kesultanan Aceh.
Pertahanan Sang Raja Sisingamagaradja XII di Tanah Dairi Pakpak sangat kuat sehingga sulit ditembus oleh pasukan Belanda yang menyerang dari arah Selatan (Tanah Toba ex wilayah kekuasaan Sisingamangaradja dan Sibolga Barus es kekuasaan Kesultanan Batak Barus) dan Timur (Tanah Simalungun ex wilyah kekuasaan Raja-raja Simalungun dan Tanah Karo ex kekuasaan Raja-raja Karo). Belanda kemudian meminta bantuan kepada Gubernur Militer dan Residen Aceh untuk mengirimkan pasukan Belanda dari Aceh untuk menjepit kekuatan Sisingamangaradja XII dari arah Utara. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memutuskan akses wilayah Dairi ke daerah pesisir pantai oleh Pasukan Belanda yang di datangkan dari Aceh tersebut.
Pasukan bantuan dari daerah Aceh ini menyerang dari Utara (dari arah Tanah Gayo dan Tanah Alas) menduduki Tanah Singkil, menghancurkan Kerajaan Batak Singkil yang masih berkerabat darah dengan Dinasti Sisingamangaradja. Dengan ditaklukkannya Singkil, berarti terputuslah jalur bantuan kekuatan dari Barat yang memiliki akses ke laut.
Selanjutnya dibuat kesepakatan oleh kedua Residen untuk memberikan wilayah Singkil kepada pasukan dari Aceh dan dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Atjeh.
Pendudukan Singkil ini sangat membantu Pasukan Belanda yang menyerang dari Selatan (Sumut) untuk mengobrak-abrik pertahanan sang Raja yang praktis hanya bertahan di sekitar Tanah Dairi. Selanjutnya seperti yang sudah diketahui di penghujung perjuangan, Sang Raja akhirnya tewas tertembus peluru musuh.
Sejak itu secara resmi terpisahlah Batak Singkil dari saudara serumpunnya di Tanah Dairi Pakpak oleh Belanda sebagai bagian politik devide et impera. Pemisahan ini terus berlangsung hingga saat ini dengan ditetapkannya menjadi bagian integral dari Prov. D.I. Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Begitulah ketiga wilayah bersuku Batak ini oleh Belanda dianeksasi dan dimasukkan ke dalam wilayah Aceh secara sepihak. Ketiga daerah ini tidak pernah sudi dikategorikan sebagai orang Aceh. karena memang hampir tidak ada persamaan antara orang Aceh dengan mereka , kecuali hanya sama-sama beragama Islam.
Saat ini Wilayah Gayo dan Wilayah Alas sedang berjuang masing-masing secara konstitusional untuk melepaskan diri dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara wilayah Singkil belum terdengar resonansi perjuangannya sampai meletup menjadi upaya serupa yang sistematis.

3. Rao 
 
 
 Daerah Rao dalam sejarahnya dihuni oleh Etnis Batak yang berkerabat dekat dengan Puak Batak Mandailing. Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa orang Rao adalah Etnis Batak dari Puak Mandailing yang wilayahnya termasuk Provinsi Sumatera Barat. Oleh Belanda daerah ini dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera’s Westkust (Sumatera Barat) pada saat penaklukan wilayah ini dari tangan Kaum Paderi thn 1837M. Pada saat itu Tanah Rao yang dominant bersuku Batak adalah merupakan salah satu pusat kekuatan kaum Paderi. Sehingga sejarah mencatat bahwa sebagian diantara tokoh kaum Paderi sejatinya adalah dari etnis Minangkabau bermarga Batak.
Sejak itu wilayah ini praktis menjadi bagian yang tek terpisahkan dari Sumatera Barat hingga masa kemerdekaan saat ini. Dan seperti daerah lainnya yang terpisah dari wilayah induknya, perasaan kebatakan mereka pun cenderung melemah sehingga dengan tanpa rasa bersalah mereka menyatakan diri sebagai orang Minangkabau kendati sebagian diantaranya masih menggunakan marga Batak. Sedangkan sebagian besar diantaranya menggunakan nama Suku (Marga di Minangkabau disebut Suku) : Mandailiang. Tentu saja nama ini agak sukar dibantah bila dikatakan memiliki asal dari kata Mandailing dengan aksen dialek Minangkabau.

4. Beberapa wilayah kecamatan di Rokan Hulu Riau
 

Beberapa wilayah di sekitar perbatasan Rokan Hulu di Provinsi Riau dengan wilayah Padang Lawas di Sumatera Utara sejatinya adalah bersuku Batak yang masih berkerabat dengan Puak Mandailing. Wilayah mereka juga dimasukkan ke dalam wilayah Administrasi Keresidenan Riouw pada jaman penjajahan Belanda setelah penaklukan kaum Paderi gelombang terkhir yang dipimpin oleh tokohnya Tuanku Tambusei. Sesungguhnya Tuanku Tambusei adalah putera asli daerah Rokan Hulu yang bermarga Harahap.
Sejak itu wilayah ini termasuk dalam lingkungan Budaya Melayu Riau yang kental hingga akhirnya para penutur bahasa dan adapt istiadat Batak terabsorbsi sepenuhnya menjadi orang Melayu dengan meninggalkan marganya. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak diantaranya yang masih memiliki cerita sejarah leluhur meraka yang berasal dari Etnis Batak. Keresidenan Riouw pada jaman Kemerdekaan RI setelah melewati sejarah yang cukup panjang akhirnya sekarang telah menjadi Provinsi Riau.

5. Beberapa wilayah Batak lainnya 1861-1907 M.
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda pada masa itu belum mampu karena di pihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas berbagai pemberontakan. Sementara itu pada saat yang sama, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Politik Devide et Impera dari Pantai Timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. 


Tanah Batak Raya dipecah menjadi:

1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja, yang meliputi daerah Tapanuli Selatan (Mandailing, Padang Lawas, Angkola, Sibolga, Pesisir Barus), Tapanuli Utara (Humbang, Silindung, Holbung, Tarutung, Pahae, Toba, Samosir, Muara, dll) dan Tanah Dairi, ditambah kepulauan Nias yang sama sekali bukan beretenis Batak.
 

2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja. Yang meliputi Pesisir Sumatera Timur Mulai dari wilayah Kesultanan Melayu Langkat, Kesultanan Melayu Deli, sampai dengan perbatasan Riau di Selatan, ditambah Wilayah Batak Simalungun dan Wilayah Batak Karo.
 

3. Daerah Batak Singkil, Gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Aceh.
 

Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
  1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di Tanah Karo Dusun.
  2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
  3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
  4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
  5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung ex panglima Paderi diberi pengakuan secara hukum.
  6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
  7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah, dan kepentingan ekonomi. Kerajaan Merbau didirikan oleh salah seorang ex Panglima Tentara Paderi pimpinan Tuanku Mansur Marpaung yang bernama Zulkarnain Aritonang.
  8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga kerajaan kecil-kecil.
  9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo, Kluet, dan Alas yang dimasukkan ke Aceh, dan orang-orang Batak Karo, serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi masyarakat Batak saat itu, praktis, sepenuhnya dikuasai Belanda.
Sementara itu wilayah Tapanuli Selatan bersuku Batak Mandailing dan suku Batak Angkola dan ex Kesultanan Batak Melayu Barus Hulu dan Pesisir Barus Hilir di Tapanuli Tengah juga sudah ditaklukan lebih dahulu oleh Belanda.
Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah dalam sejarah perjuangannya pada masa Sisingamangaradja XII. Hingga akhirnya penguasaan Tanah Batak Toba secara keseluruhan oleh Belanda menyebabkan tersingkirnya Sisingamangardja XII dari ibukota kerajaannya di Bakkara dan menyingkir ke wilayah Pakpak di tanah Dairi yang masih setia kepadanya.
Selanjutnya wilayah Singkil pun dianeksasi oleh Belanda ke dalam wilayah Aceh sehingga praktis sang Baginda hanya tinggal menyisakan wilayah Pakpak Dairi sebagai pertahanan terakhir menjelang ajalnya dalam pertempuran akhir yang menentukan.

Tanah Batak dan Etnis Batak sukar untuk Dipersatukan Kembali
Itulah sekelumit wilayah Bersuku Batak yang saat ini terpisah dalam beberapa Provinsi yang sepertinya mustahil bisa dipersatukan kembali. Kondisinya utama yg dihadapi Etnis Batak sejak dahulu kala adalah adanya resistensi masing-masing Puak Batak yang teguh menentang persatuan diantara mereka.
Juga karena dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak mudah mengakomodasi pemisahan ataupun penyatuan wilayah berdasarkan konsep etnis apalagi agama .... bisa dicap SARA.....

Jumat, 28 Juni 2013

Si Boru Lopian br Sinambela dan Tor Naginjang Lumban Gaol




Makam boru Lopian


Dalam buku yang ditulis oleh Drs Gens G Malau dan Dr Payaman J. Simanjuntak, APU. “Lopian boru Sinambela” hal 66 terbitan Partukkoan Dalihan na Tolu. Jelas sekali terlihat fungsi dari Bius Huta Paung yang menjadi basis pelatihan pasukan sukarela Baginda Raja yang dilatih oleh pendekar-pendekar Atjeh disana. Sebagai bukti, disana ada sebuah Tambok (danau kecil) bernama tambok Atjeh. Mungkin tambok atjeh sekarang tak seindah masa itu lagi. Bius Huta Paung menerima pasukan Raja itu, Sebagai konsekwensi ikrar bersama yang disepakati bersama tahun 1883 di Bakkara.
Selanjutnya, Sisingamangaraja XII dan Ompu Tor Naginjang (Barita Mopul) sepakat menjadikan Huta Paung sebagai basis latihan bagi pemuda-pemuda Batak. Pasukan relawan ini dilatih para hulubalang dari Atjeh. Suasana di Huta Paung yang menjadi basis pertahanan garis belakang, ketika itu sangat ramai. Pada dasarnya Huta Paung adalah mata rantai jalur tradisional yang menghubungkan jalur Bakkara, Huta Paung, Dairi atau sebaliknya.
Menurut tutur/ turi-turian yang kami dapat mengenai Boru Lopian dengan Tor Naginjang adalah sebuah hubungan yang direstui semua fihak. Baik itu bius Bakkara maupun Huta Paung. Mereka berdua adalah pasangan yang serasi. Hubungan dua orang yang diharapkan dapat meneruskan dan menegakkan harkat bangso Batak ini, tidak main-main. Ompung mereka berdua telah bersumpah untuk bahu membahu melawan pendudukan Belanda. Artinya mereka adalah anak-anak yang tak luput dari sumpah tersebut. Sebagai mana umumnya bangso Batak yang terkenal teguh pada sumpahnya. Pada tahun-tahun itu, beberapa bius sudah mulai menjadi elaborator Belanda. Seperti menjadi penghubung bagi Belanda dan Sisingamangaraja XII demi menarik keuntungan sendiri.
Dengan demikian Belanda semakin dekat dengan jejak Raja Sisingamangaraja.
Mengetahui hal tersebut , Raja dari Bakkara ini sangat berhati-hati dalam memberikan kepercayaan. Demikianlah Tor Naginjang mendapat kepercayaan dari keluarga Sisingamangaraja untuk mendampingi Lopian paribannya itu. Namun seperti umumnya hubungan marpariban, yang sering dihinggapi cerita mistis. Akhirnya mati dan tidak diketemukan jasadnya sampai saat ini. Ketika Raja dan pasukannya yang tinggal belasan orang itu terdesak dari Sionom hudon di Dairi, Tor Naginjang yang sudah sekarat, karena mengalami luka-luka yang parah. Terpaksa dengan berat hati dia ditinggalkan disebuah desa.
Air yang memberi hidup.....
 Pancur "Boenggoek Nabolon" HUTA PAUNG"

Namun, sampai kini tak ada satupun yang dapat menemukan jejak jasadnya. Nasib kedua kekasih tersebut memang ironis. Di sisi lain mereka berdua telah menggenapkan sumpah leluhur mereka. Dengan tidak menyerah kepada Belanda sampai titik darah penghabisan. Disusul kemudian kematian sang Raja tahun 1907. Dibukanya jalan jalur Dolok Sanggul-Sidikkalang, sebenarnya memutus Bakkara dari jaringan aliansi biusnya, yang tradisional. Disilah kepicikan Belanda terbugkus rapih sehingga orang tidak lagi beroriantasi pergi ke Bakkara.
Sampai pemerintahan yang sekarang berkuasapun, jalur ini tetap tidak dibuka. Perkembangan dari cerita sejarah sekitar pengungsiannya ke Sionom Hudon, Raja dari Bakkara itu sepertinya berjalan sendiri tanpa dukungan dari keturunan Barita Mopul yang mempunyai pengaruh sampai ke Dairi, sangat tidak masuk akal. (Halaman 77 buku boru Lopian) Di Huta Paung, mereka menemui Raja Lumba Gaol yang sebelumnya sudah menerima sebahagian pasukan baginda dilatih dan bermukim disana. Hubungan keduanya cukup akrab, dan ada ikatan pamili. Kutipan dari hal 77 ini cukup untuk menjelaskan bahwa si Boru Lopian adalah Pariban kandung dari Tor Naginjang. Kekerabatan bukan satu-satunya alasan kebersamaan mereka. Ikrar politik yang dicanangkan Ompung mereka berdua, yaitu Sisingamangraja XI dan Barita Mopul, Ompu Tor Naginjang di Ri Nibolak 1883 itu lah yang mengikat mereka. Hal ini sering dilupakan orang bahwa kalau Ompu-Ompu kita Martonggo tu Debata adalah sumpah yang akan terus dibawa oleh keturunanya.
Demikianlah jalan hidup Si Boru Lopian dan Si Tor Naginjang sebagai Pariban yang sejak semula dibangun dengan kesadaran Politik bercampur dengan mistisifikasi “Dalihan na Tolu”. Berikutnya hal 113
Ketika Welsink mengajak Sisingamangaraja bertemu di Parbuluan. Ajakan itu ditolak Raja atas nasehat Ompu Babiat Situmorang bersama ama ni Mopul (koreksi) Barita Mopul. Dua tokoh ini mempunyai pengaruh sampai Dairi. Karena semangkin banyak saja orang yang tergiur dengan janji-janji Welsink. Pada tangal 27 Oktober 1890 Guru Somalaing pardede dan Modigliani naik perahu (Ducth} menuju Bakkara. (Catatan Modigliani dalam Toba Na Sae hal 334). Pada kesempatan tersebut , saya berhasil meyakinkan mereka bahwa kalau mereka bersama dengan saya, maka roh {begu} itu tidak perlu ditakuti’
“Tetapi di atas sana juga `musuh`,”kata mereka. Kemungkinan besar pendapat mereka itu benar, sebab di balik gunung itu terletak Huta Paung dan Parsingguran, tempat pasukan Sisingamangaraja masih berkeliaran {bergerilya, S.S}.
Kutipan dari buku Sitor Situmorang dari Toba Na Sae di atas tadi, membuktikan bahwa Bius Huta Paung memang telah menjadi basis perlawanan yang cukup lama. Mengingat kesepakatan pertemuan pimpinan Bius di Ri Nibolak Lintong Bakkara 1883.
Maka secara politis, bius Huta Paung adalah aliansi politik bius Dinasty Bakkara yang paling dekat. Baik itu ditinjau secara geografis maupun tingkat keamanan bagi keluarga Sisingamangaraja XII..
Sedangkan Parsingguran adalah Huta yang dihuni marga {Marbun no2} Banjar Nahor yang saat itu, masuk dalam bius Huta Paung. Pada waktu itu juga Tentara Belanda dalam hal ini Marsose, tidak dapat melanjutkan pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII dari Bakkara ke Huta Paung, karena medan yang terjal, dan pasukan Sisingamangaraja sudah berada di posisi ketinggian Bukit, hulubalang serta panglima-panglima perang Atjeh sudah siap melakukan penyerangan, apabila pasukan Marsose memaksa diri mendaki ke arah Parsingguran.
 
Makam Tor Nagijang
Belanda tahu akan posisi yang kurang menguntungkan itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau mengorbankan pasukan secara sia-sia. Karena jika marsose naik ke Parsingguran, tak ada tempat untuk berlindung karena kontur tanah disana hanya ditumbuhi ilalang, menanjak dan mendaki bukit. Hal ini terlalu beresiko, maka pasukan Belanda pun terpaksa harus kembali berputar lewat rute Lintong ni Huta Siborong-borong menuju Dolok Sanggul, Matiti, ke Huta Paung.
Saat itu belum dibuka, jalan raya lintas Dolok Sanggul-Sidikalang. Sesampainya Di Huta Paung, Belanda sangat murka dan membakar kampung Lumban Ganjang berikut Jabu Siharunungon warisan yang sudah berusia ratusan tahun tersebut. Belanda marah karena Raja dan keluarganya sudah diungsikan ke Dairi.

sumber: sumber: http://hojotmarluga.wordpress.com/2008/10/17/lopian-tor-naginjang/

Kamis, 27 Juni 2013

5 Eksotisme Mistis Di Suku Batak

 
berita-setiap-saat : Setelah eksotisme magis masyarakat Suku Dayak, uniknya.com kini menyajikan keindahan budaya yang terdapat di Pulau Sumatera, sebuah komunitas suku bangsa yang dikenal dengan sebutan Suku Batak. Berdasarkan kepercayaan, nenek moyang mereka berasal dari seorang raja yang diturunkan di Gunung Pusuk Puhit. Gunung Pusuk Buhit adalah tempat dimana dahulu kala  Raja Batak ada dan berdoa di  tempat paling tinggi, diantara gunung yang menggelilingi Pulau  Samosir. Menurut mitos yang sudah turun temurun dipercaya bahwa tempat tertinggi inilah mula  suku Batak. Berikut secara ringkas uniknya.com menyajikan eksotisme budi dan karsa masyarakat Suku Batak:

1. Hadatuon
Masyarakat Suku Batak zaman dahulu dikenal menganut kepercayaan animisme dan dinamis, kepercayaan tersebut hingga kini masih tersisa dikenal dengan sebutan agama parmalim, malim, dan mewariskan hadatuon.

Hadatuon merupakan merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari oleh orang-orang tertentu (khususnya yang diberi anugerah istimewa), sahala hadatuon. Proses penyampaian “ilmu”nya selalu bersifat isoteris, artinya dilakukan di luar lingkungan masyarakat serta bersifat tertutup di antara seorang ‘guru’ (datu) dan seorang ‘murid’. Datu hanyalah seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak memiliki kewajiban untuk mengajarkan ilmunya

 kepada orang lain. Datu dalam hal itu tidak berfungsi sebagai guru masyarakat seperti guru-guru lainnya. Sebagaimana diketahui secara umum ada beberapa fungsi datu di tengah-tengah masyarakatnya, seperti pengobatan dan penyembuhan penyakit, sebagai imam dalam ritus keagamaan

 Batak, sebagai medium dalam memanggil serta berhubungan dengan roh-roh nenek moyang tertentu dan sebagai peramal atau dukun tenung. Dengan demikian “ilmu” yang harus dikuasai oleh seorang datu adalah sangat luas dan keseluruhannya bersifat khusus. Proses penurun-alihan “ilmu” itu sendiri sudah merupakan rangkaian ritus yang unik dan dalam satu proses belajar mengajar hanya ada satu guru dan satu murid.

“Ilmu hadatuon” bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Berdasarkan keterangan mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu, guru pertama, mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya.

Menurut J Winkler, seperti dikutip oleh Aritonang, pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, pertama satu, ‘ilmu’ untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.

Kedua, ‘ilmu’ untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakupi seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta).

Ketiga, ‘ilmu’ meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para ilah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Semua itu dikembangkan sedemikian rupa dalam upacaraupacara magis dalam usaha berkomunikasi dengan kekuatankekuatan supranatural; roh leluhur, roh penghuni-penghuni alam (pangingani) serta roh-roh jahat.

2. Pinggan Pasu
Pinggan Pasu adalah sebuah piring besar yang terbuat dari keramik, berasal dari China abad ke 17 Jaman Dinasti Ching. Namun Untuk Sumatra Utara, keramik Cina yang lebih tua ditemukan di kota Cina, Labuhan Deli, Medan. “Diperkirakan dari XI sampai XIII, jaman dinasti Sung dan Yuan. Produksi keramik Cina sempat berhenti di abad XIV. Ketika pembangunan jalan tol Belawan-Tanjung Morawa, ditemukan banyak pecahan keramik Cina di Labuhan Deli yang merupakan kota Cina,”jelas Sri Hartini (Kepala Museum Negeri Sumatra Utara)

Pinggan pasu merupakan sebuah benda pusaka “halak Batak” orang Batak. Benda kuno ini digunakan oleh para raja-raja Batak zaman dahulu untuk melakukan kegiatan atau ritual di tanah Batak. Dan sebahagian masyarakat mempercayai bahwa dalam piring kuno ini memiliki kekuatan magis dan sangat aneh sekali ditemukan dengan piring atau barang pecah belah lainnya. Pinggan pasu ini juga dapat digunakan untuk pengobatan alternatif. Berdasarkan sebuah mitos yang berlaku, pinggan pasu yang asli memiliki tiga keunikan. Bisa menawarkan racun, membuat tawar air asin dan membuat makanan tidak basi.

3. Sigale-gale
Sigale-gale merupakan boneka kayu menyerupai figur manusia, baik mulai dari tubuh hingga pakaian yang dikenakan. Boneka ini dimainkan layaknya wayang (kesenian di P.Jawa), memiliki tali dan digerakkan oleh manusia. Ciri khas gerakannya menyerupai tarian khas batak, yakni tari tor-tor.
 Sigale-gale biasa dimainkan dalam sebuah upacara adat dengan iringan musik gondang sabangunan.

Sigale-gale merupakan salah satu warisan  nenek moyang Suku Batak, jauh sebelum mayoritas masyarakat Suku Batak menganut agama Kristen. Ketika itu masyarakat Suku Batak menganut sebuah keyakinan animisme dan dinamisme, yang mereka sebut dengan Parmalim. Namun bagi masyarakat suku lain di Indonesia  sedikit sekali yang mengetahui kisah yang tragis di balik legenda Sigale-gale.

Dikisahkan ada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang sebagai Raja “Raja Rahat”, dan Raja ini hanya mempunyai satu anak laki-laki. Suatu hari anak laki-laki Raja terkena penyakit aneh dan tidak ada tabib atau pun dukun yang bisa menyembuhkan-nya, lalu akhirnya anak laki-laki Raja ini meninggal dunia.Untuk mengenang anak laki-lakinya, Raja menyuruh para tukang ukir untuk membuatkan sebuah patung yang menyerupai anaknya laki-laki,

 tukang ukir yang membuat patung anak raja bernama “Rahat Bulu Datu Manggeleng”, dan patung itu dibuat dalam waktu tiga hari saja. Si pengukir kayu ini membuat Sigale-gale pertama dari sebuah pohon besar hutan yang tidak bercabang dan berdaun, lalu sang pengukir ini mengukir kayu pohon ini hingga berbentuk menyerupai manusia, kemudian dipakaikanlah perhiasan-perhiasan.

Rasa sedih sang Raja agak terobati setelah melihat hasil karya si pengukir kayu ini, karena dianggapnya patung itu mirip dengan anaknya yang sudah meninggal dan patung itu diberi nama Sigale-gale. Satu hal yang menarik adalah pemakaian Sigale-gale dengan Kain ulos, sebuah kain yang sering di gunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara-upacara adat atau menghadiri pertemuan-pertemuan.

4. Pustaka Supranatural
Sebagaimana masyarakat adat lainnya yang pernah menganut animise dan dinamisme, masyarakat Suku Batak pun memiliki warisan supranatural yang eksotis apabila dikaji secara kebudayaan dan reliji, karena tidak mudah bagi manusia untuk menumbuhkan kepercayaan kepada manusia lain dalam sebuah komunitas adat. Berikut warisan supranatural yang melegenda di Tano (tanah) Batak.

 Pangulubalang, yaitu media yang dijadikan hulubalang Sang Datu (Dukun) untuk menghancurkan musuh dan mahluk gaib lainnya. Memiliki kemiripan dengan zombi voodoo yang lazim di benua Afrika, pangulubalang mampu memantrai seorang manusia dan mengendalikannya dari jarak jauh.

 Berdasarkan kisah legenda seorang anak kecil diculik, lalu diasuh oleh si Datu. Semua kemauan sang anak calon zombi tersebut dituruti selama mau melakukan apa yang diinginkan oleh datu. Hingga pada saat yang ditentukan, anak tersebut akan dikorbankan. Cairan panah timah panas akan dimasukan kedalam tubuhnya melalui mulut, dan ketika sudah dalam keadaan tidak bernyawa, tubuh anak tersebut akan dimasukan ke dalam cairan yang sudah diberi ramuan, kemudian disimpan sebagai proses fermentasi. Air fermentasi yang keluar dari mayat anak tadi disimpan didalam cawan,

 lalu sisanya dibakar untuk mendapatkan abunya. Untuk memanggil Sianak yang sudah dikorbankan tadi, disiapkanlah patung. Patung inilah yg disebut Pangulubalang. Patung ini berfungsi untuk penolak bala, sedang datu bisa memanfaatkannya untuk disuruh menyerang musuh, berupa santet.Tunggal Panaluan, berupa tongkat sakti yang dimiliki datu-datu Batak, diyakini bahwa tongkat ini hidup dan bisa disuruh.Pamunu Tanduk, ilmu yang digunakan untuk menetralkan ilmu hitam kiriman lawan. bisa juga digunakan untuk menyerang musuh. Untuk memancarkan ilmu ini dibutuhkan media berupa tanduk.Pamodilan, ilmu yg digunakan untuk menembak musuh baik dengan menggunakan senjata (bodil) maupun dengan syarat atau tabas-tabas (mantra) tanpa menggunakan senjata.Gadam, ilmu racun sehingga kulit musuh akan seperti penderita kustapagar,

 berdasarkan kepercayaan suku Batak, pagar dibuat dari berbagai bahan dengan waktu dan cara yang khusus dan harus melalui prosesi ritual. Biasanya menggunakan ayam, lalu bahan dibawa ke tempat yang dianggap keramat (sombaon, sinumbah). Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat ramuan Pagar ini. Ramuan ditumbuk halus seperti pasta atau bubuk yg disimpan dalam Naga

 Morsarang (tanduk kerbau yg berukir).“Pagar hami so hona begu so hona aji ni halak”, ini contoh tabas (mantra) yang digunakan.Penggunaan penolak bala ini, biasanya diberikan pada pasien perorangan ataupun kolektif, seperti; Pagar Panganon (Ilmu tolak bala berupa makanan yang wajib 

dimakan pasien), Pagar Sihuntion (dijunjung atau digantung oleh perempuan hamil), Pagar ni halang ulu modom ( diletakan didekat tempat tidur orang yang sakit), Pagar Sada bagas (Tolak bala sekeluarga), Pagar Sada huta (Ruwatan Kampung). Songon (Pohung, Piluk-piluk), sejenis patung

 (gana-gana) yang diletakkan di ladang untuk melindungi dari pencuri. “Surung ma ho Batara Pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung jari-jari, ina ni pungpung jari-jari, Batara si pungpung jari. Surung pamungpung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu”, ini adalah mantra (tabas) Pohung agar pencuri menjadi lumpuh jari-jarinya, bahkan mati.

5. Batu Hobon
 Masyarakat Suku Batak yang terdapat di kawasan Samosir tentu sangat akrab dengan benda sakral, ‘Batu Hobon’. Nama batu tersebut diperoleh dari bentuk dengan rongga yang ada dibawahnya, diyakini batu ini merupakan sebuah lorong.  Karena dianggap keramat sehingga di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”. Batu Hobon memiliki kisah mistis yang menarik untuk dicermati dan kepercayaan bahwa siapapun yang mencoba mengangkatnya akan mendapatkan kesialan, musibah bahkan berakhir dengan kematian.

Dikisahkan pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.

Kemudian pada masa pemberotakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.

Suatu ketika tutup batu Hobon itu terbuka akibat seseorang yang berusaha mencuri harta karun yang diduga berada di bawahnya. Terbukanya tutup batu Hobon membuat cemas masyarakat Tapanuli Utara yang mengetahuinya. Sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

Seru bukan? Meskipun disajikan secara ringkas, mencermati dan mengenali keragaman budaya yang terdapat di Indonesia membuktikan kecintaan kita terhadap Negara Indonesia.