Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Selasa, 29 Maret 2011

Raja Sonakmalela anak bungsu Sibagot ni Pohan

Raja Sonak Malela, mempunyai nilai “Raja” dalam dirinya sebagai pemikir.
Monumen Raja Sonak Malela yang berlokasi di ibu kota Kabupaten Toba Samosir BALIGE - Sumatera Utara.
Nilai atau pemikiran yang ditinggalkan, bagi kita turunan Raja Sonak Malela masih dikenang dan dipanuti.

Pesan apaka gerangan yang ditinggalkan Raja Sonak Malela bagi marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede, Raja Sonak Malela akan selalu dikenang bukan saja sebagai leluhurnya yang menurunkan ke empat anak (marga), melainkan juga pesannya yang cukup terkenal demikian:

I. S I S A D A R O H A
S I S A D A L U L U A N A K
S I S A D A L U L U B O R U
S I S A D A L U L U T A N O
S I S A D A P A N G K I L A L A A N

II. A N A K N A S O J A D I M A S I B O L A – B O L A A N
B O R U N A S O J A D I M A S I T I N D I A N
I N G K O N S A D A
S O N G O N D A I O N A E K
N D A N G M A R D U A
S O N G O N D A I O N T U A K

Artinya:
“ Bersatulah anak-anak Lelakimu
Bersatulah anak-anak Perempuanmu
Bersatulah mewarisi Tanah Leluhurmu
Bersatulah dalam Tekad dan Cita-citamu
Anak-anak lelakimu tidak bolah saling Mendengki
Anak-anak Perempuanmu tidak bolah saling Memadu
Harus bersatu
Seperti Rasanya Kesejukan Air Minum
Tidak Mendua
Seperti Rasanya Air Nira.

Ungkapan Raja Sonak Malela ini yang dipesankannya sekira 500 tahun silam kepada keturunannya secara nilai berada di puncak bagi masyarakat yang peka dengan perpecahan atau bagi bangsa yang pluralistic seperti Indonesia.
Dikaji secara mendalam arti “Sisada Lulu” adalah persatuan dan kesatuan dan tidak hanya terbatas pada anak-anak Raja Sonak Malela tetapi juga mengandung nilai dalam lingkup yang luas, orang Batak seluruhnya bahkan bangsa Indonesia.
Bila kita simak Sumpah Pemuda Tahun 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia,
bukanlah sangat mirip dengan pesan Raja Sonak Malela…?
“ Sisada Lulu Anak, Sisada Lulu Boru,” artinya, “Satu Putra, Satu Putri,” atau juga “Satu Bangsa”.
“ Sisada Lulu Tano,” artinya ”Satu Tanah Air atau Satu Nusa,”
“ Sisada Pangkilalaan,” artinya “Satu Tekad, Satu Cita-cita.”
“Anak naso Masibola-bolaan,” artinya “Turunan lelaki hendaknya tidak saling memecah-belah.” Dan
Boru Nasojadi Masitindian,” artinya “Anak Perempuan jangan Mau Sama-sama dimadu”
Setelah berlalu 500 tahun, mungkin saja pesan ini dilupakan.Mungkin juga hanya sekedar kenangan, sementara saat ini makin diperlukan peranan turunan Raja Sonak Malela berjumlah ratusan ribu atau bahkan sudah jutaan banyaknya ikut ambil bagian dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.Dunia yang dilanda globalisasi, informasi, persaingan dan konsumeristis menjadikan manusia individualistis, egoistis dan hal lainnya yang jauh dari kebersamaan.
Semangat persatuan yang dipesankan oleh Raja Sonak Malela sudah saatnya diangkat kembali dalam suasana bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan rasa bangga kita ikut serta mewujdkan Wawasan nusantara yang cara pandang Bangsa Indonesia yang mengandalkan persatuan dan kesatuan karena didalamnya terdapat pesan Raja Sonak Malela.
Hai..!, Generasi muda Sonak Malela yang berada diperantauan di seluruh Nusantara, anda-anda harus menjadi penerus yang berkualitas, yang mampu bersaing dan maju, namun tetap menjaga persatuan.Ingat pesan, Tona Raja Sonak Malela, Bersatulah, saling tolong menolong jauhkan perpecahan, jauhkan hosom, teal, elat dan late.Jadila “Raja” seperti Raja Sonak Malela memperdulikan turunan, meninggalkan tona / pesan.



Kata Mutiara dari : RAJA SONAKMALELA.
Leluhur Batak berperibahasa :
“Masiamin-aminan songon lampak ni gaol, masitungkol-tungkolan songon suhat dirobean.
Pauk-pauk hudali, Pago-pago tarugit Natading taulahi nasega tapauli.”
Raja Sonak Malela mengaplikasikannya dalam Pesan “SISADA LULU”.Secara makro bermuatan Nasional : Bertanah Air Satu (“Sisada lulu tano”).
Hoorass!!!!

Rabu, 23 Maret 2011

Raja Si Singamangaraja XI


Ompu Sohahuaon

Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara. Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan.
Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XI dalam usia 10 tahun.


Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusun “Pustaha Harajaon (pustaka kerajaan)” archief Bakara yang ditulis dengan dawat/tinta cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang isinya secara secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
* Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Nauasan.
* Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja SSM I s/d SSM IX.
* Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon SSM X
* Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
* Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
* Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
* Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai SSM XI dan perihal photonya.
* Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi SSM XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.

Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden Holland.

Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh SSM XII sebab tidak ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni 1907.

Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena SSM I hingga SSM IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.

Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali di pindahkan di rumah Soposurung.
Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara.
Raja Parlopuk terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.

Raja Si Singamangaraja X



Ompu Tuan Nabolon



Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.
Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan, tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat, melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil.
Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara. 

Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini. 

Raja Bona Ni Onan Sinambela X br.Pasaribu

 
Katanya oppung,  songon on ma  ceritana na jolo -  Raja Bona ni Onan tuanboruna [ istrinya ] boru Pasaribu. Mereka mempunyai seorang putri yang mempunyai cacad sumbing.

Raja Bona ni Onan tidak merasa bahagia, senang dan suka atas putrinya yang mempunyai cacad sumbing itu, sehingga ia meninggalkan istrinya boru Pasaribu bersama putrinya dan pergi ke daerah lain disekitar Tapanuli.

Boru Pasaribu adalah seorang ibu yang baik hati, ia  kecewa atas perbuatan suaminya karena  ditinggalkan bersama seorang putrinya yang cacad sumbing itu.
Suatu hari boru Pasaribu bersama putrinya pergi ke Tombak [ hutan ], goarni  tombak i, tombak sulusulu untuk mencari pohon guna membuat aerabu.

Ditengah perjalanan hutan boru Pasaribu merasa sepi dan ia meratap dengan kata-katanya “ Iale amang siadopan Raja Bona ni Onan, tung so adong be huruha holong ni roham di hami.
Tonape tu angka parlanja so hea dibahen ho begeon nami. Alai adong do Parasiroha i Ompunta Mula Jadi na Bolon. Ba sai Ompunta i ma mandongani hami, terjemahannya adalah kira-kira beginilah: [o, Raja ni Bona ni Onan, tidak ada lagi kasih sayang mu terhadap kami. Pesan pun kepada orang perantau yang berasal dari daerah itu  tidak pernah kamu beritahukan.  Walaupun  kami tidak mengetahui  bagaimana keberadaanmu dengan tidak keperdulianmu masih ada yang melindungi kami yaitu Tuhan Yang Maha Besar ] ,” sebutnya.

Setelah Boru Pasaribu dan putrinya di Tombak Sulusulu mencari pohon itu, pergilah boru Pasaribu ke mata air tempat mandi yang ada di hutan itu, tiba-tiba  seorang pria tampan  yang turun dari langit ke tempat pemandian tersebut dan mengatakan kepada boru Pasaribu, “janganlah kamu kecewa. Lihatlah nanti  kamu akan melahirkan seorang laki-laki yang bijaksana yang menjadi seorang Raja di desa ini.”

Kemudian pria tampan itu tiba-tiba menghilang begitu saja, sontak saja boru Pasaribu dan putrinya heran melihat kejadian yang aneh itu. Meraka pulang dari Tombak sulusulu dan mereka memberitaukan itu semuanya kepada warga didesa itu.

Benar, tidak berapa lama lagi boru Pasaribu mengandung atau hamil. Beberapa bulan kemudian Raja Bona ni Onan pulang ke kampung halaman-nya dan mendengarkan dari warga  bahwa tuanboruna [ istrinya ] sudah mengandung atau hamil.

Raja Bona ni Onan,  jelas marah besar, ia berasumsi atau mengira bahwa istrinya itu sudah salah melangkah. Dia tidak mau lagi tinggal di rumahnya dan tidak mau lagi menjumpai istrinya tersebut.

Setelah sepuluh bulan lamanya kandungan dari boru Pasaribu, ia menginginkan makan dengke na niura, huhut minum aek si unte pangir [ ikan masakan khas batak dengan air jeruk purut ].

Boru Pasaribu itu menyuruh putrinya untuk menjumpai bapaknya Raja Bona ni Onan agar menyediakan permintaannya yakni makanan dan minum tersebut. Namun Raja Bona ni Onan tidak memperdulikan permintaan dari istrinya itu dan ia mengatakan kepada putrinya tersebut agar kepada pria yang membuatnyalah dimintahnya.

Istrinya boru Pasaribu sangat kecewa mendengarkan hal itu, namun untuk kedua kalinya putrinya tersebut disuruhnya kembali untuk menyediakan permintaannya.
Raja Bona ni Onan tetap dalam pendiriannya tidak mau menyediakan permintaannya itu.       

kemudian boru Pasaribu tidak habis akal dan kembali menyuruh putrinya untuk pergi kepada Tulangnya iboto ni boru Pasaribu [ pamannya] agar menyediakan hidangan tersebut.

Tulangnya iboto ni boru Pasaribu [ paman ] menyediakan hidangan Dengke nani ura dohot aek unte pangir sesusai dengan permintaannya.
Akhirnya boru Pasaribu memakan dan meminum yang di mintahnya itu, setelah dirasakan boru Pasaribu mau melahirkan ia memberitahukan kepada seluruh kampungnya agar malam ini akan datang agin puting beliung yang menghancurkan rumah dan pepohonan. Jika permintaan kalian rumah penduduk jangan hancur berikanlah sebuah Sanggar atau sangkar untuk mengganjal rumah masing-masing warga di kampung itu.

Malamnya itu benar terjadi seperti yang dikatakan boru Pasaribu, siapa orang penduduk kampung yang percaya dengan apa yang dikatakan boru Pasaribu rumahnya selamat dari angin puting beliung tersebut, namun bagi orang penduduk yang tidak percaya rumahnya hancur berkeping-keping, dan pada waktu malam itulah boru Pasaribu melahirkan seorang bayi laki-laki. 

Setelah anak itu berumur 7 tahun ibunya mengajak anaknya itu ke Tombak sulusulu untuk mencari kayu guna membuat aerabu. Diwaktu ibunya mencari kayu di  tombak atau hutan terjadilah gempah, ibunya melihat kesekelilingnya ternyata dilihatlah anaknya tersebut sudah bergantung di atas pokok pohon dimana kakinya keatas kepalanya kebawah.
Sehingga ibunya memanggil dan membujuk agar anaknya turun dari pokok pohon tersebut, akhirnya gempa tersebut berhenti dengan seketika.

Kemudian besoknya, keanehan terjadi dikampung itu bahwa semua padi disawah sudah terbalik dimana uratnya menjadi keatas dan daun biji padinya menjadi kebawah, penduduk kampug semua  takut dan heran lantaran belum pernah terjadi seperti hal itu.
Namun tidak satu orang pun penduduk di kampung itu yang mengatakan kejadian tersebut di-karenakan oleh anaknya boru Pasaribu yang telah bergantung dengan terbalik di pokok pohon di tombak sulu-sulu.

Akhirnya Raja-raja  berkumpul  membicarakan kejadian  aneh di kampung itu, mereka  dengan satu tekad  menjumpai Raja Bona ni Onan untuk mengundang Datu Parmanuk [ paranormal ] untuk mempertanyakan secara bathin apa yang kita perbuat untuk anaknya boru Pasaribu tersebut.

Raja Bona ni Onan sebagai tuan rumah untuk mempertanyakan itu kepada Datu maningkir manuk di ampang [ paranormal ]. Mereka berkumpul para Raja dan penduduk kampung untuk menghadiri acara ritual tersebut.

Dipatungkap ma ampang dipasinggalak anduri, martonggo ma Datu i dohot Raja Bona ni Onan terjemahan bebasnya adalah: [ paranormal bersama Raja Bona ni Onan berdoa kepada Maha Dewata atau Tuhan Yang Maha Esa ], “Ale Ompung na Martua Debata, Mula Jadi na Bolon, Ho do najumadihon saluhut nasa na adong, patinggilma pinggolmu, patonggor simalolongmu, tumangihon tonggo-tonggo nami on,  ai masa do na so hea masa diluat nami on, suhar eme di hauma, biurna tu toru urat na tunginkang. Molo so tung na Ho do ale Ompung namanongos dakdana i asa Raja sisukkunon dihami jala Raja Sisombaon, na mangelek ma hami tu ho Ompung jala manomba asa paboaonmu i tu hami, asa pinalu gondang sabanunan.” Demikian Paranormal doa acara ritual para raja-raja di kampung itu dengan maksud dan tujuan agar padi tumbuh seperti biasanya dan para penduduk agar sehat-sehat.

Dengan kesimpulan  bahwa Maha Dewata atau Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kepada Raja Bona ni onan yaitu Bona ni uhum, Bona ni Harajaon di hita Batak. Boru Pasaribu telah melahirkan seorang laki-laki, Singa ni  uhum, Singa harajaon, Singa ni hata.
Akhirnya Raja Bona ni Onan kembali rujuk kepada istrinya boru Pasaribu dan kemudian  mereka mengadakan pesta besar gondang sabangunan, manortor ma dakdana hi dipangido ma Haminjon sabale. Kemudian anak itu menjadi Raja panungkunan, raja sioloan. Ibana ma na gabe Raja Sisingamangaraja pertama.
Horas……………………


Ditulis oleh: Ny.Napitupulu Elisabet Simanjuntak AA -
Blogger Perempuan Batak sian huta Baligeraja –
Kabupaten Toba Samosir


Selasa, 22 Maret 2011

Laporan Terakhir tentang Perang di Toba(Surat Nommensen)

oleh I.L. Nommensen. BRMG 1878 (12): 361-381

clip_image001image
Sepanjang tahun ini kita sudah berulang kali menyajikan berita tentang perang di Toba, tetapi baru sekarang kami bisa mencetak laporan lengkap oleh saudara kita Nommensen yang dengan mata sendiri melihat peristiwa yang terjadi. Perang ini dan perubahan yang terjadi akibat perang itu betapa penting sehingga dirasakan perlu untuk menulis ulang sejarah peristiwa itu sekali lagi walaupun sebagian yang sudah pernah ditulis sebelumnya diulang lagi. Penulisan sejarah perang dari penginjil Nommensen yang sesuai dengan fakta dapat menjadi jawaban bagi pertanyaan dibenak para generasi muda Batak Khususnya dan generasi muda Bangsa Indonesia yang berjiwa nasionalis.  Para penginjil kita tidak perlu merasa malu atas peranan mereka dalam perkara ini.
Mari kita lihat dan amati isi surat Nomensen dari sudut Nasionalis  Indonesia dan kita hidup dan dibesarkan dibumi Indonesia dan kita harus menyadari besarnya pengorbanan Bangsa Indonesia dan khususnya bangsa Batak yang ingin mempertahan buminya dan kelestarian budayanya. Mereka berjuang untuk itu.
( Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri. Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil
Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.
Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja
Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah Silindung.
Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri. Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil dan upacara adat mana yang netral.
Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah-tengah umat Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).
Berikut ini surat Nommensen:
Missionaris copy

[362] Badai yang mulai melanda kami segera sesudah konferensi terakhir dengan segala kekacauan dengan bantuan Tuhan kini sudah berlalu. Keadaan di sini berubah total, tetapi sekarang akhirnya saya punya waktu untuk menceritakan kembali rangkaian peristiwa tahun yang lalu.
Segera sesudah konferensi Juni 1877 musim pesta bermula bagi orang Batak yang jatuh bertepatan dengan mulai musim tanam yang baru, dari 1 Juli hingga bulan September. Itulah musim pesta. Banyak marga mengadakan pesta horja; yang langsung memengaruhi kami ialah pesta dua marga yang tinggal dekat sini sehingga banyak anggota paroki kami mempunyai hubungan keluarga dengan mereka. Pada malam hari mereka memukul gendang, meniup serunai, makan dan minum. Pada siang hari mereka membunyikan bedil dan menari. Kemeriahan itu tentu menarik perhatian orang, terutama muda-mudi. Beberapa muda-mudi, dan juga orang-orang yang mempunyai talian saudara dengan pihak pelaksana pesta, tergoda menghadiri pesta itu. Hal mana yang tiap kali disambut kaum kafir sebagai kemenangan mereka.
Tahun yang lalu paroki saya menghadapi banyak percobaan. Karena pergaulan laki-laki [umat paroki Nommensen] dengan tentara maka mereka banyak dihadapkan percobaan karena pekerjaan yang mereka lakukan umumnya sebagai kuli, dan, karena mereka lebih mengetahui keadaan setempat, mereka juga menjadi calo untuk perbekalan [tentara] sehingga ada di antara mereka yang imannya menjadi rusak. Namun kesetiaan penggembala Tuhan kita yang menghibur kita. Sebabnya tahun yang lalu banyak orang jatuh sakit, hal mana dilakukan Tuhan untuk menghukum dan menegakkan disiplin di antara umatnya. Namun tahun yang lalu juga dianugerahi rahmat Allah. Banyak orang meninggal karena tifus dan disentri. Hampir semua orang Batak yang berjalan dari Silindung ke Bahal Batu kena salah satu dari penyakit itu.
[363] Banyak orang yang terpaksa ditandu pulang, lain orang membawa kumannya ke Silindung menularkan penyakit pada keluarganya. Di antara orang yang meninggal terdapat Nathanael dan Benjamin Kepergian mereka sangat menyedihkan saya. Nathanael termasuk salah satu orang yang dibaptis pada 14 Oktober 1866.
Berikut ini laporan saya tentang perang. Menurut saya dalam sejarah Hindia-Belanda belum pernah ada ekspedisi militer yang begitu cepat dan begitu berhasil seperti Ekspedisi Toba, dan saya yakin pemerintah tidak akan melarang usaha kita untuk secepatnya menetap di Toba. Untuk sementara waktu para penginjil terpaksa meninggalkan Bahal Batu karena Bahal Batu menurut Gubernur [Sumatra] tidak termasuk wilayah Silindung. Namun sekarang sudah terbukti sehingga Gubernur tidak ada pilihan lain, ia harus mempercayainya. Dulu penginjil Püse hanya minta izin untuk bertugas di Pangaloan sementara penginjil Metzler hanya ada surat izin untuk menetap di Hindia-Belanda. Keduanya sekarang sudah minta izin untuk bertugas di Tapian Na Uli sehingga tidak lama lagi Püse bisa kembali ke situ. Penginjil Metzler mungkin tidak akan kembali ke sana karena keadaan kesehatan fisik maupun mental.
Sekarang kita kembali pada cerita perang: Pada akhir musim gugur [akhir November–pertengahan Desember] 1877 terdengar bermacam-macam desas-desus. Orang Batak yang kembali dari pesisir membawa kabar bahwa Raja Stambul [1] (Raja Konstantinopel) bersama dengan rakyatnya [2] akan datang ke Sumatra untuk bersekutu dengan orang Aceh kalau Kerajaan Ottoman tidak lagi bisa bertahan menghadapi Rusia.[3] Harinya bendera hijau nabi berkibar sudah ditetapkan dan umat Islam akan bangkit dan membunuh semua orang kafir dan Kristen. Setiap hari ada kabar angin baru. Terdengar orang Belanda tidak lagi mempunyai tentara dan akan kalah dalam perang Aceh.
[364] Khotbah kami tidak dipercayai oleh kaum kafir, mereka percaya pada cerita bohong itu dan saling menakuti satu sama lain. Bahkan beberapa orang Kristen meminta nasihat kepada kami. Kabar bahwa ada 40 orang Aceh masuk ke Toba membuat keadaan menjadi lebih parah lagi. Masyarakat menjadi makin resah dan mulai menggali harta bendanya. Lalu datang utusan Singamangaraja ke Silindung mengumumkan di pasar-pasar bahwa Singamangaraja akan datang bersama dengan orang Aceh dan membunuh orang Eropa dan orang Kristen. Kaum kafir tidak perlu khawatir asal bersikap netral. Raja yang beragama Kristen berunding dan mempertimbangkan menyerang utusan Singamangaraja dan membawanya ke Sibolga.[4] Mereka bertanya kepada kami apakah pemerintah akan membantu mereka sekiranya mereka diserang oleh kaum kafir Silindung. Tentu saja kami tidak bisa menjaminnya. Waktu mereka berunding utusan Singamangaraja ternyata sudah pergi, barangkali karena rencana mereka tidak berhasil atau karena mereka mendengar para raja Kristen hendak menangkapnya. Beberapa raja memperlihatkan kepada mereka keuntungan yang mereka peroleh dari adanya para penginjil: 1) tiada lagi Bonjol [5] (Melayu) yang datang mengganggu sejak kedatangan para penginjil, 2) para penginjil hanya berbuat baik seperti memberi obat, dan 3) sangat tolol kalau Singamangaraja sekarang mau bersekutu dengan mereka yang membunuh neneknya.[6] Mereka juga mengatakan akan menjaga keselamatan para penginjil. Setelah utusan Singamangaraja kembali mereka membeberkan berita bahwa orang Bonjol akan menyerang lagi, dan bahwa orang Silindung sudah bersekutu dengan orang Bonjol.[7] [365]
Maka terjadilah bahwa seorang Silindung bernama Morsait Hujur berjalan ke Toba untuk menjemput istri dan anaknya. Setiba di Naga Saribu mereka ditangkap dan dipasung karena sebuah perkara lama, demikian alasannya. Setelah kejadian itu tidak banyak orang Silindung berani berjalan ke Toba; orang Toba juga masih marah pada orang Silindung karena desas-desus tadi. Akibatnya makin banyak kabar angin yang tidak jelas atau dilebih-lebihkan perihal tindak-tanduk orang Aceh di Toba yang masih tetap ada di Bangkara dan di Muara. Beberapa orang kelahiran Toba yang menetap di Silindung membawa berita bahwa orang Aceh akan ke Silindung dulu, namun lain orang mengatakan mereka akan ke Samosir dulu. Dalam keadaan seperti itu kami sendiri tidak mungkin ke sana dan kami juga tidak berani menyuruh orang Kristen dari Silindung ke Toba karena menurut adat Batak kami yang harus menanggung mereka hal mana tidak mungkin kami lakukan. Dari Barus dan Singkel [8] dikonfirmasi memang ada 40 orang Aceh yang berangkat ke Toba. Seorang raja di Silindung mengkonfirmasikan kedatangan raja-raja dari Padang Bolak ke Huta Tinggi, dan bahwa raja-raja di Huta Tinggi kembali dengan mereka ke Padang Bolak untuk merekrut pasukan bantuan. Hari keberangkatannya ke Toba juga sudah diketahui, dan memang mereka berangkat pada hari itu ke Toba, tetapi tidak lewat Silindung melainkan melalui Sipahutar ke Butar lalu ke Huta Tinggi karena sudah ada serdadu di sekitar Silindung.
Keresahan makin menjadi dan kami tidak sanggup untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya karena tidak ada yang berani pergi ke Toba. Semua orang siap siaga dengan memegang senjata, dan penginjil di Bahal Batu saking ditakuti oleh orang yang datang dari Toba sehingga mereka percaya bahwa pada malam itu juga orang Aceh dan sekutunya akan datang.
[366] Surat dengan berita tadi tiba di sini pada jam 1:30 malam. Pada keesokan hari bersama dengan penginjil Simoneit yang sedang ada di sini, kami berangkat ke Bahal Batu naik kuda. Dalam perjalanan kami bertemu dengan Israel yang juga ikut dengan kami. Setiba di Bahal Batu kami mendapatkan penduduk kampung duduk di luar kampungnya dengan membawa lembing dan bedil. Setiba di pos zending datanglah Partaon Angin yang sudah tua itu dan kami memberitahu bahwa kami datang untuk menjemput Saudari Metzler sementara Penginjil Simoneit dan Israel tetap di situ dengan penginjil Püse. Namun orang tua yang cerdas itu menjawab: “Lebih baik aku mati dibunuh daripada saya membiarkan Saudari Metzler pergi karena beliaulah jiwa kami; kalau ia pergi maka seluruh isi Bahal Batu akan pergi pula. Biarkan saja dia di sini bersama suaminya. Mereka tidak perlu khawatir, kami akan melindungi mereka. Selama Saudari Metzler di sini maka Bahal Batu tetap akan ada. Dari pembicaraan selanjutnya tampak jelas bahwa dia hanya ingin memanfaatkan keberadaan Saudari Metzler. Dalam pikirannya, selama masih ada perempuan Eropa di sini mereka pasti akan berusaha agar Bahal Batu selamat, kalau dia pergi mereka tidak peduli.
Sebentar kemudian ia berkata lagi: “Laki-laki itu seperti burung yang tidak bisa dijaga, pada malam hari mereka pergi.” – Walaupun demikian cara pikirannya kami tetap menasihatkan kedua saudara Metzler agar tetap di Bahal Batu karena jelas bahwa orang itu akan sangat keberatan kalau mereka pergi, dan juga karena kami percaya keadaan masih agak aman.
Namun demikian desas-desus tetap ada dan ketidakpastian sangat meresahkan penduduk. Sebagian besar orang kafir memutuskan untuk bersikap netral dan beberapa di antara mengatakan [367] akan berpihak pada pihak mana yang menang, dan kalau perlu masuk Islam asal mereka dan hartanya selamat.
Hal mana, demikian penjelasannya, juga dilakukan oleh Mangkali Bonar dari Sigompulan pada masa perang Padri dan ternyata ia menjadi kaya dan terkenal. Pendapat yang sedemikian menjadi makin populer apalagi karena orang-orang tua masih mengingat cerita orang tuanya bahwa orang Batak bersaudara dengan, dan pernah membayar upeti kepada Aceh dan Inggris.[9] Sampai sekarang pun orang masih memanjatkan doa kepada Soripada di Anse. [10] Maka dengan demikian mereka sudah membiasakan diri bakalan berada di bawah kekuasaan Aceh. Waktu itu pemerintah begitu baik hati untuk mengirim 50 bedil lengkap dengan amunisi bagi umat Kristen supaya mereka bisa membela diri kalau diserang.
Minggu demi minggu berlalu namun keadaan tidak membaik juga. Lalu tiba berita bahwa beberapa utusan Kontrolir Asahan dalam perjalanan ke sini tewas dibunuh di Huta ni Tingkir, berjarak hanya satu hari berjalan kaki dari Bahal Batu. Peristiwa itu dan hubungan antara Padang Bolak dan Huta Tinggi Simamora menunjuk pada rencana Aceh yang lebih luas. Lagi pula kelompok 40 orang Aceh ternyata dipimpin oleh Willem Daut, anak seorang perempuan Eropa, dan Said Muhamed, pemberontak dan Muslim fanatik, yang dulu sudah pernah mengancam Singkel.
Oleh sebab itu maka kami merasakan perlu untuk meminta agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari Barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba, ternyata sudah mengirim pasukannya. Pasukan pertama di bawah pimpinan Kapten Scheltens bersama dengan Kontrolir Hoevel sudah berangkat pada 1 Februari ketika permintaan [untuk mengirim tentara] kami sampaikan dari sini. Pada tanggal 6 Februari sekitar jam 10:00 pasukan tiba di Pearaja. Kontrolir van Hoevel dan Upas [11] [368] Bartolemy bermalam di tempat kami, laki-laki yang lain tinggal bersama tentara.
Rumah di kampungnya Obaja [12] sudah disediakan untuk tentara dan dilengkapi dengan tikar. Kayu api disediakan oleh anak buah Obaja. Para perwira tinggal di pusat kampung di antara tentara, di rumahnya Jesaia supaya dekat tentara kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi. Soalnya ada beberapa raja yang pada acara musyawarah berbicara blak-blakan, dan raja yang lain malahan tidak menghadiri musyawarah karena mereka pikir: Tidak ada seorang yang berhak menyuruh kami. Seusai musyawarah dan setelah upacara penaikan bendera Belanda maka tentara masuk ke Sipoholon, kampung yang letaknya dekat dengan pos zending. Di situ pun diadakan musyawarah dan maksud kedatangan tentara dijelaskan kepada para raja, dan sesudah dilakukan pengamatan maka diputuskan pergi ke Bahal Batu.
Waktu itu tiba surat dari Singamangaraja [13] membalas surat Residen. Katanya dia tidak datang karena ada tentara tetapi bersedia bertemu dengan saya di Pintu Bosi [14] dengan syarat saya tidak ditemani lebih dari dua orang. Permintaannya ditolak oleh Kontrolir. Katanya karena ia sudah berjalan jauh dari Sibolga maka pantas Singamangaraja datang ke Bahal Batu. Ketika Singamangaraja menerima surat balasan Kontrolir ia hendak memakan pembawa surat itu, namun hal itu tidak mungkin karena pembawa surat itu masih semarga dengannya. Maka surat itu dirobek-robek dan mereka tidak membalasnya sehingga putuslah perundingannya.
Sementara itu tiba kabar dari Sibolga bahwa tentara dikirim ke Bahal Batu. Tidak lama kemudian tentara naik dan sesudah beberapa hari raja-raja dari Balige membawa kabar soal perobekan surat [369] serta pengumuman perang asli Batak yang dinamakan pulas.
Pulas itu terdiri dari sebuah kentang yang agak panjang [15] yang diukir hingga menyerupai manusia dan ditusuk dengan beberapa lembing kecil dan disertai tiga surat bambu dengan kata-kata cercaan dan hasutan serta sebuah sumbu yang bekas disulut. Pulas itu digantungkan pada pintu kampung lalu terdengar beberapa kali tembakan.
Hal itu terjadi pada malam hari sehingga tidak jelas apakah orang yang namanya tertera pada surat tadi memang menggantungkan pengumuman perang itu ataukah sebaliknya musuh mereka yang melakukannya. Orang yang namanya tertera pada pulas itu adalah teman dari orang yang memanggil orang Aceh, namun menurut hasil penyelidikan di kemudian hari mereka ternyata tidak bersalah dan menjadi korban tipu muslihat musuh mereka. Dengan demikian tetap tidak jelas pengumuman perang itu berasal dari pihak mana.
Beberapa hari kemudian seorang raja dari Lobu Siregar datang dan mengatakan bahwa pada keesokan hari orang Toba akan menyerang benteng pertahanan tempat tinggalnya tentara. Sekitar 600 orang Toba datang dan sudah mulai menembak dan berteriak ketika mereka masih jauh dari benteng. Ketika mereka lebih dekat kami dihujani peluru. Ketika berada pada jarak sekitar 200m mereka menjerit secara mengerikan sambil menembak dan bertari perang; di situlah Kapten memberi aba-aba untuk mulai menembak serta meniupkan trompet yang menghasilkan bunyi yang amat hebat. Orang Batak berdiam sejenak lalu lari. Mereka berkumpul di luar jangkauan peluru di atas bukit-bukit sampai ada granat yang meledak (yang mendarat jauh di belakang mereka) yang mengakibatkan mereka mundur. Sepertinya pada hari itu tidak ada yang cedera. Pada penyerangan kedua dan ketiga [370] ada beberapa orang Toba yang cedera, dan ada juga yang mati namun jumlahnya susah ditentukan.
Pada awalnya kami tinggal di pos zending, juga sesudah pengumuman perang, tetapi sesudah beberapa hari kami terpaksa meninggalkan pos zending dan dengan membawa harta benda kami pindah ke benteng.
Sesudah Residen Boyle bersama Kolonel Engel naik ke sini bersama dengan 200 pasukan lagi maka kami mulai menyerang. Yang pertama diserang adalah Butar dan orang Batak lari semua. Di pihak pasukan ada seorang yang tewas; lima kampung dibakar. Atas nasihat kami, kampung-kampung yang lain mengibarkan bendera putih dan menyerah maka kampungnya tidak dibumihanguskan. Sekitar 50–60 kampung di Butar yang tidak dibakar namun raja-rajanya ditahan di Bahal Batu sampai mereka membayar denda yang ditetapkan oleh Residen Boyle. Sesudah beberapa hari Lobu Siregar diserang. Setelah bertempur selama 1½–2 jam lima kampung dibakar. Kampung pertama sudah dikosongkan namun makan waktu 1 jam sebelum pasukan bisa masuk karena begitu kokoh pertahanannya.
Pada hari-hari pasukan tidak melakukan penyerangan sekitar 300 kampung di sekitarnya diambil sumpah setia. Raja-rajanya datang ke Bahal Batu untuk menyatakan bahwa mereka menyerah. Mereka harus bersumpah 1) bahwa mereka tidak pernah melakukan tindakan memusuhi pemerintah, 2) mengakui kekuasaan pemerintah, 3) berjanji tidak akan memusuhi pemerintah atau rakyat yang berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan 4) melarang orang melakukan tindakan melawan pemerintah di dalam wilayahnya. Silindung bersama Sipoholon dan Bahal Batu dan juga Pagar Sinondi bersumpah setia pada pemerintah dengan menjanjikan bahwa mereka sebagai rakyat setia akan melaksanakan perintah pemerintah dan kaki tangannya. Bagi mereka yang pernah melawan [371] tentara maka bunyi sumpah tentu berbeda.
Setelah acara sumpah setia masih ada enam kampung di Naga Saribu yang menolak untuk menyerah. Pagi-pagi keesokan hari kami berangkat dari Bahal Batu melewati ujung timur laut Butar dan tiba di Naga Saribu pada sekitar jam 11:30. Penduduk keenam kampung tidak mengadakan perlawanan karena sadar bahwa hal itu akan sia-sia. Ternyata mereka percaya bahwa tidak mungkin tentara bisa sampai ke kampungnya dalam tempo satu hari, dan di samping itu mereka juga berharap bahwa pemerintah tidak akan datang hanya gara-gara enam kampung mengingat bahwa kebanyakan kampung sudah menyerah dan membayar denda. Ketika mereka menyadari bahwa kampung-kampung lain selamat maka mereka sangat menyesal, tetapi terlambat sudah.
Dengan sangat lelah kami tiba kembali di Bahal Batu pada jam 19:30. Sebagai misionaris kami memang tidak perlu memikul senjata dan perbekalan akan tetapi tugas kami tidak lebih ringan dibanding tugas serdadu. Pada waktu tentara istirahat –ketika pembakaran berlangsung– kami harus berjalan dari kampung ke kampung di sekitar Naga Saribu untuk mendatangi raja-raja yang sudah tunduk tetapi belum melunasi denda. Harinya panas dan kering. Pasir diterbangkan angin sehingga mata menjadi perih. Menjelang malam, ketika kami masih harus menempuh jalan selama 2½ jam lagi, hawa berubah menjadi dingin lalu turun hujan disertai halilintar dan gemuruh sehingga kami basah kuyup.
Lalu ada berita dari Padang akan ada pasukan tambahan sebanyak 300 tentara dan 100 narapidana karena pemerintah bermaksud untuk maju sampai ke Danau Toba untuk mendenda mereka yang datang menyerang dari jauh. Hal itu memang perlu karena sewaktu dilakukan persiapan ekspedisi ke Toba datang pula orang Toba dari Balige, Gurgur, Si Anjur dan lain-lain tempat untuk sekali lagi menyerang Bahal Batu. Kali ini Kolonel tidak menunggui orang Batak di benteng, melainkan menyuruh pasukannya menyerang dan [372] berkubu di balik sebuah bukit.
Orang Toba tidak berani mendekat karena mereka melihat bahwa di bukit sebelah utara dari kampung Partaon Angin berkumpul ratusan orang Batak yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ketika tentara melepaskan tembakan dan mencederai seorang di antara mereka maka mereka langsung lari karena takut akan dikejar tentara dan tidak sempat untuk menyeberang sungai Aek Simokmok. Orang Bahal Batu memang mengejar orang Toba sampai ke sana dan menembak mati seorang.
Sesudah semua pasukan tiba dari Sibolga maka tanggal 30 April kami berangkat ke Bangkara. Pada hari pertama kami berjalan kaki sampai ke Lintong ni Huta dan Si Hombing. Negeri itu yang terdiri atas sekitar 70 kampung sudah bersumpah setia di Bahal Batu. Keesokan harinya kami meneruskan perjalanan ke Bangkara. Ketika kami berjarak 15 menit dari Lintong ni Huta kami bertemu dengan Ompu ni Chordopang [16] dari Bangkara, raja yang memanggil orang Aceh. Ia berpura-pura seolah-olah menjadi sahabat lama. Karena saya berjalan paling depan dan saya langsung mengenalnya maka saya melaporkannya kepada Residen. Lalu dia ditangkap. Ketika kami mendekati tebing terlihat lembah Bangkara yang indah. Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang terletak 550–600 meter di bawah. Ketika kami tiba di kompleks kampung yang salah satu di antaranya adalah kampungnya Singamangaraja maka setengah lusin granat ditembakkan dari atas namun jaraknya terlalu jauh sehingga tidak sampai jatuh di kampung. Lalu kami turun. Tiba di bawah, kami melihat pertahanan kampung ternyata kokoh sekali. Setiap kampung dikelilingi tembok setinggi 4 meter yang terbuat dari batu besar. Tembok itu begitu kokoh dan terjal sehingga orang bisa kagum melihat kesabaran mereka membuat tembok. Di atas [373] tembok tumbuh tanaman rambat yang berduri yang tidak dapat dipegang dengan tangan telanjang.
Penduduk kampung-kampung itu melawan dengan gigih dan serdadu yang berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Dari atas kami bisa melihat kejadian di kampung dengan sangat jelas. Ternyata mereka membela kampungnya dengan berani dan tidak ada suatu tindakan pun yang dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga tampak jelas bahwa mereka tidak takut. Seorang serdadu tewas ketika peluru kena kepalanya, dan beberapa lagi cedera. Sekitar jam 3 sore kampung-kampung itu sudah di tangan kami. 10–12 laki-laki dan sekitar 70 perempuan jatuh ke tangan kami lalu ditawan.
Tentara menempati empat dan kami bersama orang dari Silindung [17] satu kampung. Kampung-kampung yang lain ditempati oleh mereka dari Bahal Batu, Butar, dan dari lain tempat di Toba. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang ditangkap, diserahkan kepada kami. Anak-anak dan perempuan ditahan di sebuah rumah besar dan laki-laki di rumah yang satu lagi. Kami menghibur mereka dan berbuat baik kepada mereka sehingga mereka cepat menaruh kepercayaan pada kami dan mereka tenang-tenang saja dan tidak berusaha untuk melarikan diri. Mereka ditahan selama dua hari dua malam karena Residen ingin mengetahui apa di antaranya ada istri dari raja-raja yang terkemuka. Maksudnya supaya meyakinkan para raja melalui istrinya agar mereka mau menyerah.
Keesokan hari serdadu berangkat pagi-pagi sekali untuk menaklukkan kampung-kampung lainnya yang berjumlah sekitar 30-40 kampung yang langsung dibakar. Bapak Residen meminta bantuan saya untuk mendampinginya. Tugas saya untuk berbicara dengan para raja yang ingin menyerah dan untuk membawa mereka kepadanya. Namun ketika api mulai berkobar di kampung-kampung yang paling dekat maka penduduk berlari-lari kepanikan berusaha memanjat tebing bukit yang tingginya sekitar 550 meter. [374]
Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di seluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan ayah sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka supaya menyerah dan tunduk pada Belanda. Bersama dengan beberapa orang yang kenal dengan penduduk kampung saya mengejar mereka yang memanjat tebing – hal mana berlangsung dengan sangat lambat karena banyaknya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Kepala raja yang mengibarkan bendera putih berteriak “Patu ma hami!” (Kami menyerah!). Ketika melihat saya ia turun menghampiri saya dan lalu bersedia untuk dibawa kepada Kapten. Waktunya memang sudah mendesak karena kampungnya sudah dikepung tentara dan orang Batak yang suka merampas sudah mulai mengangkat padi agar tidak hangus, dan juga sudah mulai memotong ternak babi. Lalu saya beritahu kepada Kapten bahwa raja itu hendak menyerah. Ketika para serdadu pergi maka jerit-tangis semakin berkurang. Raja yang masih sangat muda itu lalu dijaga oleh tentara dan saya menyuruh Si Daut, seorang Kristen, untuk mendampinginya. Habis itu saya pergi ke kompleks kampung yang lain lagi, tetapi penduduk sudah naik ke atas dan kampung-kampung mereka dibakar semua. Saya berjalan terus dan bertemu beberapa orang yang bersedia untuk memanggil rajanya. Karena mereka langsung datang masih ada waktu untuk meyakinkan mereka agar mau tunduk pada pemerintah sebelum tentara datang. Sesudah para raja itu saya serahkan kepada Kapten saya meneruskan perjalanan dan kampung mereka tidak dibakar. Ketika kami tiba di atas bukit kami melihat sungai yang deras yang tidak sangat dalam, tetapi cukup dalam untuk menghalang kami karena arus yang deras. Para serdadu juga sudah lelah seusai melewati [375] sawah-sawah [18] di terik matahari maka kami istirahat dulu.
Lalu kami melihat penginjil Simoneit yang di seberang sungai menyemaikan bibit perdamaian. Beberapa orang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Kapten menyuruh seorang Silindung untuk mengantar sepucuk surat kepada Kolonel meminta instruksi lanjutan. Kolonel lalu memerintah pasukannya untuk kembali karena kampung-kampung di ujung selatan lembah Bangkara juga sudah menyerah.
Raja itu didenda dan diwajibkan melunasi dendanya dalam tempo 24 jam. Pada hari ketiga para raja harus bersumpah agar tunduk pada pemerintah dan semua tawanan dilepaskan. Pada hari keempat kami meninggalkan Bangkara sesudah kampung-kampung yang kami tempati dibakar oleh serdadu.
Makan waktu sangat lama hingga semua tentara berikut perlengkapannya sampai di dataran tinggi. Para narapidana harus pergi dua kali karena 20–30 kuli yang ketinggalan. Peluh bercucuran dari mendaki tebing yang terjal sehingga kami menjadi basah. Karena cuaca di atas jauh lebih dingin maka Simoneit dan saya tidak mau duduk-duduk kedinginan. Kami jalan-jalan arah ke utara untuk bisa melihat Danau Toba dari berbagai sudut pandang. Setelah kami berjalan sekitar satu jam dan sudah jauh dari pasukan maka kami melihat sekelompok orang bersenjata menuju kami. Di antara kami dan mereka ada lembah yang lumayan dalam. Mereka mempercepat langkah untuk bisa menyergap kami dan kami memutuskan untuk selekasnya kembali. Ternyata mereka bukan pemberani karena mereka mendaki bukit dengan sangat lambat. Di atas bukit itu ada bekas kubu tempat kami tadi berdiri untuk menikmati pemandangan. Sewaktu kami sudah agak jauh baru mereka berani naik ke kubu itu.
Sementara itu pasukan sudah siap untuk berangkat, dan setiba kami di sana kami langsung bergerak arah ke timur. [376]
Melintasi wilayah Lintong ni Huta kami berjalan ke Paranginan. Di sepanjang jalan itu dipasang bambu runcing yang pasti dilakukan pada hari sebelumnya. Ternyata mereka mau menghalang kami namun ketika kami datang mereka tampak ketakutan. Hanya satu dua di antara mereka nekad menodongkan laras senjata kepada kami. Mereka kaget mendengar kami berbahasa Batak. Mereka lebih kaget lagi melihat di antara kami orang Silindung yang mereka kenal. Orang Silindung itu segera menghadangnya lalu menepiskan laras bedilnya.
Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Ompuraja Hain. Beliau tidak ada karena sedang bermusyawarah dengan raja-raja lain di pasar. Rupanya mereka tidak duga kami datang begitu cepat sehingga mereka tidak sempat untuk bersekutu dan mengadakan perlawanan. Kami tinggal di Paranginan selama beberapa hari. Para raja harus melakukan sumpah setia dan sesudah mereka melihat bahwa kami tidak melukai atau merugikan mereka maka mereka mulai menaruh kepercayaan pada kami.
Dari Paranginan kami meneruskan perjalanan ke Huta Ginjang. Di sini pun orang Batak berusaha menghalangi kami dengan menggali lubang di tengah jalan yang di dalamnya mereka pasang ranjau duri. Rupanya mereka kira kami datang pada malam hari hal mana sering mereka lakukan. Di Huta Ginjang kami berhenti di pasar untuk berbicara dengan para raja, kemudian kami turun ke Meat, sebuah lembah seperti Bangkara tetapi lebih kecil. Orang Meat menyerah dan perjalanan diteruskan ke Gurgur.
Jalan ke Gurgur terjal sekitar 550-600 meter lebih tinggi – hampir sama keadaan seperti di Bangkara. Orang Batak sudah berkumpul di atas dan menggulingkan batu arah ke tentara. Di sinilah paling besar kerugian tentara. [377]
Di pihak kami dua yang meninggal dan 12 yang cedera. Sesudah beberapa serdadu berhasil naik ke atas mereka lari. Kami istirahat selama dua hari di Gurgur dan raja-raja di Huta Ginjang, Meat dan Tangga Batu diwajibkan melakukan sumpah setia pada Belanda. Pada hari ketiga pasukan menuju Lintong ni Huta Pohan, Panghodia, dan Tara Bunga. Hampir semua kampung di Gurgur dibakar karena membiarkan musuh menembaki kami di wilayahnya sementara mereka berpura-pura menjadi sahabat dan mengatakan takluk pada kami dan menjadi pemandu jalan kami. Namun setelah kami sampai di atas, mereka tidak kelihatan lagi. Rupanya mereka yakin tentara tidak mungkin naik ke atas melainkan harus berjalan kembali. Setelah itu mereka berencana agar semua bangkit [melawan Belanda]. Namun sekarang, ketika mereka lihat bahwa teman-temannya lari mereka menjadi ketakutan.
Setelah pembakaran diselesaikan kami menuju Lintong ni Huta. Orang Batak sudah berkumpul di situ dan keluar dari persembunyiannya menyerang kami dengan menembak, menjerit, dan menari. Ketika berjarak sekitar 250 m tentara menyerang dan mereka lari bersembunyi di kampung-kampung. Setelah beberapa granat ditembakkan ke arah kampung-kampung itu mereka lari menurun tebing ke pantai danau dan menyelamatkan diri naik perahu. Tentara tetap menembaki mereka dan salah satu perahu kena peluru sehingga orang yang duduk di dalam terpaksa lompat ke air dan berenang ke darat. Lalu kampungnya dibakar. Hanya beberapa kampung tidak dibakar karena beberapa anak raja dari Tangga Batu yang sudah takluk minta kepada residen agar kampung-kampung itu tidak dibakar karena mereka memiliki rumah di situ. Sewaktu tentara sibuk membakar, sejumlah orang Batak, orang Silindung, orang Bahal Batu, orang Butar, [378] orang Gohan [19] terjun ke ladang dan kembali dengan mengiring kerbau, lembu, dan kuda keluar dari tempat persembunyiannya ke arah tentara.
Sementara Residen dan Kolonel mendatangi kampung-kampung di tanjung Tara Bunga bersama dengan tentara maka saya bersama penginjil Simoneit tetap di sini, di jalan menuju Balige. Di sinilah tampaknya kekejaman perang. Di mana-mana terlihat kampung yang hangus masih berasap yang penghuninya bersembunyi di jurang-jurang pegunungan dan langsung lari apabila ada yang mendekati persembunyiannya. Itulah saat yang paling menyedihkan bagi kami yang datang sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk diusir dari rumahnya.
Ketika kami sampai kami disambut raja Balige yang dua tahun yang lalu menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Katanya ia mau tunduk bersama dengan 60 kampungnya. Waktu kami di Gurgur dia datang ke sana meminta agar kami menyampaikan kepada Residen permohonannya agar wilayahnya tidak diganggu namun karena Residen saat itu sangat marah karena kerugian yang dideritanya di Gurgur maka kami tidak menyampaikan permohonan itu. Akhirnya Residen menerima penundukannya akan tetapi menjadi agak jengkel ketika kami mendapatkan pintu kampung-kampung pertama dalam keadaan tertutup rapat. Sesudah itu kami membawanya keliling selama kira-kira satu jam sampai pada pinggir danau di pasar Balige, dan ia puas karena pintu kampung di sana terbuka semua. Serdadu yang datang 30 menit kemudian langsung mandi sampai ke lutut di danau karena harinya sangat panas, dan kawasan pinggir danau termasuk Bangkara, Unte Mungkur, Muara, Meat, Balige dll. berhawa panas karena rendah letaknya. Tiga kampung dipilih sebagai tempat tentara dan setelah mereka merasa nyaman di tempat barunya semua terjun ke danau untuk mandi. Pertama kali di Danau Toba kata mereka semua. Banyak di antaranya mengungkapkan perasaan jengkelnya bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang begitu indah. [20] [379]
Pada malam hari sekitar jam 7 terdengar suara tembakan. Dikatakan seorang musuh, Raja Deang, datang dan mereka menyerang sebuah kampung yang sudah takluk kepada pemerintah. Pada keesokan hari tentara berangkat tetapi saya tidak ikut karena merasa pening dan karena bagaimana pun hanya ada acara berperang dan membakar kampung. Pada hari itu sekitar 50–60 kampung dibakar. Awalnya musuh melawan dengan gigih tetapi akhirnya lari juga. Menjelang siang saya berjalan sekitar satu jam arah ke timur. Di tempat itu Raja Deang mendirikan kubu dan pertempuran berlangsung. Di Lumban Atas, Paninduan, saya duduk di bawah pohon besar dan menonton hiruk-pikuk manusia. Orang dari Balige dan Paninduan pergi untuk menjarah kampung-kampung yang dibakar. pada sore hari sekitar jam 3 pasukan kembali dan pada jam 5 sore datanglah perahu Ompu ni Pardopur dan Ompu ni Binsara dengan membawa orang Aceh yang terjepit dan bersengketa di tanjung. Mereka menyerahkan diri kepada Residen. Setelah senjatanya dirampas mereka dijebloskan di sebuah rumah dan dijaga. Pada keesokan hari raja-raja yang menyatakan diri takluk didenda dan diambil sumpah setia. Karena mereka tidak begitu cepat bisa mengumpulkan uang untuk membayar denda maka mereka dibawa ke Bahal Batu untuk di kemudian hari ditebus oleh keluarganya. Pada hari keempat kami berjalan ke Onan Geang-Geang tempat tinggal mertua Singamangaraja. Kampung-kampung di sana pun dibakar karena penduduknya mengungsi. Masih pada hari yang sama kami pergi ke Pintu Bosi yang kampungnya besar-besar. Di sini pun penduduk mengungsi sehingga kampung-kampung mereka dibakar. Parik Sabungan, yang dekat dengan Pintu Bosi, menyerah, didenda, dan [raja-rajanya] dibawa ke Bahal Batu untuk diambil sumpahnya. Perjalanan kami lewat Lobu Siregar dan pada jam lima sore kami tiba di Bahal Batu. [380]
Ekspedisi telah selesai. Tiada yang merasa lebih lega daripada saya. Namun saya masih harus tinggal di Bahal Batu selama delapan hari lagi untuk membantu Residen sebagai penerjemah. Berangsur-angsur tentara kembali, dan tentu lewat Pearaja untuk singgah di gereja kita. Saya sangat menyesal tidak bisa berada di rumah membantu istri saya dalam masa yang kacau seperti ini. Namun dengan bantuan Tuhan mereka semua selamat dan sehat sentosa. Pada hari sesudah kami tiba diadakan musyawarah umum di Sipoholon. Para raja diberi tahu bahwa wilayah mereka telah dimasukkan ke dalam wilayah Hindia-Belanda. Mereka diharuskan bersumpah setia dan diperingatkan bahwa mereka harus mematuhi perintah Kontrolir. Di Sipoholon, sekitar setengah jam di atas pos penginjil Mohri, dibangun benteng tempat tinggalnya 80 tentara yang akan menetap di sini. Rumah Kontrolir Pluggers membangun rumah di dekat Pearaja dalam jarak sekitar 20 menit dari sini. Seluruh 306 kampung di Silindung telah tunduk pada pemerintah dan kini mereka sudah mulai membangun jalan ke Sibolga. Untuk itu setiap kampung harus menyediakan satu orang. Kontrolir adalah orang yang rajin dan cukup diberi kesempatan untuk menunjukkan kecakapannya karena begitu banyak perselisihan yang harus diselesaikannya.
Perang sudah berakhir dan kami meneruskan pekerjaan sehari-hari dengan semangat baru. Hasil dari ekspedisi sangat menguntungkan pemerintah. Boleh dikatakan seluruh Toba ditaklukkan, dan hanya di Toba Humbang [21] masih diperlukan beberapa wakil pemerintah untuk menetapkan pemerintahan di sana. Namun hal itu tidak terjadi karena pemerintah tidak tertarik akan Toba Humbang. Mereka terlalu repot menghadapi Aceh. Untuk zending kita pun bagus begitu karena kami kurang tenaga untuk menempatkan cukup banyak penginjil sehingga kami malahan bisa didahului Islam. Sekarang kami punya cukup waktu untuk menggarap Silindung dulu sebelum kami masuk ke Toba dalam waktu beberapa tahun mendatang.
Pemerintah tidak akan melarang karena orang Toba [381] akan makin dekat dengan pemerintah sehingga kita tidak perlu khawatir. Sekarang kita harus bersiap-siap mengerahkan tenaga maupun dana sehingga, bila waktunya datang, kita bisa menuruti petunjuk Tuhan.
Sejak Silindung menjadi wilayah Hindia-Belanda dan perang telah berakhir maka datanglah ratusan orang Toba berbondong-bondong kemari. Banyak orang berimigrasi ke sini termasuk di antaranya mereka yang kehilangan rumah yang dibakar tentara, dan banyak lagi yang akan datang. Dengan demikian maka injil pun akan lebih diketahui di Toba Humbang. Sekarang saja, karena keadaan di Toba, pengaruh kita sudah mulai terasa di sana. Semoga Singamangaraja pun mau datang untuk menyerah dan tunduk pada pemerintah.
Tidak lama lagi terbukalah lahan yang sangat luas. Tenaga dan dana perlu digandakan untuk, sebagai contoh, membuka pos penginjilan di Balige karena di Deli misi Katolik sudah mulai beroperasi, dan mereka sudah menjelajah sampai ke Bila. Belum tentu mereka langsung ke Balige karena masih berada jauh di utara, namun semboyan kita harus tetap: Maju! Di Silindung sudah banyak yang mendaftar mau menjadi Kristen, kian hari kian banyak orang, namun berapa di antaranya yang bersungguh-sungguh hanya akan diketahui di kemudian hari. Kami senang bahwa paling tidak mereka bisa mendengar berita yang baik namun dalam musim pancaroba seperti ini kesungguhan mereka masih perlu dipertanyakan. Banyak yang datang karena mereka kira kami akan membantu mereka sebagai penengah dalam perkara pengadilan. Masalah yang sama yang dulu dihadapi penginjil di Sipirok kini kami hadapi di sini. Hanya kami di sini lebih beruntung karena agama Islam belum ada dan agama Kristen sudah berakar di sini. Dapat diharapkan dalam dasawarsa yang akan datang seluruh Silindung menganut agama Kristen.
Catatan
[1] Menurut kepercayaan orang Batak Iskandar Agung (Raja Yunani dari tahun 336–323 SM) mempunyai tiga anak. Anak yang pertama menjadi Raja Stambul (juga disebut Raja Rum), anak kedua menjadi Raja Cina, dan anak ketiga menjadi Raja Minangkabau. Stambul adalah Istanbul (Konstantinopel) yang pernah menjadi ibu kota kerajaan Roma (=Rum). Pada abad ke-19 Istanbul menjadi ibu kotaKekaisaran Turki Ottoman.

[2] Yang dimaksud di sini mungkin bahwa Turki akan datang dengan pasukannya untuk mengusir orang Belanda dari Indonesia.

[3] Pada saat itu tengah berlangsung Perang Rusia-Turki (1877– 1878).

[4] Pusat pemerintah saat itu di Sibolga.

[5] Hal ini tentu merujuk pada Perang Padri (1821-1837). Pusatnya kaum Padri di kampung Bonjol (Sumatra Barat).

[6] Singamangaraja X dibunuh pada tahun 1830 oleh kaum Padri.

[7] Yang dimaksud dengan orang Bonjol adalah para Padri.

[8] Sibolga, Barus, dan Singkel merupakan pusat pemerintahan Belanda di pantai barat Sumatra bagian utara. Singkel pada tahun 1873 tersambung kabel telegram.

[9] Secara formal sebagian pulau Sumatra berada di bawah kekuasaan Britania Raya. Dengan Perjanjian London (1824) Inggris dengan terpaksa melepas wilayah ini yang kemudian jatuh kepada Belanda.

[10] ‘Anse’ dalam bahasa Batak diucapkan Atse atau Ace[h]. Kata Soripada berasal dari bahasa Sanskerta sri pati.

[11] Upas, dari bahasa Belanda Opzier ‘Pengawas’ adalah semacam polisi pribumi.

[12] Obaja (Raja Pontas Lumban Tobing) adalah orang Batak pertama yang dibaptis dan sering menemani para penginjil dalam perjalanannya. Pada tahun 1873 ia mendampingi Heine, Johannsen, dan Mohri ke Danau Toba (lihat BRMG 1882 (7), hal. 198-202)

[13] Tertulis: “Singa Maharaja”

[14] Tertulis: Pitu Bosi

[15] Yang dimaksud di sini ubi rambat yang dalam bahasa Batak disebut gadong.

[16] Agaknya salah ketik untuk Ompu ni Mardopang

[17] Pasukan tambahan yang dipersenjatai Belanda.

[18] “Reisfelder” bisa merujuk kepada sawah atau ladang yang ditanami padi.

[19] Yang dimaksud barangkali Pohan.

[20] Kata schmierig yang digunakan di sini berarti, secara harfiah, ‘licin’. Kalau digunakan untuk orang, schmierig bisa berarti jorok, tetapi juga licik, dan tak senonoh.

[21] Hochtoba ‘Toba Tinggi’ adalah sebuah dataran tinggi yang terletak arah barat daya dari Danau Toba dengan ketinggian rata-rata 1100m. Arah ke barat dari dataran tinggi itu terletak pegunungan yang tertutup dengan hutan rimba.

MAHKUTA (SISINGAMANGARAJA I – Manghuntal )

Raja Manghuntal
 image

Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga dan bungsu dari Raja Sinambela. Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk marpangir (keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:

1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang

Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu.
Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi.
Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.
Setelah Singamangaraja meningkat dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.

Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu.
Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.
Raja Si Singamangaraja berikutnya

Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.
Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
 Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Ø
 Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Ø
 Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Ø
 Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Ø
 Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Ø
 Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Ø
 Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Ø
 Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Ø
 Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Ø
 Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Ø
 Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu,

  
Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di KerajaanHatorusan

Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di KerajaanHatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel–ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai singamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.
Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.


Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.
Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi  Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau
sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.
Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti-perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.
 image
Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Nama medan merupakan sebuah desa yang dibangun oleh Guru Patimpus. Desa tersebut yang berfungsi sebagai ‘onan’ tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai  penjuru untuk tujuan ekonomi, politik dan sosial. Onan itu berada di sebuah lapangan besar di mana diatasnya keramaian orang melakukan transaksi.
Orang-orang Arab yang melihat peristiwa itu menyebut lapangan tersebut sebagai Maidan, lapangan luas, yang akhirnya menjadi Medan dalam lidah melayu.
Nama Medan dikenal berbeda-beda dalam sejarah, sesuai dengan perubahan penguasa atas kawasan ini. Kesultanan Haru, terdiri dari orang Karo yang menjadi prajurit Aceh, pernah menguasasinya dan medan lebih dikenal dengan Haru. Dominasi orang Haru diruntuhkan oleh orang Aceh dan mengangkat orang melayu menjadi pemimpin di daerah tersebut. Maka kemudian dikenal juga nama Ghuri dan Deli di tangan orang Melayu yang diangkat oleh Aceh dan dipengaruhi oleh budaya India Dehli sekarang dikenal Delhi.
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi image
merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung-kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.
Menurut Datuk Bueng yang tinggal di Jl. Kertas Medan dia mempunyai dokumen tua dalam bentuk lempeng-lempeng. Menurut trombo yang ada padanya Raja-raja 12 Kuta (Hamparan Perak) adalah :
Dinasti Sisingamangaraja I, setelah menghilang dari Bakkara.
1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara,dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige,Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus. Abang Tuan Si Raja Hita.adalah Raja Sisingamangaraja II. Guru Patimpus memiliki nama lengkap Guru Patimpus Sembiring Pelawi (lahir di Aji Jahe, salah satu kampung di Tanah Karo Simalem yang dingin, sejuk, nyaman, dengan angin pegunungannya, hidup sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17). Yap, Guru Patimpus berasal dari dataran tinggi karo. Seorang Batak Karo.
Walaupun di beberapa tulisan disebut dia bermarga Sinambela (karena masih keturunan Sisingamangaraja yang bermarga Sinambela), namun resminya dia diakui sebagai marga Sembiring. Mungkin Sinambela di Karo masuk kelompok marga Sembiring. Guru Patimpus Sembiring Pelawi memang adalah orang yang dikenal sebagai pendiri kota Medan, ibukota Propinsi Sumatra Utara, Indonesia, yang berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang berdiri 1 Juli 1590.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan
Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan
panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
image
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut ‘Makam Melintang’, anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan
mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh pihak Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"
Berdasarkan bahan-bahan dari Panitia Sejarah Kota Meda (1972) termasukLandschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit-kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi
ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali.
Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan.
Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
Putera Guru Patimpus Hafal Al-Qur’an Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal Al Qur’an, karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik Hafiz.
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung.
Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas).
Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut trombo dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama-ulama besar lebih dikenal dengan menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dariAceh Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)