Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Minggu, 03 Maret 2013

Mengenal jenis Ulos Batak Toba


Ulos Batak Toba

“Ulos Batak”, dikenal sebagai Jati diri orang Batak sesuai Budaya dan Adatnya.

Orang Batak sudah dikenal sebagai “Bangso Batak”, kenapa..?
Dahulu sudah memiliki Kerajaan sendiri, Mardebata Mulajadi Nabolon (“pencipta yang maha besar”), memiliki Surat Aksara Batak, dan sudah pernah memiliki Uang tukar yakni Ringgit Batak (“Ringgit Sitio Suara”), uning-uningan namarragam (“musik”), memiliki Budaya Adat, dan mempunyai Hukum.

Namun sekarang ini sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan orang Batak Toba sudah banyak yang tidak mengetahui :
1. Bahasa daerahnya sendiri
2. Dasar dan tahapan tor-tor Batak, sudah banyak yang tidak mengetahuinya, bahkan secara filosofi tidak mempunyai standard
3. Ulos Batak tidak dikenal jenis-jenis dan Fungsinya secara filosofi.
*’ Hal ini terjadi karena seorang penasehat atau pemerhati mengaku pintar, namun menimbulkan kesalapahaman tentang budaya batak yang benar

2 Musa 19 ayat 10:
Dung i didok Jahowa ma tusi Musa laho maho tumopot bangso i jala urasi nasida sadarion dohot marsogot asa ditatap nasida Ulos na.

Jenis dan Fungsi Ulos Batak:

Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil).
Komunitas Tenun Ulos Batak merupakan kelompok masyarakat yang mengerjakan tenun tradisional ulos batak dan salah satunya yang terletak di kota Balige.

1. Beberapa jenis ulos batak yang ada di komunitas tenun ulos adalah: Ulos Jugia : Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau pinusaan”






2. Ulos Ragi Hidup : Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak
.


3. Ragi Hotang : Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos Marjabu. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).




4. Ulos Sadum : Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita.



7. Ulos Suri-suri ganjang : Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang.



8. Ulos Mangiring : Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan.
 
 


9. Bintang Maratur : Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan.
 

 

10. Sitoluntuho-bolean : Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5642778902247136530" />
 

11. Ulos Jungkit : Ulos ini jenis ulos nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut
 

Sortali
 
 

12. Ulos Lobu-lobu : Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak).



Bahan dasar ulos
Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi. Yang membedakan adalah poses pembuatannya yang mempunyai tingkatan tertentu. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos. Misalnya bagi anak dara, yang sedang Helajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” Ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
1. Proses Pembuatan ulos batak yang sering dilakukan di komunitas ulos batak yaitu: Pembuatan benang : Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”.
2. Pewarnaan : Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki.
3. Gatip : Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard.
4. Unggas : Unggas adalah proses pencerahan benang.
5. Ani : Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.
6. Tonun : Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos.
7. Sirat : Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. “Manirat” merupakan proses terakhir untuk menjadikan ulos yang utuh.

Ulos Batak Toba
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.".

Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.

Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.

Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.

Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang non-Batak. Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Beberapa jenis ulos yang dikenal dalam adat Batak sebagai berikut:

1. Ulos Ragidup
Ragi berarti corak, dan Ragidup berarti lambang kehidupan. Dinamakan demikian karena warna, lukisan serta coraknya memberi kesan seolah-olah ulos ini benar-benar hidup. Ulos jenis ini adalah yang tertinggi kelasnya dan sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bagian; dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan sangat rumit. Ulos Rangidup bisa ditemukan di setiap rumah tangga suku batak di daerah-daerah yang masih kental adat bataknya. Karena dalam upacara adat perkawinan, ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki.
 
 

2. Ulos Ragihotang
Hotang berarti rotan, ulos jenis ini juga termasuk berkelas tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos Ragidup. Dalam upacara kematian, ulos ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya.
 


3. Ulos Sibolang
Disebut Sibolang sebab diberikan kepada orang yang berjasa dalam mabolang-bolangi (menghormati) orang tua pengantin perempuan untuk mangulosi ayah pengantin laki-laki pada upacara pernikahan adat batak. Dalam upacara ini biasanya orang tua pengantin perempuan memberikan Ulos Hela yang berarti ulos menantu kepada pengantin laki-laki.
 
 

 
 
 
 

Mengulosi menantu lelaki bermakna nasehat agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman satu marga, dan paham siapa yang harus dihormati; memberi hormat kepada semua kerabat pihak istri dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini juga diberikan kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai tanda penghormatan atas jasanya selama menjadi istri almarhum. Pemberian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara berkabung, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahwa ia telah menjadi seorang janda. Ulos lain yang digunakan dalam upacara adat adalah Ulos Maratur dengan motif garis-garis yang menggambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur. Motif ini melambangkan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut.

Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan menjadi dua bagian:
Pertama, Ulos Na Met-met; ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil daripada ulos jenis kedua. Tidak digunakan dalam upacara adat, hanya untuk dipakai sehari-hari.

Kedua, Ulos Na Balga; adalah ulos kelas atas. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima.

Biasanya ulos dipakai dengan cara dihadanghon; dikenakan di bahu seperti selendang kebaya, atau diabithon; dikenakan seperti kain sarung, atau juga dengan cara dililithon; dililitkan dikepala atau di pinggang.


Sumber:
http://ulosbatakornamen.blogspot.com/2011_08_01_archive.html

Pelestarian Pusaka secara Tradisional




Naskah  Melayu  yang  sampai  sekarang dianggap  naskah  Melayu  tertua  adalah  dua
surat berhuruf jawi bertanggal tahun 1521 dan 1522M  yang  ditulis  oleh  sultan  Abu  Hayat dari Ternate kepada raja Portugal. Kedua sur at tersebut  hanya  dapat bertahan selama  hampir lima ratus tahun karena  disimpan  dalam arsip nasional  Portugal  di  Lisabon. 

 Di  sana  kedua naskah  tersebut  disimpan  secara  aman,  jauh dari ancaman bencana alam, dan hawa lembab dan  panas  yang  menjadi  ciri  khas  di  Asia Tenggara.  Bahan-bahan  organik  sulit  sekali untuk  bertahan  lama  di  kawasan  Nusantara bukan  saja  karena  keadaan  alam  dan  cuaca yang  kurang  mendukung,  tetapi  juga  karena mudah  sekali  dimakan  oleh  hama  seperti rayap,  atau  menjadi  hancur  akbibat  berbagai fungi dan organisme mikro lainnya yang ber-kembang subuh di daerah tropis. 

Faktor yang tidak  kalah  penting  adalah  faktor  manusia sendiri.  Bukan  sedikit  naskah  yang  dengan sengaja  dihancurkan  karena  isinya  dianggaptidak  sesuai  dengan  ajaran Islam  atau  agama Nasrani.  Selama  perang  Paderi  berkobar  di Mandailing,  ribuan  naskah  Batak  (pustaha) dihancurkan  oleh  para  militan  Paderi. 
 

 Nasib pustaha  Batak  di  Toba  tidak  jauh  lebih  baik karena  sebagian  misionaris  tidak  lebih bijaksana daripada kaum Paderi. Misionaris Meer waldt misalnya menulis bahwa pustaha Batak  “sudah  saatnya  untuk  dibakar”  ( Meerwaldt, 1922:295).  Selain  itu  banyak  naskah  hancur karena perawatan atau penanganan yang tidak sesuai, dan banyak naskah juga hilang karena dicur i. 

Tentu  saja  para  penulis  naskah  di  zaman dahulu  sudah insyaf akan masalah pelestarian naskah  di  iklim  tropis,  dan  naskah  yang dianggap  penting disalin  kembali. Dalam  hal ini yang menyalin naskah sering mengubah isi naskah,  misalnya  dengan  menambah  sesuatu atau mengur angi yang dianggap tidak penting.

Dengan demikian sebuah salinan jarang sama dengan  naskah  aslinya.  Karena  faktor-faktor yang disebut di atas maka jar ang sekali dapat kita  temukan  naskah  Indonesia  yang  ditulis sebelum abad ke-17. 

Kalau memang  demikian mengapa  naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir
tujuh ratus tahun di sebuah  kampung  kecil di pedalaman Sumatra?

Sebagaimana sudah disebut di atas, barang pusaka  Kerinci  selalu  disimpan  di  loteng
rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyim-panannya  juga  tidak  sembarangan  melainkan dilakukan dengan sangat seksama. Semua barang  pusaka  pada  umumnya  dibalut  dengan kain  dan  disimpan  di  sebuah  peti  kayu  yang sangat  kokoh.  Bila  disimpan dengan  cara  itu maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari yang  bersifat  merusak.   

Pusaka  yang  dibalut kain  dan disimpan dalam peti juga terlindung dari  perubahan  suhu  secara  mendadak  yang juga bersifat merusak. Memang suhu di sianghari  menjadi  sangat  panas  di  loteng  rumah, akan  tetapi  suhu  panas  sendiri  sifatnya  tidak begitu merusak dibandingkan perubahan suhu yang  terjadi  secara  mendadak.  

 Faktor  yang paling  mendukung  dari  segi  pelestarian  ialah bahwa  kelembaban  udara  di  loteng  relatif rendah.  Selama  atap  tidak  bocor  barang pusaka  yang  disimpan  di  loteng  dapat  saja bertahan untuk sangat lama. Selain itu keada-an  alam  Kerinci  juga  mendukung.   

Hawa  di Kerinci sebetulnya tidak patut disebut sebagai iklim tropis  karena letaknya Kerinci di pegu-nungan. Tanjung Tanah terletak 800m di atas permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang hari  sekitar  rata-rata  27  derajat  dan  suhu terendah  di  malam  hari  rata-rata  20  derajat. Dibandingkan  dengan  daerah  pesisir  curah hujan juga lebih rendah.

Bila  kita  tanya  mengapa  pusaka  disimpan di loteng  maka  jawabannya  karena  lotenglah tempat  yang  paling  terhormat  di  rumah,  dan juga karena alasan keamanan. Akan tetapi dapat  kita  duga  bahwa  sebetulnya  sudah  ada pengetahuan tentang tempat mana yang paling sesuai dari segi pelestarian. Soalnya bukan di Kerinci  saja  pusaka  disimpan  di  loteng.  Hal yang sama juga dilaporkan di Sulawesi. 

Kahlenberg menulis bahwa Sulawesi yang ter letak di daerah katulistiwa memiliki iklim yang ter-buruk untuk pelestarian kain pusaka. Akan tetapi  karena  kain-kain  itu  disimpan  di  loteng maka  kain  itu r elatif  aman  dari  ancaman  se-rangga,  tikus,  dan  kelembaban  tinggi.  Sama dengan halnya pusaka Kerinci, pusaka itu pun jarang diturunkan sehingga terlindung dari sinar matahari, dan hanya  dipamerkan  pada acara  penguburan  ketua  adat  (Kahlenberg, 2003:86).  Kain-kain  dari  Sulawesi  itu  sudah  dianalisis  secara  radiokarbon  dan  ter nyata beberapa  di  antaranya  ber asal  dari  abad  ke-13!

Kain  dari  Sulawesi  membuktikan  bahwa barang  pusaka  dapat  bertahan  lama  di  iklim tropis  apabila  disimpan  dengan  cara  yang tepat, dan hal itu ternyata hanya terwujud bila cara penyimpananya sesuai dengan cara yang tradisional,  yaitu  di  loteng,  dan  benda-benda pusaka hanya tersimpan dengan aman apabila benda itu dianggap sakral dan dilindungi oleh adat setempat.

Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih teguh  berpegangan  pada  adat leluhur  mereka dan  benda-benda  pusaka  dianggap  memiliki nilai  yang  luar  biasa  yang  dapat  melindungi mer eka dar i ancaman  bahaya. Bila ada benda pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja  untuk  pemiliknya  tetapi  untuk  seluruh masyarakatnya. Oleh sebab itulah maka sam-pai  sekarang masih banyak pusaka di Kerinci yang  selama  berabad- abad  tersimpan  dengan aman. 

Selain faktor mendukung yang sudah dise- but di atas masih ada faktor lain yang barang-
kali  tidak  kalah  penting.  Naskah  Tanjung Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu itu  dapat  bertahan  lama  asal  tidak  dibubuhi kanji. 

 Kanji  kadang-kadang  digunakan  untuk memudahkan  tinta  lengket  pada  kertasnya, akan tetapi kanji itu juga menyebabkan bahwa naskah itu menjadi santapan enak bagi serang-ga.  Jika  naskah  daluang  tidak  diolesi  kanji maka  naskah  itu  memiliki  sifat  pelestarian yang  sangat  mendukung  dan  dapat  ber tahan selama  ratusan  tahun