Ikan Batak (Ikan Jurung) seberat 1,4
Nama
Ikan Batak belakangan ini sudah demikian pamor dikenal
di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di Bogor sudah berhasil
dibudidayakan dan menjadi komoditas ekslusif yang bernilai mahal,
sementara di Tanah Batak tidak demikian perkembangannya. Jenis yang mana
sebenarnya yang disebut
Ikan Batak itu? Kalau ditanyakan
pertanyaan ini kepada orang Batak mungkin saja jawabannya berbeda-beda
karena orang Batak sendiri sudah banyak yang tidak tau dan bahkan tidak
perduli dengan yang disebut
Ikan Batak.
Kekurangtahuan itu ternyata mengakibatkan penamaan
Ikan Batak secara umum di dunia ikan di Indonesia berbeda dengan
Ikan Batak
yang dimaksud oleh orang Batak kebanyakan. Dari kalangan yang banyak
berkecimpung dibidang perikanan terutama ikan air tawar baik dari
instansi pemerintahan maupun perorangan dalam bentuk upaya pembibitan
dan pembesaran mengenal
Ikan Batak adalah dari
genus ‘Tor’, sementara orang Batak sendiri kebanyakan mengenal
Ikan Batak yang disebut ‘
ihan’ adalah dari
genus Neolissochilus yang
memang ikan endemik di Tanah Batak yang sudah terancam punah dan masuk
dalam Red List Status di IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) dengan kode Ref.57073 sejak tahun 1996.
Ikan Batak yang dikenal secara umum di dunia perikanan dari
genus Tor, memang tampilannya mirip dengan
‘ihan’ genus Neolissochilus, dan memang berasal dari keturunan yang sama yaitu
Family Cyprinidae. Kalau yang dimaksud adalah dari jenis
genus Tor maka
jenis ikan ini masih banyak dijumpai di berbagai habitat aslinya di
Indonesia seperti di Tanah Batak (Sumatra Utara), Sumatra Barat, Aceh,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan mungkin masih banyak ditemukan
di daerah lainnya. Jadi pada dasarnya jenis ikan ini belum menjadi ikan
yang terancam punah.
Ikan Batak yang dimaksud (
genus Tor) bagi orang Batak sendiri dikenal dengan nama
dekke Jurung-jurung atau
Ikan Jurung. Secara umum
Ikan Jurung ini disebut sebagai
Ikan Batak
karena di Tanah Batak lebih lazim digunakan dalam suatu prosesi adat
sebagai simbol kesuburan dengan harapan kepada keluarga yang diberikan
penganan dari
Ikan Jurung-jurung ini akan berketurunan banyak, baik laki-laki dan perempuan dan mendapat rejeki sebagaimana perilaku
Ikan Jurung-jurung tersebut yang sifat hidupnya membaur beriring-iringan.
Ikan Batak Penyandang Mitos
Ikan Batak yang aslinya disebut sebagai
Ihan dari
genus Neolissochilus memang dimitoskan sebagai makanan para raja-raja dijaman dahulu. Disamping itu
Ihan
merupakan penganan sesembahan kepada Tuhan (upa-upa) yang diberikan
kepada seseorang oleh Hula-hula atau hierarchi clan marga yang lebih
tinggi (
dalam falsafah kekerabatan Dalihan Natolu) dengan
harapan pemberian makanan itu mendapat berkat dari Tuhan berupa
kesehatan dan panjang umur, mendapat banyak keturunan, dam mudah rezeki
di harta. Dalam prosesi adat perkawinan, penganan ini juga diberikan
kepada pihak boru (hierarchi marga yang lebih rendah) sebagai balasan
pemberian makanan yang enak berupa suguhan makanan (tudu-tudu
sipanganon) yang bermakna sama mendapat berkat dari Tuhan.
Tatalaksana pemberian makanan ikan seperti ini masih berlangsung
sampai sekarang namun sudah menuju degradasinya karena tidak ditemukan
lagi jenis
Ihan di Tanah Batak (punah). Sebagai pengganti maka jenis ikan
Mahseer dari
genus Tor (Dekke Jurung-jurung)
merupakan pengganti penganan yang dimaksud. Ternyata jenis inipun mulai
langka ditemukan di Tanah Batak dan digantikan menjadi ikan mas dari
genus Cyprinus. Jenis ikan mas sebagai pengganti penganan adat tersebut adalah dari spesies
Cyprinus carpio
yang berwarna kuning kemerahan. Jenis ikan mas yang berwarna kuning
kemerahan ini kurang diminati oleh masyarakat di Pulau Jawa sehingga
masyarakat Batak yang berada di Jawa ini terpaksa menggunakan ikan mas
berwarna hitam sehingga penganan tersebut kurang ceria tampilannya dan
terlihat kusam warnanya.
Sungai Sirambe Nauli terletak di Desa Bonan Dolok (“Bondol”), kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara, terdapat
Ikan Batak yang mereka sebut
Ihan namun sebenarnya adalah
Ikan Batak yang secara umum disebut sebagai
Ikan Jurung dari
genus Tor.
Oleh warga setempat sungai itu dianggap keramat namun berfungsi juga
sebagai sumber air untuk minum. Masyarakat setempat biasanya mengambil
air minum dari sungai tersebut lantaran airnya sangat jerni dan bersih.
Sungai tersebut juga merupakan kolam mandi dan berenang sepuasnya, dan
juga dipergunakan untuk tempat ibu-ibu mencuci pakaian.
Uniknya, di Sungai itu hidup ratusan ekor
Ikan Batak berukuran besar dan kecil,
Ikan Batak
inilah yang menjadikan Desa Bonan Dolok istimewa dan menjadi salah satu
objek parawisata di Balige Kabupaten Toba Samosir. Biasanya
Ikan Batak
tersebut bersembunyi dalam goa-goa batu yang berada didasar kali dan
akan keluar saat pengunjung turun ke sungai Sirambe Nauli untuk memberi
makan, missal seperti kacang-kacangan atau pun nasi.
Masyarakat setempat mengatakan air sungai dapat dipergunakan sebagai obat, namun
Ikan Batak yang terdapat disitu tidak dapat diambil. Konon sudah pernah ada pengunjung yang mengambil
Ikan Batak dari sungai tersebut dan dimasaknya dirumahnya namun anehnya
Ikan Batak itu hanya setengah yang matang dan setengah lagi tidak matang. Disebutkan pula, apabila ada pengunjung yang mengambil
Ikan Batak itu akan mengalami sakit keras.
Di Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Tobasa, juga menjadi habitat
Ikan Batak. Masyarakat sekitar yang hendak menangkap
Ikan Batak
dari sungai itu sudah punya aturan dan cara tersendiri. Namun sering
pula masyarakat pengunjung dari kota datang menangkap ikan di sungai itu
dengan menggunakan stroom listrik. Itu akan membunuh anak ikan, keluh
mereka. Belum ada peraturan daerah untuk perlindungan ikan langka itu.
Di Desa Rani Ate, Kecamatan Padang Sidempuan Barat
Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatra Utara terdapat sebuah sungai yang
menjadi habitat Ikan Jurung. Konon sekitar tahun 1940 seorang guru
tarekat naqsabandiyah dari Tabuyung yang dipangil sebagai Syekh Tabuyung
yang tinggal di sebuah mesjid di tepi kali mengambil 7 ekor
Ikan Batak (Ikan Jurung)
dan menaruhnya di sungai di belakang mesjid dengan maksud agar air
sungai menjadi bersih untuk dipakai sebagai air wudhu. Syekh Tabuyung
melarang orang-orang sekitar untuk mengambil ikan itu kecuali bila ikan
itu melewati 75 m kearah hulu dan 75 m kearah hilir dari mesjid.
Bagi warga setempat,
Ikan Batak itu telah menjadi keajaiban
karena mereka tak mau pindah dari lokasi sekitar masjid dan jarang
berenang di luar batas yang digariskan Syekh Tabuyung. Bahkan pada tahun
1980-an, ketika seluruh desa tenggelam banjir dan sungai ini pun
meluap,
Ikan Batak itu ikut pergi bersama warga ke arah hulu.
Namun, ketika air surut dan warga kembali, ikan tersebut pun kembali
lagi di daerah sekitar masjid. Ikan-ikan itu tak pernah jauh-jauh dari
masjid. Sepertinya, ikan itu tahu tugas mereka untuk membersihkan air di
sekitar masjid. Fenomena itu membuat warga kian percaya dengan
keajaiban
Ikan Batak itu dan mereka bertekad untuk menjaganya
turun-temurun. Warga pun bersepakat untuk tak mengambil ikan itu sama
sekali, hingga kini.
Warga percaya bahwa siapa yang mengambil ikan itu akan terkena
malapetaka. Konon ceritanya sudah banyak bukti orang yang mengambil dan
makan
Ikan Batak dari sungai ini berakhir mati mengenaskan.
Misalnya, seorang pendatang dari Padang Sidempuan yang tengah
mengerjakan proyek pembuatan jalan di desa ini beberapa tahun lalu yang
nekat mengambil dan memakan
Ikan Batak dari sungai ini,
kemudian mati tiba-tiba. Warga sini tak ada lagi yang berani mengambil
ikan larangan ini. Jadilah Sungai Rani Ate, yang hanya selebar sekitar
lima meter itu, menjadi semacam lubuk larangan, tempat pelestarian
ekologi bagi ikan jurung yang di habitatnya terancam punah. (disarikan
dari
www.mandailing.org.)
Di Sungai Timbulun Kabupaten Solok Sumatra Barat, masyarakatnya menebarkan jenis
Ikan Batak
agar tetap lestari dan masyarakat dilarang menangkap atau memancingnya
paling tidak selama setahun. Di Kabupaten Agam ada sebuah sungai yang
disebut Sungai Janiah walaupun airnya tidak jernih, tetapi demikianlah
namanya dan menjadi objek wisata masyarakat sekitar. Ada lengenda yang
melingkupi cerita rakyat di situ mengenai ikan sakti yang hidup di
Sungai Janiah dan masyarakat tidak berani menangkapnya; berikut
ceritanya:
Muchtar Tuanku Sampono (96 tahun), tokoh masyarakat Sungai Janiah
mengatakan, ikan di Sungai Janiah ini tidak ‘sakti’. Ikan tersebut
berasal dari anak yang hilang. Malam harinya ibu anak tersebut bermimpi
agar dibuat nasi kunyit (nasi kuning) dan dipanggil anaknya di Sungai
Janiah.
“Sejak dulu tidak ada yang berani memakan ikan di Sungai Janiah ini,
karena mereka enggan saja karena sepertinya memakan manusianya saja,
bahkan Belanda dan Jepang tidak berani menjamah ikan ini,” katanya
kepada PadangKini.com. Menurut Tuanku Sampono tidak ada yang tahu jenis
dan nama ikan tersebut. Ikan ini seperti
Ikan Batak (ikan
gariang, nama di daerah itu), namun kata orang Jambi ikan ini sejenis
ikan Kalari. Seperti yang dikatakan oleh Tuanku Sampono ikan-ikan
tersebut sejak dulu tidak terlihat anak-anak ikannya. Apakah
cerita-cerita rakyat itu benar atau tidak? Yang jelas legenda Sungai
Janiah mendatangkan berkah bagi penduduk sekitar dengan banyaknya orang
berkunjung setiap hari.
Versi lain menurut buku C. Pangguluh bahwa asal mula ikan yang ada di
Sungai Janiah dari penjelmaan anak manusia dan anak jin yang telah
dikutuk oleh Tuhan, karena kedua makhluk yang berlainan alam ini telah
melanggar janji yang telah mereka sepakati.
Alkisah, penduduk Nagari Tabek Panjang di Kecamatan Baso ini berasal
dari puncak gunung Merapi. Karena persediaan air di Gunung Merapi
semakin terbatas, maka timbullah ide mencari hunian baru di bawah Gunung
Merapi. Maka diutuslah Sutan Basa untuk mencarai lokasi baru itu, Sutan
Basa menemukan kawasan yang memiliki Sungai dan air mancur yang sangat
jernih.
Tapi daerah itu telah ditempati oleh bangsa jin, maka Sutan Basa
menyampaikan keinginannya kepada jin tinggal dikawasan itu bersama
kelompoknya. Maka diadakanlah kesepakatan antar kepala suku
masing-masing, bahwa boleh tinggal di daerah itu, asalkan kalau anak
kemenakan dari Datuak Rajo Nando mamak dari Sutan Basa menebang pohon
agar membuang serpihan dan sisa kayu ke arah rebahnya pohon. Kalau
kesepakatan ini dilanggar, maka keturunan dari keduanya akan memakan
kerak-kerak lumut, tempatnya tidak diudara tidak juga di daratan.
Setelah sepakat tinggallah kaum tersebut di Sungai Janiah. Suatu
waktu ada keinginan untuk membangun gedung pertemuan atau balairung
untuk tempat berkumpul. Maka ditugasilah oleh Sutan Basa sekelompok
irang untuk mencari kayu sebagai tonggak tuo. Maka pergilah mereka ke
hutan. Karena begitu senang bercampur lelah, mereka langsung menebang
pohon yang mereka nilai cocok, tapi mereka lupa akan janji yang telah
disepakati oleh kepala suku. Karena tidak mengindahkan janji tersebut
maka hasil tebangan pohon tersebut mengenai anak- anak jin. Kejadian ini
membuat marah keluarga jin, mereka menurunkan batu-batu dari Bukit
Batanjua yang ada di sekitar sungai tersebut, yang menyebabkan gempa.
Keadaan ini menyebabkan hubungan tidak harmonis antara keduanya.
Suatu waktu Datuak Rajo Nando dan istrinya pergi membersihkan ladang
tebu mereka dengan meninggalkan anak perempuan mereka berusia 8 bulan.
Setelah pulang dari ladang, tidak ditemui anak tersebut. Maka seluruh
orang kampung diperintah mencari anak hilang tersebut, sampai larut
malam seluruh usaha seakan sia-sia.
Malam hari istri Datuak Rajo Nando bermimpi agar memanggil anaknya di
Sungai Janiah dengan cara membawa beras dan padi dan memanggil anaknya
seperti memanggil ayam. Esok siang dilakukanlah seperti di mimpinya.
Setelah dipanggil datanglah dua ekor ikan yang satu tampak jelas dan
yang satu lagi tampak samar. Maka ikan yang tampak jelas itu adalah anak
Datuak Rajo Nando dan satunya lagi adalah anak jin. Hal ini terjadi
karena keduanya melanggar janji, sehingga termakan sumpah.
Di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat, tepatnya
disebuah desa bernama Lubuak Landua di Kecamatan Pasaman terdapat objek
wisata Lubuak Landua yang ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat ikan
larangan yang berada di sungai Batang Luan, yang mengalir di tepi surau
Lubuak Landua. Ikan-ikan ini telah berusia ratusan tahun sama usianya
dengan surau Lubuak Landua. Ikan larangan adalah
Ikan Batak (Gariang) dipelihara dengan memberi makan dan tidak boleh diambil sesuai dengan kesepakatan masyarakat. Dulunya ikan-ikan ini diberi
uduah semacam
ilmu teluh,
agar tidak dicuri, apabila ada yang mencurinya akan mendapat penyakit
bahkan mengakibatkan kematian. Namun saat ini hal tersebut sudah tidak
digunakan lagi. Tujuan utama dari memelihara ikan liar di sungai ini
adalah untuk sumber bibit ikan, melestarikan lingkungan, menjadikan
sungai bersih dari kotoran dan sebagai daya tarik pengunjung dari luar
daerah objek wisata.
Di Desa Talawi, Nagari Baruang-baruang Balantai,
Kecamatan Koto-XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, terdapat
Lubuak Larangan sebagai kawasan wisata yang dipenuhi ribuan ikan-ikan
jinak jenis
Ikan Batak (Gariang) namun dilarang untuk
ditangkap. Apabila seseorang terbukti menangkap ikan itu maka akan
dikenakan denda senilai 100 zak semen. Diceritakan bahwa pada malam hari
ikan-ikan tersebut tidak kelihatan, namun pada pagi harinya sewaktu
dikunjungi orang maka ikan-ikan itu berkumpul kembali. Pada hari
tertentu setiap tahunnya, digelar lomba memancing dengan hadiah Sepeda
Motor, Kulkas, dan Televisi bagi yang berhasil menangkap Ikan Batak
berukuran lebih dari 2 kg, namun tak seorangpun yang mendapat hadiah.
Di Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten
Kuningan, terdapat sebuah kolam pemandian benama kolam Cibulan dengan
ukuran 30m x 70m dengan kedalaman bervariasi dibangun tahun 1939 disebut
menjadi kolam pemandian tempat berenang bersama-sama dengan
Ikan Batak dengan sumber airnya dari Gunung Ciremai.
Ikan Batak atau Ikan Dewa oleh masyarakat setempat disebut
Ikan Kancra Bodas
dipercaya sebagai ikan istimewa yang membawa berkah bagi siapapun yang
dapat menyentuh badannya. Legenda tersebut terus tersebar dari mulut ke
mulut- hingga masyarakat sekitar Cirebon bahkan dari luar Cirebon,
datang ke Kuningan ingin melihat
Ikan Batak tersebut, baik
hanya sekedar melihat ataupun mempunyai tujuan yang lain. Diceritakan, ”
Dahulu kala ketika Prabu Siliwangi masih hidup, beliau memerintah
dengan adil dan bijaksana, sehingga hampir semua prajurit dan kawulanya
tunduk dan hormat pada Sang Prabu. Namun tak ada gading yang tak retak,
begitupun dengan Prabu Siliwangi, walaupun sudah memerintah dengan adil,
masih ada saja prajurit yang tidak suka dan tidak puas terhadap Prabu
Siliwangi. Singkat cerita, dikutuklah prajurit-prajurit yang membangkang
tersebut sehingga menjadi ikan, yang keberadaannya masih bisa kita
saksikan sampai sekarang di kolam Cibulan”.
Dikatakan, tak ada satu orangpun yang berani mengambil ikan ini, baik
hanya sekedar dipelihara, atau bahkan dimasak untuk dimakan. Menurut
kepercayaan masyarakat sekitar, barangsiapapun yang berani menganggu
ikan-ikan tersebut, terhadap dirinya akan terjadi sesuatu bencana. Ini
cerita yang bisa kita dengar dari masyarakat sekitar, boleh percaya atau
tidak. Bahkan menurut cerita yang berkembang, jumlah ikan yang ada di
kolam ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah bertambah atau
berkurang, tetap segitu-gitu saja.
Pernah sekali terjadi tiba-tiba,
ikan-ikan Batak yang berada
dalam kolam tersebut hilang entah kemana, kemudian esok harinya kembali
seperti semula. Sadar akan potensi wisata tentang keberadaan ikan
Batak, maka desa setempat membangun tempat ini, sehingga selain para
pengunjung bisa melihat
Ikan Batak yang terlihat cantik dan seksi, juga para pengunjung bisa berenang bersamanya. Jangan khawatir,
Ikan Batak atau
ikan Dewa atau
ikan Kancra Putih
yang bersisik putih mengkilap, tidak akan menganggu manusia yang ingin
berenang bersamanya, malah seakan-akan mereka merasa senang, karena
kadang-kadang sambil berenang mereka mengikuti kita. (Cerita ini
disarikan dari situs liburan.info).
Ikan Batak dari
genus Tor, di Jawa Barat disebut sebagai
Ikan Dewa
yang dikeramatkan sehingga masyarakat tidak mengkonsumsinya. Di daerah
Kuningan Jawa Barat, konon bila masyarakat menemukan ikan ini mati maka
mereka memperlakukannya layaknya manusia yang diberi kain kafan dan
dikuburkan. Di beberapa daerah Jawa Barat lainnya seperti di kawasan
Telaga Remis dan Telaga Nilem, ikan ini disebut dengan nama
Ikan Kancra.
Demikianlah mitos yang melegenda di masyarakat tentang
Ikan Batak yang secara alami ternyata mampu melestarikan jenis ikan ini dari kepunahannya.
Sebagai Ikan Komersial
Ikan Batak yang disebut
Ikan Jurung, selain sebagai
penganan dalam prosesi adat oleh masyarakat Batak, juga dikonsumsi
sebagai makanan biasa. Di daerah Bahorok – Sumatra utara,
Ikan Batak
adalah sebagai ikan sajian di restoran atau warung makan yang disajikan
berupa ikan steam yang satu porsinya ukuran 1 ons seharga Rp 20.000.
Harga
Ikan Batak yang berukuran sekitar 1 kg di Bahorok adalah
sekitar Rp 200.000. Bukan hanya di daerah Bahorok, tetapi di kota Medan
relativ banyak restoran yang menyajikan menu dari
Ikan Batak.
Kalau di Tanah Batak khususnya bahwa
Ikan Batak sebagai ikan
konsumsi sementara banyak pula kawasan menganggapnya sebagai ikan
keramat dan mempercayai bahwa yang memakannya akan mendapat sakit,
bahkan musibah yang membawa kematian, tentu sangat jauh dari logika akal
sehat, namun cerita yang dimitoskan ini memang diakui efektif untuk
melestarikannya.
Yang menjadi pertanyaan besar bahwa ikan ini terpromosikan secara
berlebihan sehingga ada yang memanfaatkannya menjadi komoditi yang
sangat mahal harganya. Kalau di Tanah Batak harganya dapat mencapai Rp
200.000 – Rp 350.000 untuk ukuran minimal 1 kg, maka di Bogor yang sudah
mengembang biakkannya berharga sampai mencapai Rp 1.000.000 per ekor
untuk ukuran 1 kg. Luar biasa…. Tendensi mahalnya ikan ini justru akan
memotivasi masyarakat untuk mengambil
Ikan Batak ini secara tak terkendali. Mudah-mudahan tidak terjadi.
Sebenarnya sebaran habitat
Ikan Batak sangat meluas dan masih banyak ditemukan dikawasan Asia Tenggara. Seluruh daerah di Pulau Sumatra masih ditemukan jenis
Ikan Batak dari
genus tor
ini. Bahkan sebaran ini terdapat pula di Pulau Jawa dan Kalimantan.
Jadi anggapan bahwa ikan ini menuju kepunahannya tidaklah sepenuhnya
dapat dibenarkan. Para penangkar di Pulau Jawa sudah banyak yang
mengembangkannya dan bahkan instansi perikanan sudah
mengembangbiakkannya dengan sangat gampang.
Kalau di Sumatera Utara, khususnya Tanah Batak memang sudah berkurang
pasokannya karena kepedulian masyarakat yang masih rendah memperlakukan
alam sebagai lingkungan ekosistim yang perlu dijaga. Banyak masyarakat
Batak yang tidak terusik dengan mitos sehingga mereka menangkap
Ikan Batak (ikan Jurung)
ini dengan setrum listrik, bahkan dengan penaburan racun sehingga
tentusaja perkembangannya terhambat dan memang sudah menuju kepunahan di
daerah itu.
Salah Kaprah

Jenis Ikan Batak genus Tor (Ikan Jurung), bukan Ihan
Ikan Batak
yang dikenal secara umum di Indonesia adalah dari
genus Tor, yang di Tanah Batak dikenal dengan
Dekke Jurung-jurung (Ikan Jurung). Memang benar
Ikan Jurung ini dinamai
Ikan Batak, namun
Ikan Batak yang disebut sebagai
Ihan adalah ikan asli Batak yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari
genus Neolissochilus.
Ikan Batak yang secara umum di Indonesia memiliki nama-nama
lain di setiap daerah seperti: Ikan Jurung (Sumatra Utara), Ikan Kerling
(Aceh), Iken Pedih (Gayo), Ikan Gariang (Padang), Ikan Semah
(Palembang), Ikan dewa (Jawa Barat), Ikan Kancra bodas, Kencara
(Kuningan Jawa Barat), Ikan Tambra, Tombro (Jawa), Ikan Kelah, Ikan
Sultan (Malaysia), Ikan Mahseer (Internasional), dan mungkin masih
banyak nama lainnya.
Secara morfology memang sulit untuk membedakan antara
genus Tor dan
genus Neolissochilus, bahkan boleh dikata ada kemiripan bentuk dengan jenis ikan mas kecuali ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan mas
(Cyprinus Carpio) yang memang dari keluarga yang sama yaitu
family Cyprinidae. Kemiripan inilah yang membuat orang-orang lantas menamakan
Ikan Jurung sebagai
Ikan Batak, padahal
Ikan Batak Asli adalah yang disebut
Ihan adalah dari
genus Neolissochilus yang sudah menuju kepunahan, dan salah satu spesiesnya
Neolissochilus thienemanni, Ahl 1933 adalah ikan endemik Danau Toba dan umumnya di Tanah Batak.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini diuraikan taxonomi Ihan (Ikan Batak
Asli) yang masuk dalam status The Red List of Threatened Species oleh
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources):
IHAN:
Taxonomy:
- Kingdom: Animata
- Phylum: Chordata
- Class: Actinopterygii
- Order: Cypriniformes
- Family: Cyprinidae
- Scientific Name: Neolissochilus thienemanni
- Species Authority: (Ahl, 1933)
1. Assesment Information:
- Red List Category & Criteria: Vulnerable D2 ver2.3
- Years Assessed: 1996
- Annotation: Need updating
- Assessor/s: World Conservation Monitoring Center
2. Geographic Range
- Range Description: Endemic to Lake Toba in Sumatera
- Countries: Natives: Indonesia (Sumatera)
3. Habitat & Ecology
IUCN Red List Status (Ref. 57073) (
IUCN 2006 2006 IUCN red list of threatened species.
www.iucnredlist.org.)
Dari
genus Neolissochilus yang terdapat di Indonesia ada dua spesies yaitu
species Neolissochilus Sumatranus,
yang terdiri dari tiga sub-spesies yaitu Lissochilus sumatranus, Weber
& de Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus, Datta &
Karmakar, 1984; Neolissochilus sumatranus, Doi, 1997. Spesies lain
adalah species Neolissochilus thienemanni, Doi, 1997 dengan sub-species
Lissochilus thienemanni, Ahl, 1933.
Untuk lebih memahami perbedaan
Ikan Batak yang diartikan secara umum dan
Ikan Batak Asli yang dikenal oleh orang Batak sebagai
Ihan, berikut ini diuraikan taxonomy masing-masing:
Taxonomy Ikan Jurung (
Ikan Batak = Ikan Dewa), terdapat 24 spesies yang baru tercatat:
- Kingdom: Animalia
- Phylum: Chordata
- Subphylum: Vertebrata
- Superclass: Osteichthyes
- Class: Actinopterygii
- Subclass: Neopterygii
- Infraclass: Teleostei
- Superorder: Ostariophysi
- Order: Cypriniformes
- Superfamily: Cyprinoidea
- Family: Cyprinidae
- Subfamily: Cyprininae
- Genus: Tor Gray, 1834
Species:
- Tor ater, Roberts, 1999
- Tor barakae, Arunkumar & Basudha, 2003 , Barakae mahseer
- Tor douronensis, Valenciennes, 1842, khela mahseer or river carp
- Tor hemispinus, Chen & Chu, 1985
- Tor kulkarnii, Menon, 1992, Dwarf mahseer , uncertain only one specimen found till now
- Tor khudree, Sykes, 1839, Deccan mahseer
- Tor laterivittatus, Zhou & Cui, 1996
- Tor macrolepis, Heckel, 1838, uncertain species
- Tor polylepis, Zhou & Cui, 1996
- Tor progeneius, McClelland, 1839, Jungha mahseer
- Tor qiaojiensis, Wu, 1977
- Tor malabaricus, Jerdon, 1849, Malabar mahseer
- Tor mosal, Hamilton, 1822, Mosal Mahseer; Tor mosal mahanadicus, (closer to Tor putitora)
- Tor mussullah, Sykes, 1839, High-backed mahseer, Hump-backed mahseer or Southern mahseer
- Tor putitora, Hamilton, 1822, Himalayan mahseer or Golden mahseer
- Tor sinensis, Wu, 1977, Chinese mahseer
- Tor soro, Valenciennes, 1842
- Tor tambra, Valenciennes, 1842
- Tor tambroides, Bleeker, 1854, Thai mahseer
- Tor tor, Hamilton, 1822, Red-finned mahseer, Short-gilled mahseer or Deep-bodied mahseer
- Tor yingjiangensis, Chen & Yang, 2004
- Tor yunnanensis, Wang, Zhuang & Gao, 1982
- Tor remadevi, NATP report, 2004 uncertain – only one specimen found
- Tor moyarensis, NATP report, 2004 uncertain – only one specimen found
Taxonomy
Ihan (Ikan Batak Asli), terdapat sekitar 24 spesies:
- Family: Cyprinidae
- Sub family: Cyprininae
- Genus: Neolissochilus
Species:
- Neolissochilus baoshanensis (Chen & Yang 1999)
- Neolissochilus benasi (Pellegrin & Chevey, 1936)
- Neolissochilus blanci (Pellegrin & Fang, 1940): Puntius
blanci; Barbus blanci Pellegrin & Fang, 1940; Labeobarbus blanci
Pellegrin & Fang, 1940
- Neolissochilus blythii (Day, 1870): Puntius blythii; Barbodes blythii Day, 1870; Barbus blythii Day, 1870
- Neolissochilus compressus (Day, 1870): Puntius compressus; Barbodes compressus Day, 1870; Barbus compressus Day, 1870
- Neolissochilus dukai (Day, 1878): Puntius dukai; Barbus dukai Day, 1878; Neolissochilus dukai Doi, 1997
- Neolissochilus hendersoni (Herre, 1940): Lissochilus hendersoni Herre, 1940
- Neolissochilus heterostomus (Chen & Yang 1999)
- Neolissochilus hexagonolepis (McClelland, 1839): Puntius
hexagonolepis; (synonym); Barbus hexagonolepis McClelland, 1839;
Acrossocheilus hexagonolepis Shrestha, 1978; Barbodes hexagonolepis Chu
& Cui, 1989; Neolissochilus hexagonolepis Talwar & Jhingran,
1991; Barbus hexagonlepis Zhang et al., 1995
- Neolissochilus hexastichus (McClelland, 1839)
- Neolissochilus innominatus (Day, 1870): Puntius innominatus; Barboides innominatus Day, 1870; Barbus innominatus Day, 1870
- Neolissochilus longipinnis (Weber & de Beaufort, 1916): Labeobarbus longipinnis Weber & de Beaufort, 1916
- Neolissochilus nigrovittatus (Boulenger, 1893): Puntius nigrovittatus; Barbus nigrovittatus Boulenger, 1893
- Neolissochilus paucisquamatus (Smith, 1945): Barbus paucisquamatus; Puntius paucisquamatus Smith, 1945
- Neolissochilus soroides (Duncker, 1904): Puntius soroides; Barbus soroides Duncker, 1904
- Neolissochilus spinulosus (McClelland, 1845): Puntius spinulosus; Barbus spinulosus McClelland, 1845
- Neolissochilus stevensonii (Talwar & Jhingran, 1991): Puntius stevensonii; Barbodes stevensonii Day, 1870; Barbus stevensonii Day, 1870
- Neolissochilus stracheyi (Day, 1871): Puntius stracheyi; Barbus stracheyi Day, 1871; Neolissochilus stracheyi Talwar & Jhingran, 1991
- Neolissochilus subterraneus Vidthayanon & Kottelat, 2003
- Neolissochilus sumatranus Doi, 1997: Lissochilus sumatranus
Weber & de Beaufort, 1916; Acrossocheilus sumatranus Datta &
Karmakar, 1984; Neolissochilus sumatranus Doi, 1997
- Neolissochilus thienemanni (Ahl, 1933): Lissochilus thienemanni Ahl, 1933
- Neolissochilus tweediei (Herre and Myers, 1937): Lissochilus tweediei Myers, 1937
- Neolissochilus vittatus (Smith, 1945): Acrossochilus vittatus Smith, 1945
- Neolissochilus wynaadensis Talwar & Jhingran, 1991: Puntius wynaadensis; Barboides wynaadensis Day, 1873; Barbus wynaadensis Day, 1873.
Demikianlah bahwa ada perbedaan pemahaman tentang Ikan Batak. Ikan
Jurung yang disebut sebagai Ikan Batak secara umum bukanlah Ikan Batak
yang disebut Ihan, walaupun memang sama-sama sebagai Ikan Batak. Kalau
Ikan Batak yang disebut Ihan (Neolissoichus Thienemanni) memang sudah
tak kelihatan lagi dan mungkin sudah punah. Kalau jenis ikan langka ini
ada ditemukan oleh masyarakat Batak khususnya di Danau Toba sebagai ikan
endemic di ekologi aslinya, maka dihimbau untuk menyerahkannya kepada
para ahlinya agar berkesempatan untuk diselamatkan.
Baru-baru ini di bulan Nopember 2009, Tim peneliti dari Balai Riset
Perairan Umum (BRPU) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik
Indonesia berhasil menemukan 4 (empat) spesies ikan dari
genus Tor (Ikan Batak = Ikan Jurung)
di Danau Laut Tawar Takengon Aceh Tengah. Penemuan ini sangat
menggembirakan karena di Danau Laut Tawar itu menjadi habitat terbanyak
spesies ini, dimana sebelumnya di Jawa Barat hanya terdapat 3 spesies
dari
genus Tor ini. Spesies yang ditemukan di Danau Laut Tawar ini adalah species Tor Douronensis, Tor Tambra, Tor Soro dan Tor Tambroides.
Yang lebih mengagumkan lagi bahwa di Danau Laut Tawar itu ditemukan pula
Ihan
dari species Neolissochilos Longipinnis. Ikan-ikan langka tersebut
diperoleh dari dua lokasi yaitu dari Kampung Lumut Kecamatan Linge dan
sebagian ikan dari Samarkilang Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah.
Mungkinkah
Ihan ini dibawa oleh orang Batak yang sudah
bermigrasi sejak jaman dahulu di Aceh Tengah? Tentu semua berharap bahwa
jenis ikan khususnya Ihan yang ditemukan itu dapat diteliti lebih
lanjut untuk dikembangkan dan bila perlu dikembangkan pula di Danau Toba
sebagai habitat asli
Ihan.
(maridup hutauruk, jan2010).