Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Senin, 06 Mei 2013

Arsip Bakkara



 


Repeat : Pada tahun 1884, Pendeta Pilgram menyelamatkan setumpukan kertas-kertas tulisan tangan, Tulisan Batak, Bahasa Batak, yang merupakan Arsip dari Singamangaradja XI. Selanjutnya disebutkan “Arsip Bakkara”. Lewat Collection Joustra jatuh kedalam Collection Poortman di Voorburg Holland.

Arsip Bakkara terdiri atas kertas ukuran foolscap. Dari watermark kelihatan : Bikinan Italia. Import lewat Atjeh. Ditulisi loose leaf, kemudian dijilid. Masing-masing jilid 5 centimeter tebalnya. Totalnya 23 jilid dan satu setengah meter tebalnya !! Setiap jilid diperkuat dengan cotton serta kulit kerbau. Sangat kuat. Pulpit dimensions. Ink yang digunakan adalah Tinta Tiongkok, yang tahan lama dan tahan air. Pena yang digunakan bukanlah pena runcing, akan tetapi sangat mungkin adalah Kalam dari Pohon Aren.
Jilid 1 sampai dengan jilid 10 merupakan sesuatu “Book Of Kings” seperti : “Pararaton”, seperti : “Sejarah Banten”, seperti : “Sejarah Malayu”, seperti : “The Biblical Book Of Kings, dll. semacam itu.
Jilid 11 sampai dengan jilid 23 merupakan annals (buku-buku tahunan) perihal Pemerintahan Singamangaradja XI di Bakkara Toba. Seperti : Annals dari Kaisar Tiongkok, seperti “Daghreghister VOC”. Setiap hari ditulisi. Tidak dijilid sekali setahun, akan tetapi : Dijilid kalau sudah 5 centimeter tebalnya. Karena itu, Arsip Bakkara kelihatannya sangat rapi, seperti Encyclopedia, setiap jilid kira-kira sama tebalnya.

Tidak diketahui entah siapa Authors dan Redactors dari Arsip Bakkara, di bawah pimpinan Singamangaradja XI. Quality dari mereka itu, tidak kalah kepada Prapanca ataupun kepada Tun Sri Lanang.
Jilid 1 sampai dengan jilid 3 adalah perihal pemerintahan dari Pagan Priest Kings Sori Mangaradja Dynasty selama 90 generations di Siandjur Sagala Limbong Mulana, dikaki Gunung Pusuk Buhit.
Jilid 1 mulai dengan “Ta Pa Da Na Da Na A A Sa Na” (Putri Tapi Donda Nauasa, Ibu Suri dari Suku Bangsa Batak. Diturunkan dari Banua Gindjang oleh Debata Muladjadi Nabolon.
Jilid 2 Mulai dengan mengecam orang-orang Batak Simalungun, yang melepaskan diri dari Sori Mangaradja Dynasty, dan mendirikan Keradjaan Nagur. Menyusul pula demikian orang-orang Batak Karo, yang mendirikan Keradjaan Haru Wampu. Sebaliknya sangat penting ditunjuk, bahwa orang-orang Mandailing, Angkola, dan Sipirok, tetap setia kepada Sori Mangaradja Dynasty di Siandjur Sagala Limbong Mulana
Jilid 3 tutup dengan sesuatu ceritera Black and White Magic, yang malahan lebih seru daripada ceritera perihal Mozes di dalam Bible, dimana tongkat berubah menjadi Ular. Yakni cerita classic Aerial Combat sebagai berikut. Radja Sori Mangaradja XC menerbangkan Losung (rice block). Chief Witch Doctor dari Marga Simanulang menerbangkan Andula (rice stamper), yang tinggi di Udara menerjang Flying Losung itu, jatuh ke tanah. Radja dari Marga Sinambela menerbangkan pedang, yang tinggi di Udara memotong putus Andalu itu. Cerita Aerial Combat dengan Magic Powers itu perlu, karena : Sori Mangaradja Dynasty yang bernama Marga Sagala, digulingkan oleh orang-orang Marga Simanulang (Manullang). Kemudian Chief Witch Doctor Pagan Priest King dari Marga Manullang digulingkan pula oleh Chief Witch Doctor dari Marga Sinambela, yang selaku Singamangaradja I Pagan Priest King, mendirikan Singamangaradja Dynasty.

Repeat : Conform dengan Demak Dynasty yang digulingkan oleh Djoko Tingkir Adiwidjojo Self Made Sultan Pandjang. Kemudian Djoko Tingkir Adiwidjojo disunglap pula oleh Penembahan Senopati, yang mendiri Mataram Dynasty. L’Histoire se repete. C’est toujours Ia memechose.

Jilid 4 sampai dengan jilid 7 mengenai pemerintahan dari 9 orang Pagan Priest Kings dari Singamangaradja Dynasty di Bakkara Toba. Sangat annoying membacanya !! Itu saja berkali-kali diulangi-ulangi. Terutama perihal Calamities Natural Forces seperti : Pecah Langit, Gempa Bumi dlsb., setiap kali lahir seorang calon Singamangaradja. Akan tetapi very interesting, bahwa katanya : Pada semua para Singamangaradja yang naik takta, ohne Ausnahme ada Pigmentation Mole di atas lidahnya. (Repeat : Terkecuali cuma Singamangaradja XI). Very interesting pula bahwa : Seorang Usurper calon Singamangaradja VI jatuh sambil mencabut Keris Pusaka Gadjah Dompak, yang menembus jantungnya.

Sultan Alaudin Mahammad Sjah Sultan Atjeh mengadakan Perjanjian Offensive Defensive, dengan Singamangaradja IX. Seorang Sultan yang ber-Agama Islam, mengadakan Hubungan Diplomacy dengan seorang Pagan Priest King. Singamangaradja IX melepaskan Pelabuhan Singkil serta Daerah Uti Kiri definitive untuk Atjeh, akan tetapi : Mendapat kembali bekas Pelabuhan Pansur serta Daerah Uti Kanan dengan ibukotanya Lipatkadjang,. Pelabuhan Barus merupakan Neutral Zone, dan tidak lagi dipertengkarkan. Simalungun diakui oleh Atjeh merupakan Sphere Of Interest dari Singamangaradja Government, akan tetapi : Karo merupakan Sphere Of Interest dari Atjeh.

Oleh Singamangaradja IX exiled ke Uti, his helf-brother Prince Gindoporang Sinambela. Tidak disebutkan, apa sebabnya. Sama sekali tidak disebutkan di dalam Arsip Bakkara, perihal Princess Gana Sinambela. Catatan : perihal Ibu dan Ayah dari Tuanku Rao, dapat diketahui dari Family Papers orang-orang Muslimin Marga Sinambela di Singkil. Guru-guru Agama Islam di Singkil, yang intermarried dengan dito dari Marga Pohan di Barus).

Jilid 7 tutup dengan tragic story The Iron Fisted Singamangaradja IX mencoba sepucuk bedil hadiah Sultan Atjeh. Dia menembak mati satu gajah akan tetapi : Dia hancur lebur di-injak-injak oleh gajah-gajah yang lain

Jilid 8 seluruhnya perihal Singamangaradja X serta perihal “Pidari”. Sangat tegang membacanya, karena ditulis oleh eyewitnesses. Sayang sekali, bahwa : Perihal Tuanku Lelo The Big Scoundrel sama sekali disebutkan, yang dijadikan Momok hanyalah :”Ta A Nga KA Ra A (Tuanku Rao). Katanya, Tuanku Rao dengan sesuatu cadeau memancing his Uncle Singamangaradja X datang dari Bakkara ke Butar. Disitu Tuanku Rao alias Si Pongkinangolngolan katanya membalas dendam, dan menyerang Singamangaradja X dari Bekajang. Yang benar dari cerita itu, hanyalah bahwa : Tuanku Rao tidak pernah kembali ke Bakkara. That’s all.

Jilid 9 mulai dengan “Mythos Si Pongkinangolngolan” = Mythos Kepala Terbang Toba Edition, in originalia. Tidak banyak berubah, masih tetap hingga ini hari ia circulation di dalam cerita lisan di Toba, sebagimana pula sebelum PD I dituliskan oleh Guru Arsenius Lumbantobing untuk Sutan Martua Radja.
Jilid 9 serta jilid 10 rupa-rupanya ditulis dibawah pengawasan Datu Amantagor Manullang. Sangat banyak disitu puji-pujian atas jasa dari Datu Amantogar Manullang, selama his One Man Regency di Bakkara. Akan tetapi : Jilid 10 tutup dengan pemberitahuan bahwa : Datu Amantagor Manullang mati dibunuh oleh “Orang yang tidak dikenal” di dataran tinggi Tele. Very suspect, bahwa : Jenazah dari Datu Amantagor Manullang tidak jadi masuk Magalithic Knuckle House di Bakkara, akan tetapi : Separoh jalan dipendam di Kampung Paranginan Humbang.

Di dalam jilid 10 disebutkan pula perihal orang-orang kulit putih (di dalam Bahasa Batak : “Si Bontar Mata”) yang memasuki Silindung, akan tetapi tidak lewat Bukit Sigompulon. Agama yang mereka bawa, katanya ditolak oleh orang-orang Batak. Tidak disebutkan kenapa.
Jilid 11 mulai dengan penobatan Singamangaradja XI di dalam usia hanyalah 10 tahun, akan tetapi sudah sangat bijaksana.

Jilid 11 sampai dengan jilid 23 yang terakhir, itulah yang very minutely merupakan Annals dari Pemerintahan Ompu Sohahuaon = Singamangaradja XI The Great. Kalimat-kalimatnya sangat exactly to the point. Sedikit pun tidak ada dongengan omong kosong. Segala-galanya tetap berikut Angka-angka Tahunan di dalam Tarich Ompu Sohahuaon = Tarich Singamangaradja XI. Sistem “Tarich Tahun Pemerintahan” dari seorang Radja, kini masih berlangsung di Djepang dimana Tarich Sjoowa adalah “Tarich Pemerintahan Kaisar Hirohito”. Sama pula dengan Sistim Rumawi umpamanya di dalam buku : “The Twelve Caesars” karangan Sueonius, dimana malahan ada 12 Tarich-tarich. Satu Tarich untuk setiap Kaisar Rumawi. Sedikit sulit, jika Para Tuan-tuan Kaisar sedang asyik main racun dan di dalam dua tahun ada sampai 4 kaisar.

Tahun 1 di dalam Tarich Singamangaradja XI sama dengan tahun 1830 di dalam Tarich Masehi. Ditetapkan oleh Resident Poortman via Tarich Hidjrah. Yakni : Dia membandingkan kejadian yang tersebut di dalam Arsip Bakkara berikut Angka-angka Tahunan Tarich Singamangaradja XI, dengan kejadian yang sama yang tersebut pula di dalam buku-buku Hikayat Perang Atjeh berikut Angka-angka Tahunan di dalam Tarich Hidjrah. Pandai Resident Poortman.

Jilid 23 tutup dengan tahun ke 37 dari Pemerintahan Singamangaradja XI, sama dengan tahun 1866 M.
Singamangaradja XI menyesuaikan permulaan tahun dengan permulaan dari “Tingki Ni Pangkuron” (musim memacul sawah. Artinya : Disesuaikan dengan permulaan dari Musim hujan, yang di Tanah Batak adalah Medio November. Untuk tanda diambil timbulnya “Bintang Na Pintu” (Orion Constellation) yang di tunggu-tunggu while observing lengkapnya “Bintang Hala”= Scorpio Constellation.

Permulaan Bulan penting gampang dihitung mulai naiknya bulan. Sehingga : Tula (malam terang Bulan Penuh), selamanya jatuh pada tanggal 15 sama seperti pada Tarich Hidjrah.
10 bulan yang pertama, tidak diberi nama akan tetapi quiet simple diberi nomor. Menjadi “Bulan Sapaha Sada” sampai dengan “Bulan Sapaha Sappulu”. Conform seperti “Ichi Gatsu” sampai dengan “Dju Gatsu” di dalam Tarich Djepang. Bulan Sebelas ada namanya, yakni : “Bulan Hala”=Scorpio Month. Bulan Duabelas pun ada namanya, yakni : “Bulan Hurung”=Bulan Tutup Tahun.

Batak Star Gazers mengetahui bahwa : Tarich Bulan dan Tarich Bintang berbeda 11 hari setiap tahun. Akibatnya : Permulaan dari Bulan Sapaha Sada yang begitu penting untuk mulai memacul sawah-sawah turut pula tergesar 11 hari dari timbulnya Bintang Na Pitu. Don’t worry !! Singamangaradja XI The Great sanggup mengatasi situation.

Sama saja seperti Paus Gregorius The Great, juga Singamangaradja XI The Great pun mengadakan Leap Years. That’s it !! yakni : Singamangaradja memerintahkan adanya satu extra month satu kali setiap 3 tahun. Menjadi “Bulan Nabadia” (Holy Month) berupa “Bulan Tigabelas”, diselipkan antara Bulan Hurung serta Bulan Sapaha Sada. Ausgeglichen !! Menjadi tepat lagi permulaan yahun dengan timbulnya Bintang Na Pitu, tepat lagi dengan permulaan musim hujan tepat lagi dengan permulaan musim memacul sawah.

Sebaliknya di Pulau Djawa semula begitu pula di waktu masih sepenuhnya dipakai Tarich Adji Saka berupa Tarich Bintang. Akan tetapi Sultan Agung Sutan Mataram, mengacau-balaukan Tarich Djawa dengan Tarich Bulan=Tanggal 1 Muharram, sama sekali tidak ada lagi correlation dengan permulaan musim hujan. Sedangkan untuk orang-orang Djawa permulaan musim memacul sawah sebenarnya lebih penting lagi daripada untuk orang-orang Batak. Dahulu sebelum ada Irrigation bikinan Belanda.

Jilid 11 dan jilid 12 sangat rusak. Rupa-rupanya terlalu lama ketinggalan di dalam rumah yang terbakar dan ditimpa hujan di Bakkara, sebelum rescued oleh Pendeta Pilgram. Karena itu, tidak diketahui pendapat dari Singamangaradja Government perihal pembunuhan atas Pendeta Lyman serta Pendeta Munson oleh Radja Panggulamai di Lobupining.

Jilid 13 sampai dengan jilid 16 mengenai Periode Pembangunan Ibukota Bakkara serta Daerah Toba, di dalam periode 1835 – 1846. Dibandingkan kepada situation sebelum “Ringki Ni Pidari” 1818 – 1820, penduduk sudah berkurang separuh, akan tetapi : taraf kemakmuran malahan sudah lebih dari double. Hewan-hewan diperternakkan kembali dengan stock dari Pulau Samosir. Tanah-tanah pertanian yang dirusak oleh “Pidari” dengan parit-parit pertahanan, dioleh kembali. Tanah pertanian yang tinggal kosong karena orang-orang Marga Lubis serta orang-orang Marga Siregar Toba sudah decimated, jatuh kepada mereka punya “Boru”= their sons-in-law, yakni : Orang-orang Sihubil Branch serta orang-orang Somanimbil Branch dari Sibagot Ni Pohan Clan Group. Bekas kampung “Huta Na Pang” dimana Radja Mandangar Lubis begitu gagah perkasa bertahan terhadap Cavalry Tuanku Lelo, menjadi kampung “Sianipar” yang sekarang ini. Kampung-kampung yang permulaan abad ke-XX kelihatan begitu rapih bulat dikelilingi bambu duri di Toba, semuanya didirikan di dalam periode 1835 – 1846 itu. Fakta itu digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “kampung vorming”=”happung bornging” di dalam Bahasa Batak, untuk menentukan kedudukan para Kepala Negeri.

Di dalam jilid 14 disebutkan pula bahwa : Singamangaradja XI di dalam usia 24 tahun pergi ke Atjeh, untuk mengikuti pendidikan Militair di Indrapuri selama 2 tahun, bersama Prince Ali Muhammad Sjah Tengku Mahkota Kesultanan Atjeh. Pertama kali pula disebutkan nama dari Teku Nangta Sati (Ayah dari Tjut Nja Din dan Mertua dari Teku Umar), yang ikut ke Bakkara bersama Singamangaradja XI selaku Chief Atjeh Military Mission yang pertama, selama Singamangaradja XI ada di Luar Negeri. Pemerintah di Bakkara dipegang oleh Panglima Panibal Simorangkir, Putra dari Panglima Djomba Simorangkir yang hingga nafas yang penghabisan begitu setia mendampingi Singamangaradja X.

Di dalam jilid 16 dicatat bahwa : Lahir Prince Parobatu, Putra dari Singamangaradja XI, di dalam Tahun ke-16 dari Pemerintahan Ompu Sohahuaob 1845. Singamangaradja XI hanyalah satu orang Putranya. Prince Parobatu adalah the future Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia, hidup : 1845 – 1907, memerintah : 1867 – 1907.

Di dalam jilid 17 disebutkan : “Si Djunghun” serta “Si Pandortuk”, yakni : Dr. Junghuln serta Dr. van der Tuuk, yang datang mengunjungi Singamangaradja XI. Akibatnya : Dari Singamangaradja XI ada photo yang dibikin pada tahun 1847, sedangkan dari Singamangaradja XII sama sekali tidah ada photo. Duduknya sebagai berikut :
Dr. Junghuhn adalah Botanist (ahli tumbuh-Tumbuhan), sama sekali bukan Pendeta ataupun Ahli Bahasa (Philologist, seperti lazim di sangka oleh Orang-orang Toba dan Silindung. Dia pada tahun 1846 pergi ke Humbang untuk Survey Pananaman Kina. Ledger seorang Australia, berhasil mencuri Bibit Kina dari America Selatan. Oleh Ledger, Bibit Kina itu dijual kepada Pemerintah Hindia Belanda karena : Di Kepulauan Indonesia memang banyak penyakit malaria.
Dari Ledger diperoleh Information, bahwa : Dia mencuri Bibit Kina itu dari Peru Bolivia, daerah yang dekat ke Aequator, 1.200 meter tingginya diatas niveau laut, dan disitu continue ada angin keras. Di Australia di tepi laut, Ledger tentulah tidak success mau menjadi kaya raya dengan merebut Kina Monopoly. Untungnya bahwa Bibit Kina curian itu di Austrakia tidak mati walaupun hanyalah vegetating.
Daerah seperti disebutkan oleh Ledger di Indonesia ada dua. Yakni : Yang paling mirip adalah Daerah Humbang di Tanah Batak Utara, serta runner-up adalah Daerah Pengalengan di Djawa Barat. Perihal daerah Humbang, pihak Belanda sedikit-sedikit sudah mengerti dari pihak Inggris, yakni : Dari report oleh Holloway serta Miller yang pada tahun 1772 disitu mengadakan Survey Kemenjan. Pimpinan Kebun Raya di Bogor, mengutus Herr Doctor Junghuhn pergi fact finding Kina Survey ke Humbang di Tanah Batak Utara, yang orang Belanda sendiri satu pun tidak ada yang berani mendekati. Takut cannibals yang katanya sudah mulai di Lobupining. Orang Batak Makan Orang. Siapa berani mendekat.
Herr Doctor Junghuhn masih muda remaja, baru tammat di Unversitas Leipzig Djerman, berani saja auf Abenteuer !! Tanpa satu butirpun tahu Bahasa Batak, Junghuhn dari Teluk Siboga memasuki Tanah Batak Utara. Dia punya Suara Tenor. Junghuhn segera mengikuti menyanyi-nyanyikan lagu Batak “Si Tara Tullo”, walaupun dia tidak mengerti lyrics dari lagu-lagu yang merdu itu !! Junghuhn selaku Mahasiswa di Djerman, adalah Champion Bier Contest. Junghuhn membanting semua orang Batak di dalam Tuwak Contest, mulai dari Siboga Djulu. Der Meister Singer Herr Doctor Junghuhn sudah banyak repertoire lagu-lagu Batak, pada waktu dia 3 hari kemudiaan memasuki kampung Lobupining, dimana Pendeta Lyman serta Pendeta Munson 23 tahun sebelumnya, ermordet und aufgegessen. After some community singing di Lobupining, Herr Doctor Junghuhn menentang The Formidable Radja Panggulamai, to come out di dalam Tuwak Contest !! seterusnya, Junghuhn di Tanah Batak Utara mendapat escorte dari Radja Panggulamai. Memang jagoan itu orang Djerman !!

Herr Doctor Junghuhn punya hobby photography. Masih dengan alat-potret dibikin dari kayu dan sebesar peti sabun, films belum invented. Junghuhn menggunakan Glass Collodium Negatives, yang harus dia bikin sendiri di tempat, karena : Harus dipakai di dalam waktu setengah jam setelah selesai dibikin. Junghuhn memasuki Tanah Batak Utara sampai 1.400 metra di atas niveau laut, dengan membawa his big wooden photography apparatus, serta legio botol-botol untuk membikin Glass Collodium Negatives untuk mana perlu aneka warna Chemicals. Betul-betul Djerman punya macam.

Di Butar, Junghuhn ketemu dengan Singamangaradja XI yang kebetulan sekali tournee disitu. After some community singing pula, Junghuhn di-tracter oleh Singamangaradja XI dengan berbecue roastedpig. Setelah kenyang makan berbecued pig serta minum Tuwak. Junghuhn mendudukkan Singamangaradja XI selama 2 jam dijemur dipanas matahari. What for ?? To take his picture. Dengan wooden photographic apparatus, as big as a soap box. Grundlich Deutsch, oleh Herr Doctor Junghuhn atas glass negative itu dicoret dengan jarum : Der Konig der Batta’s”. Negative itu di antara ratusan, hampir satu abad kemudian diketemukan oleh Resident Poortman di dalam cellar dari perpustakaan Universitas Leipzig. Di atas meja tulis dari Resident Poortman di Voorburg Holland pada tahun 1937, ada photo dari Singamangaradja XI. Ein Unicum.

Si Pandortuk adalah Tamu Agung orang kulit putih yang satu-satunya pernah menginap di Bakkara Toba. Dr. van der tuuk menyampaikan kirim salam kepada Singamangaradja XI dari his 7 years older brother Prince Lambung Sinambela di Rontjitan Sipirok. That’s how.

Di dalam jilid 21 disebutkan kunjungan dari Singamangaradja XI pada tahun 1865, kepada Pendeta Nommensen di Huta Damai. Untuk menagih cukai, berupa Njonjah Kulit Putih. Memang Hak Radja !!

Di dalam jilid 23 disebutkan bahwa : Di dalam Tahun Pemerintahan Yang ke-36 dari Ompu Sohahuaon (Singamangaradja XI), di Tanah Batak Utara mengamuk lagi Begu Atturk (Plague Epidemics), serta Begu Arun (Cholera Epidemics).

Jilid 24 sayang sekali : Missing !! Sehingga tidak diketahui kapan wafat Singamangaradja XI dan kapan naik tahta Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia.

Catatan.
Menurut Sintua Johannes Nasution di Padangmatinggi Sipirok, katanya Singamangaradja XI wafat di dalam Cholera Epidemics, pada tahun 1867. Sintua Johannes Nasution pada tahun 1863 mengikuti Pendeta Nommensen dari Parausorat Sipirok ke Sait Ni Huta Silindung selaku pengawal bersenjata, dan ikut mendirikan Kampung Kristen yang pertama di Tanah Batak, yakni : Huta Damai

Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia, dua kali disebutkan di dalam Arsip Bakkara, dengan nama “Parobatu”. Pertama kali : Lahirnya disebut di dalam jilid 16. Kedua kali : di dalam jilid 23 disebutkan bahwa Prince Parobatu pun selama 2 tahun mengikuti Pendidikan Militair di Atjeh. (1864 – 1866).

Arsip Bakkara merupakan sumber yang paling kaya raya perihal fakta Sejarah Tanah Batak Utara, umumnya serta Ibukota Bakkara khususnya. Walaupun 1867 – 1884 tidak dilanjutkan oleh Singamangaradja selaku Pagan Priest King di Bakkara Toba. Di dalam gerilya 1884 – 1907. Singamangaradja XII Pahlawan Nasional Indonesia tentulah tidak sempat meneruskan Arsip Bakkara.

Kedalam ini serba sedikit dapat dimuat perihal Arsip Bakkara, karena Good insight dari Pendeta Pilgram serta Resident Poortman !! Thanks a lot.
Amir Husin Daulay

Kontroversi Sejarah sebagai Inspirasi Peradaban
J SUMARDIANTA
Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia perihal toleransi dan kebebasan. Aforisma Francois Caron, Guru Besar Sejarah Universitas Sorbone, Paris, Perancis, ini kiranya sangat tepat buat merangkum seluruh kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang dipublikasikan pertama kali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan ini memang memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.
Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos, imajinasi, dan folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin oleh Sutan Martua Raja—ayah Mangaradja Onggang Parlindungan. Sutan Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan kurus referensi.
Berbagai tarikh, buku Tuanku Rao, mudah longsor, karena dibangun di atas argumentasi rapuh. Kontroversi menyengat karena Parlindungan sangat subyektif soal mazhab Hambali dan heroisme Batak. Ia tidak bisa mengambil jarak dengan problem yang dikaji. Tak ayal, buku ini tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku ini memberikan fakta mental berharga tentang dinamika sejarah lokal umat Islam di Sumatera Utara.
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots. Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.
Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud, Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau: Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati. Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia Belanda dipandang sebagai mitra strategis kerajaan Arab Saudi.
Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada Kolonel Haji Piobang. Dia bekas perwira kavaleri Yanitsar Turki di bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang, bala tentara Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi Tuanku Lelo, pahlawan Paderi yang gagah perkasa, tak lain nenek moyang Onggang Parlindungan.
Tingki Ni Pidari
Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba.
Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan, pasukan Paderi memancung kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja, tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak Singamangaraja X.
Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. Na Ngol-ngolan, dalam bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan abad ke-19) baru kembali dari Mekkah. Mereka, yang sedang mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke Mandailing, mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh.
Tuanku Nan Renceh, mubalig besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia terkesima mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan. Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan, dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi "kesimaharajalelaan" untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.
Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Sebanyak 5.000 anggota pasukan berkuda dan 6.000 anggota pasukan infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi. Semua penduduknya dibantai tanpa sisa.
Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran kekejaman (atrocities). Kekejaman sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan penaklukan. Satu per satu wilayah Mandailing pun ditaklukkan pasukan Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.
Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan disebut "Tingki Ni Pidari"—malapetaka besar zaman Paderi. Teror "Tingki Ni Pidari" adalah neraka paling jahanam dalam sejarah etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi. Banyak memangsa korban jiwa, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.
Kebajikan masa lampau
Pada 1974 Prof Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao". Buku itu berisi sanggahan-sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut Buya HAMKA, Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang. Menarik bahwa sebagai ulama besar, Buya HAMKA pun saat menanggapi Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme. HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA kampungan.
Kendati emosional, perdebatan antara ulama dan tentara itu tidak menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969 mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis. Apalagi mereka berdua dibesarkan pada zaman Belanda. Muara pendidikan pada zaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati secara ideologis berseberangan, HAMKA dan Parlindungan karib yang acap berangkat shalat Jumat di Masjid Al-Azhar secara bersama-sama.
Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban. Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemik Parlindungan dengan HAMKA. Ditarik agak ke belakang, pada zaman kolonial, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang properadaban Barat pernah berdebat dengan Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya Timur. STA ingin membersihkan anasir mitos dan takhayul (penghambat kemajuan) yang bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane menganggap STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai indigeneus people (kearifan lokal). Di kemudian hari STA benar: bangsa Indonesia maju karena berkiblat ke Barat.
Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara Soedjatmoko dan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra, tidak sependapat. Menurut dia, majalahnya karya sastra karena terputusnya kehidupan sastrawan dengan rakyat.
Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padam sejak Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang secuil pun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun ke partai, terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian, dan menjadi konsultan kapitalis. Perdebatan HAMKA dengan Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka terasa kasar pada zaman sekarang akibat virus eufemisme yang disebarkan Orde Baru.
Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, mantan perwira Angkatan Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda dan Zurich Swiss. Parlindungan intelektual jujur. Kendati Parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian remuk redam di kalangan masyarakat Batak.
Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara, masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)—bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya, Onggang Parlindungan mengampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.

Sumber:J Sumardianta - Yogyakarta

1 komentar:

  1. Tolong cara penulisanmu diperbaiki. Semak kali bacanya. Kyk anak TK nulis, pdhl bahasannya bagus.

    BalasHapus