Naskah Melayu
yang sampai sekarang dianggap naskah
Melayu tertua adalah
dua
surat berhuruf jawi
bertanggal tahun 1521 dan 1522M
yang ditulis oleh
sultan Abu Hayat dari Ternate kepada raja Portugal.
Kedua sur at tersebut hanya dapat bertahan selama hampir lima ratus tahun karena disimpan
dalam arsip nasional
Portugal di Lisabon.
Di sana kedua naskah
tersebut disimpan secara
aman, jauh dari ancaman bencana
alam, dan hawa lembab dan panas yang
menjadi ciri khas
di Asia Tenggara. Bahan-bahan
organik sulit sekali untuk
bertahan lama di
kawasan Nusantara bukan saja
karena keadaan alam
dan cuaca yang kurang
mendukung, tetapi juga
karena mudah sekali
dimakan oleh hama
seperti rayap, atau menjadi
hancur akbibat berbagai fungi dan organisme mikro lainnya
yang ber-kembang subuh di daerah tropis.
Faktor yang tidak kalah
penting adalah faktor
manusia sendiri. Bukan sedikit
naskah yang dengan sengaja dihancurkan
karena isinya dianggaptidak
sesuai dengan ajaran Islam
atau agama Nasrani. Selama
perang Paderi berkobar
di Mandailing, ribuan naskah
Batak (pustaha) dihancurkan oleh
para militan Paderi.
Nasib pustaha Batak di
Toba tidak jauh
lebih baik karena sebagian
misionaris tidak lebih bijaksana daripada kaum Paderi.
Misionaris Meer waldt misalnya menulis bahwa pustaha Batak “sudah
saatnya untuk dibakar”
( Meerwaldt, 1922:295).
Selain itu banyak
naskah hancur karena perawatan
atau penanganan yang tidak sesuai, dan banyak naskah juga hilang karena dicur
i.
Tentu saja
para penulis naskah
di zaman dahulu sudah insyaf akan masalah pelestarian
naskah di iklim
tropis, dan naskah
yang dianggap penting disalin kembali. Dalam hal ini yang menyalin naskah sering mengubah
isi naskah, misalnya dengan
menambah sesuatu atau mengur angi
yang dianggap tidak penting.
Dengan demikian sebuah
salinan jarang sama dengan naskah aslinya.
Karena faktor-faktor yang disebut
di atas maka jar ang sekali dapat kita
temukan naskah Indonesia
yang ditulis sebelum abad
ke-17.
Kalau memang demikian mengapa naskah Tanjung Tanah dapat bertahan selama
hampir
tujuh ratus tahun di
sebuah kampung kecil di pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut
di atas, barang pusaka Kerinci selalu
disimpan di loteng
rumah, dan jarang sekali
diturunkan. Penyim-panannya juga tidak
sembarangan melainkan dilakukan
dengan sangat seksama. Semua barang
pusaka pada umumnya
dibalut dengan kain dan
disimpan di sebuah
peti kayu yang sangat
kokoh. Bila disimpan dengan cara
itu maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari yang bersifat
merusak.
Pusaka yang
dibalut kain dan disimpan dalam
peti juga terlindung dari perubahan suhu
secara mendadak yang juga bersifat merusak. Memang suhu di
sianghari menjadi
sangat panas di
loteng rumah, akan tetapi
suhu panas sendiri
sifatnya tidak begitu merusak
dibandingkan perubahan suhu yang
terjadi secara mendadak.
Faktor yang paling mendukung
dari segi pelestarian
ialah bahwa kelembaban udara
di loteng relatif rendah. Selama
atap tidak bocor
barang pusaka yang disimpan
di loteng dapat
saja bertahan untuk sangat lama. Selain itu keada-an alam
Kerinci juga mendukung.
Hawa di Kerinci sebetulnya tidak
patut disebut sebagai iklim tropis
karena letaknya Kerinci di pegu-nungan. Tanjung Tanah terletak 800m di
atas permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang hari sekitar
rata-rata 27 derajat
dan suhu terendah di
malam hari rata-rata
20 derajat. Dibandingkan dengan
daerah pesisir curah hujan juga lebih rendah.
Bila kita
tanya mengapa pusaka
disimpan di loteng maka jawabannya
karena lotenglah tempat yang
paling terhormat di
rumah, dan juga karena alasan
keamanan. Akan tetapi dapat kita duga
bahwa sebetulnya sudah
ada pengetahuan tentang tempat mana yang paling sesuai dari segi pelestarian.
Soalnya bukan di Kerinci saja pusaka
disimpan di loteng.
Hal yang sama juga dilaporkan di Sulawesi.
Kahlenberg menulis bahwa
Sulawesi yang ter letak di daerah katulistiwa memiliki iklim yang ter-buruk
untuk pelestarian kain pusaka. Akan tetapi
karena kain-kain itu
disimpan di loteng maka
kain itu r elatif aman
dari ancaman se-rangga,
tikus, dan kelembaban
tinggi. Sama dengan halnya pusaka
Kerinci, pusaka itu pun jarang diturunkan sehingga terlindung dari sinar
matahari, dan hanya dipamerkan pada acara
penguburan ketua adat
(Kahlenberg, 2003:86). Kain-kain
dari Sulawesi itu
sudah dianalisis secara
radiokarbon dan ter nyata beberapa di
antaranya ber asal dari
abad ke-13!
Kain dari
Sulawesi membuktikan bahwa barang
pusaka dapat bertahan
lama di iklim tropis
apabila disimpan dengan
cara yang tepat, dan hal itu
ternyata hanya terwujud bila cara penyimpananya sesuai dengan cara yang
tradisional, yaitu di
loteng, dan benda-benda pusaka hanya tersimpan dengan
aman apabila benda itu dianggap sakral dan dilindungi oleh adat setempat.
Masyarakat Kerinci sampai
sekarang masih teguh berpegangan pada
adat leluhur mereka dan benda-benda
pusaka dianggap memiliki nilai yang
luar biasa yang
dapat melindungi mer eka dar i
ancaman bahaya. Bila ada benda pusaka
yang hilang akibatnya bisa fatal bukan saja
untuk pemiliknya tetapi
untuk seluruh masyarakatnya. Oleh
sebab itulah maka sam-pai sekarang masih
banyak pusaka di Kerinci yang
selama berabad- abad tersimpan
dengan aman.
Selain faktor mendukung
yang sudah dise- but di atas masih ada faktor lain yang barang-
kali tidak
kalah penting. Naskah
Tanjung Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu itu dapat
bertahan lama asal
tidak dibubuhi kanji.
Kanji
kadang-kadang digunakan untuk memudahkan tinta
lengket pada kertasnya, akan tetapi kanji itu juga
menyebabkan bahwa naskah itu menjadi santapan enak bagi serang-ga. Jika
naskah daluang tidak
diolesi kanji maka naskah
itu memiliki sifat
pelestarian yang sangat mendukung
dan dapat ber tahan selama ratusan
tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar