Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Minggu, 22 Juli 2012

Sipongki Nangolngolan (Tuanku Rao)

VERSI HAMKA: TUANKU RAO ADALAH ORANG MINANG

 
Hamka sendiri membantah bahwa Tuanku Rao adalah orang Batak. Menurutnya, di Minangkabau sama sekali tidak dikenal cerita yang telah luas disiarkan di Toba bahwa Tuanku Rao adalah putera Batak, yang bernama Si Pongki Nangolngolan. Ia mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan dari Bakkara. Karena itu, Tuanku Rao adalah orang Minang, bukan orang Batak. J.B. Neumann menulis bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao dan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Ia sama sekali tidak menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri menulis pada tahun 1866, dengan mengambil sebagian sumber karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli apada tahun 1835 dan dianggap sebagai sumber tangan pertama. Selengkapnya, tulisan Hamka sendiri dalam menanggapi polemik tentang asal-usul Tuanku Rao telah dikutip secara utuh dan dapat dibaca di bawah ini:
Orang manakah Tuanku Rao?
Mohammad Said menulis dalam bukunya Singa Mangaraja XII, “Ada pun pemimpin perang yang telah memperhatikan benteng ‘Amerongan’ itu adalah Tuanku Rao sendiri, dalam hal ini dia dibantu dengan kerja sama kompak oleh Tuanku Tambusai.”
Dalam sumber lain sekali-kali tidak dikenal dan tidak diketahui apa yang di bagian wilayah Toba Batak telah meluas disiarkan bahwa Tuanku Rao ini adalah seorang putera suku Batak, atau Si Pongki Nangolngolan. Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Bukan orang Bakkara! Sebab itu beliau orang Minang. Bukan orang Batak. J.B. Neumann Kontelir B.B. yang menulis tentang ”Studies over Bataks en Batakschlanden,” pada halaman 51 ketika menyebut bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, disebutnya bahwa Tuanku Rao ini adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Sumber Neumann yang menulis di tahun 1866, sebagian mengambil sumber karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli dalam tahun 1835, tegasnya lima puluh tahun sebelumnya, yaitu masa peristiwa yang bersangkutan masih dalam tahun-tahun, di mana orang yang bercerita turut berada, dengan demikian boleh dikatakan sumber dari tangan pertama. Menurut suatu sumber memang benar bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri dari Yang Dipertuan Rao dan karena Yang Dipertuan bukan seorang penganut Wahabiah dan tidak begitu bersemangat untuk menentang agresi Belanda telah diambil-alih oleh menantunya, yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Rao itu” (Lihat Si Singamangaraja XII, Mohammad Said, hal 77-78).
Keterangan H. Asrul Sani
Karena ingin tahu dari orang Rao sendiri, gembiralah hati saya seketika seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Rao datang ziarah ke rumah saya. Saya langsung bertanya tentang Tuanku Rao. Apakah ada pengetahuannya tentang beliau.
Mahasiswa itu menjawab bahwa, sebagai seorang pemuda, masihlah kurang pengetahuannya, kalau maksud saya bertanya itu hendaknya mengadakan semacam riset. Tetapi dia menunjukan orang yang ahli dan berhak menjawab pertanyaan saya di sekitar Tuanku Rao. Orang itu kata pemuda itu ialah Drs. H. Asrul Sani (seniman dan sastrawan dan panyair yang terkenal). Dia adalah keturunan dari Yang Dipertuan Padang Nunang Rao, masih saudara dari pemangku gelar dan adat Yang Dipertuan yang sekarang.
Gembira hati saya mendengar keterangan itu. Sebab, Asrul Sani adalah sahabat yang saya hargai. Pada suatu waktu dapatlah saya pergi menemuinya, dan diterimanya saya di Taman Ismail Marzuki disaksikan pula oleh Penyair yang terkenal Taufiq Ismail. Dan saya mulailah pertanyaan tentang Tuanku Rao, dan bagaimana pendapatnya tentang Tuanku Rao seperti yang diceritakan oleh Parlindungan. Asrul Sani memberikan keterangan: “Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi sendiri, Rao Padang Nunang. Kaum keluarga dan suka-saka yang terdekat masih dapat dicari sekarang di sana. Jubah beliau masih tersimpan sebagai barang pusaka yang dipelihara baik-baik. Tetapi sayang sekali, kitab-kitab pusaka beliau sudah berserak-serak, karena tidak ada lagi anak-cucu yang sanggup memeliharanya.”
Kata Asrul Sani selanjutnya: ”Beliau meninggal sebagai syahid dalam pertempuran dengan Belanda, tetapi jenazahnya hilang di laut. Sampai sekarang masih ada sebuah gosong diberi orang nama Gosong Tuanku Rao. Parit-parit pertahanan yang dibangun beliau masih dapat dilihat bekasnya sampai sekarang, sebagai benteng Bukit Tajadi di Bonjol juga. Parit pertahanan itu telah saya persaksikan. Saya kagum, sebab mengarah-arah Maginotlinie di Prancis. Panglima yang diangkat Tuanku menjadi wakilnya menjaga parit itu bernama Panglima Ibrahim. Kata Asrul Sani selanjutnya: “Bagi kami di daerah Rao, yang lebih banyak diajarkan oleh guru-guru mengaji kami atau orang tua-tua kami ialah riwayat Perang Padri. Hikayat Cindur-Mato hanyalah yang kedua, dan tidak begitu mendalam kesannya di jiwa kami. Kalau Hikayat Perang Padri sangatlah berkesan.”
Ketika saya tanyai tentang pribadi Asrul Sani seorang bangsawan adat di Rao, keturunan yang Dipertuan, spontan Asrul menjawab: “Itu tidak perlu lagi dibanggakan sekarang!” Lalu saya tanyakan pula bagaimana tanggapannya tentang cerita orang bahwa Tuanku Rao itu adalah orang Batak, nama kecilnya Si Pongki Nangolngolan. Asrul Sani dengan sikapnya yang terkenal tenang itu menjawab bahwa timbulnya ceritera demikian dapat juga dimaklumi. Serangan besar-besaran Tuanku Rao ke tanah Toba sangatlah dahsyatnya dan perlawanan orang di sana pun hebat pula. Dan akhirnya Toba kalah, buat mengobat hati dikatakan sajalah bahwa yang mengalahkan mereka bukan orang lain, melainkan putera mereka sendiri. Dengan demikian terobat jugalah luka perasaan karena kekalahan.” Sekian Asrul Sani.
Mohammad Rajab dalam bukunya Perang Paderi menulis, “Daerah Rao banyak menanggung kerusakan, disebabkan oleh perang saudara, hanya di Padang Matinggi masih ada rumah-rumah yang bagus.
Tuanku Rao dibujuk oleh letnan van Bevervoosden supaya menyerah, tetapi ia mengatakan akan naik haji ke Mekkah dan tidak mau memerintah lagi. Raja Rao yang tadinya tinggal di belakang selama kaum Paderi berkuasa, muncul lagi dan dalam suatu rapat para pengulu dan rakyat, ia diangkat oleh pihak Belanda sebagai Regen Rao” (halaman 139). Kalau apa yang ditulis oleh M. Rajab ini dipertalikan dengan keterangan Mohammad Said, Tuanku Rao adalah orang Rao, bukan orang Batak. Teranglah bahwa pada mulanya beliau mengambil kekuasaan dari tangan mertuanya Yang Dipertuan Rao, tetapi setelah Rao kalah, Tuanku Rao menarik diri, mencari dalih mengatakan hendak berangkat ke Mekkah, dan kekuasaannya diserahkan Belanda kepada mertuanya kembali.
Penulis Putera Batak sendiri, Alm. Sanusi Pane tidak ada membayangkan sama sekali bahwa Tuanku Rao itu orang Batak. Malahan dianggapnya bahwa Tuanku Rao dengan Tuanku Tambusai adalah orang yang satu itu juga. Beliau menulis: “Sebagai telah diterjemahkan, Tuanku Tambusai telah beberapa lamanya mengembangkan kuasanya di Padang Lawas dan Angkola, Kota Nopan dan Mandailing pun pernah dikepungnya, tetapi tidak dapat direbutnya karena pembelaan orang Mandailing dan Belanda. Ke Sipirok dan daerah Toba pun datang juga ia melanggar.” (Sejarah Indonesia II, 106). Kemudian pada noot di bawah ditulisnya: “Dalam cerita-cerita Batak ia disebut Tuanku Rao. Yang datang melanggar itu disebut “orang Rao.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar