VERSI HAMKA: TUANKU RAO
ADALAH ORANG MINANG
Hamka sendiri
membantah bahwa Tuanku Rao adalah orang Batak. Menurutnya, di Minangkabau sama
sekali tidak dikenal cerita yang telah luas disiarkan di Toba bahwa Tuanku Rao
adalah putera Batak, yang bernama Si Pongki Nangolngolan. Ia mengatakan bahwa
Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan dari Bakkara. Karena itu, Tuanku
Rao adalah orang Minang, bukan orang Batak. J.B. Neumann menulis bahwa Tuanku
Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao dan bahwa Tuanku Rao berasal dari
Padang Matinggi. Ia sama sekali tidak menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Toba. Neumann sendiri menulis pada tahun 1866, dengan mengambil sebagian sumber
karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli apada tahun 1835
dan dianggap sebagai sumber tangan pertama. Selengkapnya, tulisan Hamka sendiri
dalam menanggapi polemik tentang asal-usul Tuanku Rao telah dikutip secara utuh
dan dapat dibaca di bawah ini:
Orang manakah
Tuanku Rao?
Mohammad Said
menulis dalam bukunya Singa Mangaraja XII, “Ada pun pemimpin perang yang
telah memperhatikan benteng ‘Amerongan’ itu adalah Tuanku Rao sendiri, dalam
hal ini dia dibantu dengan kerja sama kompak oleh Tuanku Tambusai.”
Dalam sumber
lain sekali-kali tidak dikenal dan tidak diketahui apa yang di bagian wilayah
Toba Batak telah meluas disiarkan bahwa Tuanku Rao ini adalah seorang putera
suku Batak, atau Si Pongki Nangolngolan. Tuanku Rao adalah orang Padang
Matinggi. Bukan orang Bakkara! Sebab itu beliau orang Minang. Bukan orang
Batak. J.B. Neumann Kontelir B.B. yang menulis tentang ”Studies over Bataks en
Batakschlanden,” pada halaman 51 ketika menyebut bahwa Tuanku Tambusai
bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, disebutnya bahwa Tuanku Rao ini adalah
berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari
Toba. Sumber Neumann yang menulis di tahun 1866, sebagian mengambil sumber
karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli dalam tahun 1835,
tegasnya lima puluh tahun sebelumnya, yaitu masa peristiwa yang bersangkutan
masih dalam tahun-tahun, di mana orang yang bercerita turut berada, dengan
demikian boleh dikatakan sumber dari tangan pertama. Menurut suatu sumber
memang benar bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri dari Yang Dipertuan Rao
dan karena Yang Dipertuan bukan seorang penganut Wahabiah dan tidak begitu
bersemangat untuk menentang agresi Belanda telah diambil-alih oleh menantunya,
yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Rao itu” (Lihat Si Singamangaraja XII,
Mohammad Said, hal 77-78).
Keterangan H.
Asrul Sani
Karena ingin
tahu dari orang Rao sendiri, gembiralah hati saya seketika seorang mahasiswa
Universitas Indonesia yang berasal dari Rao datang ziarah ke rumah saya. Saya
langsung bertanya tentang Tuanku Rao. Apakah ada pengetahuannya tentang beliau.
Mahasiswa itu
menjawab bahwa, sebagai seorang pemuda, masihlah kurang pengetahuannya, kalau
maksud saya bertanya itu hendaknya mengadakan semacam riset. Tetapi dia
menunjukan orang yang ahli dan berhak menjawab pertanyaan saya di sekitar
Tuanku Rao. Orang itu kata pemuda itu ialah Drs. H. Asrul Sani (seniman dan
sastrawan dan panyair yang terkenal). Dia adalah keturunan dari Yang Dipertuan
Padang Nunang Rao, masih saudara dari pemangku gelar dan adat Yang Dipertuan
yang sekarang.
Gembira hati
saya mendengar keterangan itu. Sebab, Asrul Sani adalah sahabat yang saya
hargai. Pada suatu waktu dapatlah saya pergi menemuinya, dan diterimanya saya
di Taman Ismail Marzuki disaksikan pula oleh Penyair yang terkenal Taufiq
Ismail. Dan saya mulailah pertanyaan tentang Tuanku Rao, dan bagaimana
pendapatnya tentang Tuanku Rao seperti yang diceritakan oleh
Parlindungan. Asrul Sani memberikan keterangan: “Tuanku Rao adalah orang Padang
Matinggi sendiri, Rao Padang Nunang. Kaum keluarga dan suka-saka yang terdekat
masih dapat dicari sekarang di sana. Jubah beliau masih tersimpan sebagai
barang pusaka yang dipelihara baik-baik. Tetapi sayang sekali, kitab-kitab
pusaka beliau sudah berserak-serak, karena tidak ada lagi anak-cucu yang
sanggup memeliharanya.”
Kata Asrul Sani
selanjutnya: ”Beliau meninggal sebagai syahid dalam pertempuran dengan Belanda,
tetapi jenazahnya hilang di laut. Sampai sekarang masih ada sebuah gosong
diberi orang nama Gosong Tuanku Rao. Parit-parit pertahanan yang dibangun beliau
masih dapat dilihat bekasnya sampai sekarang, sebagai benteng Bukit Tajadi di
Bonjol juga. Parit pertahanan itu telah saya persaksikan. Saya kagum, sebab
mengarah-arah Maginotlinie di Prancis. Panglima yang diangkat Tuanku menjadi
wakilnya menjaga parit itu bernama Panglima Ibrahim. Kata Asrul Sani
selanjutnya: “Bagi kami di daerah Rao, yang lebih banyak diajarkan oleh
guru-guru mengaji kami atau orang tua-tua kami ialah riwayat Perang Padri.
Hikayat Cindur-Mato hanyalah yang kedua, dan tidak begitu mendalam kesannya di
jiwa kami. Kalau Hikayat Perang Padri sangatlah berkesan.”
Ketika saya
tanyai tentang pribadi Asrul Sani seorang bangsawan adat di Rao, keturunan yang
Dipertuan, spontan Asrul menjawab: “Itu tidak perlu lagi dibanggakan sekarang!”
Lalu saya tanyakan pula bagaimana tanggapannya tentang cerita orang bahwa
Tuanku Rao itu adalah orang Batak, nama kecilnya Si Pongki Nangolngolan. Asrul
Sani dengan sikapnya yang terkenal tenang itu menjawab bahwa timbulnya ceritera
demikian dapat juga dimaklumi. Serangan besar-besaran Tuanku Rao ke tanah Toba
sangatlah dahsyatnya dan perlawanan orang di sana pun hebat pula. Dan akhirnya
Toba kalah, buat mengobat hati dikatakan sajalah bahwa yang mengalahkan mereka
bukan orang lain, melainkan putera mereka sendiri. Dengan demikian terobat
jugalah luka perasaan karena kekalahan.” Sekian Asrul Sani.
Mohammad Rajab
dalam bukunya Perang Paderi menulis, “Daerah Rao banyak menanggung
kerusakan, disebabkan oleh perang saudara, hanya di Padang Matinggi masih ada
rumah-rumah yang bagus.
Tuanku Rao
dibujuk oleh letnan van Bevervoosden supaya menyerah, tetapi ia mengatakan akan
naik haji ke Mekkah dan tidak mau memerintah lagi. Raja Rao yang tadinya
tinggal di belakang selama kaum Paderi berkuasa, muncul lagi dan dalam suatu
rapat para pengulu dan rakyat, ia diangkat oleh pihak Belanda sebagai Regen
Rao” (halaman 139). Kalau apa yang ditulis oleh M. Rajab ini dipertalikan
dengan keterangan Mohammad Said, Tuanku Rao adalah orang Rao, bukan orang
Batak. Teranglah bahwa pada mulanya beliau mengambil kekuasaan dari tangan
mertuanya Yang Dipertuan Rao, tetapi setelah Rao kalah, Tuanku Rao menarik
diri, mencari dalih mengatakan hendak berangkat ke Mekkah, dan kekuasaannya
diserahkan Belanda kepada mertuanya kembali.
Penulis Putera
Batak sendiri, Alm. Sanusi Pane tidak ada membayangkan sama sekali bahwa Tuanku
Rao itu orang Batak. Malahan dianggapnya bahwa Tuanku Rao dengan Tuanku
Tambusai adalah orang yang satu itu juga. Beliau menulis: “Sebagai telah
diterjemahkan, Tuanku Tambusai telah beberapa lamanya mengembangkan kuasanya di
Padang Lawas dan Angkola, Kota Nopan dan Mandailing pun pernah dikepungnya,
tetapi tidak dapat direbutnya karena pembelaan orang Mandailing dan Belanda. Ke
Sipirok dan daerah Toba pun datang juga ia melanggar.” (Sejarah Indonesia II,
106). Kemudian pada noot di bawah ditulisnya: “Dalam cerita-cerita Batak
ia disebut Tuanku Rao. Yang datang melanggar itu disebut “orang Rao.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar