Batak Punya Marga
Oleh: Maridup Hutauruk
“Ada beberapa kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai
sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias,
Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa
Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam
bahasan.”
Paragraph diatas dipetik dari bahasa
pembuka artikel yang tertulis dalam format pdf yang boleh anda klik untuk
mengetahui isinya yaitu tentang ‘Marga’ dalam komunitas Batak.
Sebenarnya kata marga dalam
kosa kata Batak diperkirakan muncul karena adanya interaksi dengan Bangsa Tamil
dari India Selatan, yaitu awal bermukimnya 1500 tentara Kerajaan Chola ke Tanah
Batak sebelum menyerang Sriwijaya di tahun 1025 M. Kerajaan Chola yang dimaksud
adalah kerajaan semasa pemerintahannya dipegang oleh Rajendra Chola-I yang
berkuasa tahun 1012 – 1044 M, dan Sriwijaya dibawah pemerintahan Wijaya
Tunggawarman.
Pembuktian adanya interaksi Bangsa
Tamil dan Bangsa Batak adalah berdasarkan peninggalan arkeologis stone
incription di Candi Portibi dimana skripsi yang diperkirakan ditulis di tahun
1208 telah diterjemahkan oleh Professor Nilakantisasri dari Kepurbakalaan
Madras. Pada saat mereka mendaratkan tentaranya di kawasan Barus, mereka sudah
menemukan kerajaan Batak bernama Pannai (Pane). Komunitas Batak sudah eksis dan
bukan berasal dari Melayu Sriwijaya.
Tetapi keanehan yang muncul di
sebagian komunitas Batak yang mengakui bahwa Bangsa Batak berasal dari
Sriwijaya sekitar tahun 1200-an? Inikan sebuah pendapat yang konyol dan
menyesatkan. Kalau kita mau membuka lembaran sejarah lebih kebelakang bahwa
Bangsa Batak adala Proto Melayu, sedang suku-suku Melayu lainnya adalah Deutro
Melayu, apakah lantas anaknya melahirkan bapaknya?
Apabila Bangsa Batak pada waktu itu
dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Siraja Batak (Oknum raja-raja Batak)
menjadi officer Kerajaan Sriwijaya adalah sangat wajar karena Kerajaan
Sriwijaya yang besar itu bukan saja menguasai Nusantara, bahkan Asia Tenggara,
tetapi bukan lantas orang Batak berasal dari Sriwijaya? Walau ada satu dua
kosa-kata yang sama, tetapi adat-istiadat yang jauh berbeda, serta memiliki
tulisan original yang mereka tidak miliki.
Interaksi bangsa India dari selatan
ini (Tamil) sebenarnya bukan yang pertama dilakukan semasa Rajendra Chola-I
ini, bahkan sekitar abad-2 dan -3 Sebelum Masehi sudah ada interaksi perdagangan
dengan Sumatra. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadi pula interaksi
sosial berupa perkawinan sehingga marga-marga Batak ada yang berkaitan
dengan India Selatan ini sebagai contoh Brahmana, Cholia, Pandia, dll. dan
termasuk mulai dari Barus, Pakpak, Tanah Karo, sebagai jalur darat menuju
Sriwijaya.
Apabila para pendatang dari India
selatan ini berinteraksi perkawinan dengan Bangsa Batak, sudah barang tentu
mereka mengikuti pula kultur yang ada di Tanah Batak, semisal mereka akan
dimargakan dengan embel tambahan identitas Tamil, lalu mereka diberikan hak
ulayat di Tanah Batak, kemudian beranak pinak di Tanah Batak menjadi komunitas
suku-suku Batak, lantas sekarang ini ada indikasi tidak mengakuinya sebagai
bagian dari Bangsa Batak. Apakah contoh sejarah kecil akan berulang seperti
Pasaribu yang hengkang dari Silindung yang kemudian jatuh ketangan menantunya
Naipospos yang kemudian setengahnya dianeksasi oleh Siopat Pusoran?
Walaupun sekarang ini kata marga
diartikan secara sangat sederhana hanya sebagai identitas kelompok, tetapi kata
marga sesungguhnya yang berasal dari bahasa Sanskerta diartikan sebagai ‘jalan
menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’.
Sekerang terserah kita untuk
mengartikan pengertian marga bagi Bangsa Batak; Apakah hanya sebagai
identitas kelompok saja? Atau sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh
jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’? Bagi penulis lebih condong
untuk mengartikan marga seperti pengertian yang mendalam tadi, dan oleh karena
itu artikel ini dijudulkan dengan Sakti Marga.
Arti Marga
Ada beberapa kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga
sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti
Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada
kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak
masuk dalam bahasan.
Dalam keagamaan di India seperti
agama Hindu, ada mengenal marga sebagai artikulasi ajaran. Dalam bahasa
sansekerta, marga diartikan sebagai jurus, jalur, jalan, untuk
mencapai keselamatan, yang diterapkan dalam bentuk Yoga seperti yang
disebutkan dalam kata Jnana Marga, Bhakti Marga, Raja Marga, Karma Marga,
atau sering juga disebut sebagai Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga, Karma
Yoga. Dalam agama Budha ada delapan tingkat marga sebagai doktrin
ajaran Budha yang dalam bahasa sanskerta disebut Astangika Marga, atau
dalam bahasa Pali disebut Atthangika Marga.
Definisi marga menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ada 4 definisi, dua diantaranya adalah yang cocok untuk
artikel bahasan:
2mar·ga
n Antr 1 kelompok kekerabatan yg eksogam dan unilinear, baik secara
matrilineal maupun patrilineal; 2 bagian daerah (sekumpulan dusun) yg
agak luas (di Sumatra Selatan);
– ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
– ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
4mar·ga
n Bio satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yg
mempersatukan jenis-jenis yg erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis
dng huruf kapital dan selalu tercantum dl nama jenis;
– khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
– khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
marga yg hanya mempunyai satu jenis.
Batak Punya Marga
Oleh: Maridup Hutauruk
“Ada beberapa kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai
sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias,
Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa
Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam
bahasan.”
Paragraph diatas dipetik dari bahasa
pembuka artikel yang tertulis dalam format pdf yang boleh anda klik untuk
mengetahui isinya yaitu tentang ‘Marga’ dalam komunitas Batak.
Sebenarnya kata marga dalam
kosa kata Batak diperkirakan muncul karena adanya interaksi dengan Bangsa Tamil
dari India Selatan, yaitu awal bermukimnya 1500 tentara Kerajaan Chola ke Tanah
Batak sebelum menyerang Sriwijaya di tahun 1025 M. Kerajaan Chola yang dimaksud
adalah kerajaan semasa pemerintahannya dipegang oleh Rajendra Chola-I yang
berkuasa tahun 1012 – 1044 M, dan Sriwijaya dibawah pemerintahan Wijaya
Tunggawarman.
Pembuktian adanya interaksi Bangsa
Tamil dan Bangsa Batak adalah berdasarkan peninggalan arkeologis stone
incription di Candi Portibi dimana skripsi yang diperkirakan ditulis di tahun
1208 telah diterjemahkan oleh Professor Nilakantisasri dari Kepurbakalaan
Madras. Pada saat mereka mendaratkan tentaranya di kawasan Barus, mereka sudah
menemukan kerajaan Batak bernama Pannai (Pane). Komunitas Batak sudah eksis dan
bukan berasal dari Melayu Sriwijaya.
Tetapi keanehan yang muncul di
sebagian komunitas Batak yang mengakui bahwa Bangsa Batak berasal dari
Sriwijaya sekitar tahun 1200-an? Inikan sebuah pendapat yang konyol dan
menyesatkan. Kalau kita mau membuka lembaran sejarah lebih kebelakang bahwa
Bangsa Batak adala Proto Melayu, sedang suku-suku Melayu lainnya adalah Deutro
Melayu, apakah lantas anaknya melahirkan bapaknya?
Apabila Bangsa Batak pada waktu itu
dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Siraja Batak (Oknum raja-raja Batak)
menjadi officer Kerajaan Sriwijaya adalah sangat wajar karena Kerajaan
Sriwijaya yang besar itu bukan saja menguasai Nusantara, bahkan Asia Tenggara,
tetapi bukan lantas orang Batak berasal dari Sriwijaya? Walau ada satu dua
kosa-kata yang sama, tetapi adat-istiadat yang jauh berbeda, serta memiliki
tulisan original yang mereka tidak miliki.
Interaksi bangsa India dari selatan
ini (Tamil) sebenarnya bukan yang pertama dilakukan semasa Rajendra Chola-I
ini, bahkan sekitar abad-2 dan -3 Sebelum Masehi sudah ada interaksi perdagangan
dengan Sumatra. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadi pula interaksi
sosial berupa perkawinan sehingga marga-marga Batak ada yang berkaitan
dengan India Selatan ini sebagai contoh Brahmana, Cholia, Pandia, dll. dan
termasuk mulai dari Barus, Pakpak, Tanah Karo, sebagai jalur darat menuju
Sriwijaya.
Apabila para pendatang dari India
selatan ini berinteraksi perkawinan dengan Bangsa Batak, sudah barang tentu
mereka mengikuti pula kultur yang ada di Tanah Batak, semisal mereka akan
dimargakan dengan embel tambahan identitas Tamil, lalu mereka diberikan hak
ulayat di Tanah Batak, kemudian beranak pinak di Tanah Batak menjadi komunitas
suku-suku Batak, lantas sekarang ini ada indikasi tidak mengakuinya sebagai
bagian dari Bangsa Batak. Apakah contoh sejarah kecil akan berulang seperti
Pasaribu yang hengkang dari Silindung yang kemudian jatuh ketangan menantunya
Naipospos yang kemudian setengahnya dianeksasi oleh Siopat Pusoran?
Walaupun sekarang ini kata marga
diartikan secara sangat sederhana hanya sebagai identitas kelompok, tetapi kata
marga sesungguhnya yang berasal dari bahasa Sanskerta diartikan sebagai ‘jalan
menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’.
Sekerang terserah kita untuk
mengartikan pengertian marga bagi Bangsa Batak; Apakah hanya sebagai
identitas kelompok saja? Atau sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh
jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’? Bagi penulis lebih condong
untuk mengartikan marga seperti pengertian yang mendalam tadi, dan oleh karena
itu artikel ini dijudulkan dengan Sakti Marga.
Arti Marga
Ada beberapa kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga
sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti
Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada
kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak
masuk dalam bahasan.
Dalam keagamaan di India seperti
agama Hindu, ada mengenal marga sebagai artikulasi ajaran. Dalam bahasa
sansekerta, marga diartikan sebagai jurus, jalur, jalan, untuk
mencapai keselamatan, yang diterapkan dalam bentuk Yoga seperti yang
disebutkan dalam kata Jnana Marga, Bhakti Marga, Raja Marga, Karma Marga,
atau sering juga disebut sebagai Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga, Karma
Yoga. Dalam agama Budha ada delapan tingkat marga sebagai doktrin
ajaran Budha yang dalam bahasa sanskerta disebut Astangika Marga, atau
dalam bahasa Pali disebut Atthangika Marga.
Definisi marga menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ada 4 definisi, dua diantaranya adalah yang cocok untuk
artikel bahasan:
2mar·ga
n Antr 1 kelompok kekerabatan yg eksogam dan unilinear, baik secara
matrilineal maupun patrilineal; 2 bagian daerah (sekumpulan dusun) yg
agak luas (di Sumatra Selatan);
– ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
– ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
4mar·ga
n Bio satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yg
mempersatukan jenis-jenis yg erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis
dng huruf kapital dan selalu tercantum dl nama jenis;
– khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
– khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
marga yg hanya mempunyai satu jenis.
Esensi Marga
Bagi Bangsa Batak, apakah masih
diperlukan identitas marga? Sudah pasti sangat diperlukan oleh karena
kultur Bangsa Batak masih memegang erat falsafah budayanya yang disebut Dalihan
Natolu & Tarombo (Toba) yang mengharuskan eksistensi marga ada
dalam setiap geliat kehidupan Bangsa Batak. Dalam sub-Bangsa Batak lainnya
disebut; Daliken Sitelu – Rukut Sitelu (Karo), Dalihan Natellu (Pakpak),
Dalian Natolu (Mandailing-Angkola).
Kalau memang masih diperlukan,
apakah sekarang ini insan Bangsa Batak sudah menggunakan marganya secara
benar, baik dalam posisi hierarkis di falsafah kehidupan yang disebutkan diatas
tadi? Karena yang berkaitan dengan falsafah tersebut ada yang dikenal dengan
sebutan Ruhut-ruhut Partuturan atau Ruhut-ruhut Parhundulan, yang
diartikan sebagai Aturan-aturan yang berkaitan dengan sebutan pemanggilan
yang bermakna pada posisi seseorang terhadap seseorang lainnya. Ruhut-ruhut
Partuturan yang dimaksud disini adalah identitas seseorang yang dikenal
melalui penyebutan pemanggilannya, seperti: Amang, Amang Tua, Amang Uda,
Amang Boru, Amang Naposo, Amang Hela, Inang, Inang Tua, Inang Uda, Inang
Simatua, Inang Bao, Inang Boru (Namboru), Inang Parumaen, Anak, Boru, Bere,
Ibebere, Anggi, Angkang, Pariban, Hela, Parumaen, Ito (Iboto), Eda,
Paraman (Paramaan), Bao, Tulang, Tulang Naposo, Tulang Rorobot, Tunggane, Lae,
Hula-Hula, Hula-Hula Anak Manjae, Hula-hula Namarhahamaranggi, Ompung (Doli /
Boru), Ompung Bao, Ompu, dan lain-lainnya.
Apabila marga tidak lagi
dipergunakan di kalangan insan Bangsa Batak, maka Ruhut-ruhut Partuturan
juga tidak diperlukan lagi, dan selanjutnya Dalihan Natolu dan Tarombo
juga tidak diperlukan lagi. Bila ini terjadi maka sebutan untuk pemanggilan
hanya seperti; pak (bapak), bu (ibu), dek (adik/adek), hei, atau sebutan
lain yang tidak bermakna pada kedudukan seseorang.
Marga Sebagai Identitas Kekuasaan
Marga-marga yang digunakan oleh kelompok-kelompok Bangsa Batak pada
dasarnya adalah identitas dari sebuah dinasti turun-temurun. Marga bagi
Bangsa Batak identik dengan penguasaan wilayah yang dapat diartikan sebagai
bentuk kerajaan di suatu wilayah tertentu dimana marga penguasa sebagai marga
induk yang menjadi pemegang kekuasaan wilayah secara turun-temurun, baik
dalam penataan wilayah dan lingkungan, penataan batas-batas wilayah, penataan
kemasyarakatan, hak dan kewajiban, pelestarian kultur dan budaya, pengontrol
kesetaraan dengan pihak lain diluar kekuasaan wilayah.
Setiap marga di Tanah Batak
akan memiliki nilai historis sebagai kekuasaan wilayah sah masing-masing marga
secara otonom, dimana pengelolaannya tidak akan pernah dicampuri oleh penguasa
wilayah marga lainnya. Kekuasaan suatu wilayah marga akan
dipimpin oleh raja dan dewan raja-raja dari marga utama yang
masing-masing memiliki fungsi yang diatur melalui mekanisme adat istiadat yang
berlaku di suatu kekuasaan wilayah marga yang disebut Bius.
Di dalam kekuasaan wilayah suatu marga
(Bius) tidak berarti hanya terdiri dari marga tunggal, melainkan
terdapat pula marga-marga lainnya yang secara kultur berhubungan dengan
satu sama lainnya berdasarkan falsafah Dalihan Natolu yang disebutkan di
atas. Namun penguasa yang menjadi raja dan raja-raja tetap dari marga utama
wilayah itu. Oleh karena itu, di Tanah Batak, semua marga adalah raja
yang harus dimuliakan dan dijunjung tinggi sebagai identitas dinasti marga.
Asal Muasal Nama Marga
Marga yang sudah menjadi identitas turun-temurun dari sebuah dinasti
marga, penamaannya berasal dari berbagai sumber penamaan:
- Nama marga dapat terbentuk dari nama seseorang yang kemudian secara turun-temurun menggunakan nama itu oleh keturunannya selanjutnya menjadi marga.
- Nama marga dapat terbentuk dari nama suatu kawasan wilayah atau tempat (Bius, Huta, Lumban, Banjar, Ruma, ) dimana komunitasnya membawakan nama daerah itu menjadi identitas untuk memperkenalkan dirinya terhadap orang lain di wilayah lain. Sehingga pada saatnya penamaan itu menjadi sebutan pengenal yang lebih dikenal sebagai daerah asal oleh orang lain.
- Nama marga dapat terbentuk dari sebutan-sebuatan istilah yang awalnya diberikan kepada seseorang, atau suatu tempat, atau suatu wilayah semisal berdasarkan kegiatan-kegiatan komunitas yang ada di kawasan itu, atau kebiasaan-kebiasaan yang ada di kawasan itu, atau bahkan karena penggelaran-penggelaran seseorang yang menjadi terkenal bagi orang lain sehingga keturunan selanjutnya dari kawasan dimana terbentuk pencitraan itu dengan sendirinya membawakan nama itu menjadi marga.
- Nama marga dapat terbentuk secara sengaja mencarikan penamaan kepada sekelompok komunitas dimana sebelumnya mereka sebenarnya sudah memiliki identitas marga dengan sebutan lain, akan tetapi karena alasan tertentu semisal adanya perselisihan diantara marga-marga kakak beradik sehingga diperlukan untuk mengganti marga itu dalam sebuah tatacara adat istiadat yang disepakati dan berlaku di wilayah itu, maka menjadilah sebuah marga baru.
- Dimungkinkan pembentukan marga baru dengan sengaja secara adat karena alasan perkawinan dimana jumlah penyebaran komunitas terbatas dan terkungkung dari dunia luar. Biasanya pembentukan nama marga baru secara sengaja karena alasan perkawinan ini hanya dapat terjadi setelah 7 generasi yang disebut sebagai manompas bongbong. Manompas bombong dapat juga terjadi karena keterpaksaan perkawinan yang terlarang sehingga terbentuklah marga baru sebagai marga sabungan dari marga induknya.
Oleh karena itu marga-marga
Bangsa Batak tidaklah semuanya terbentuk secara bersamaan pada level generasi
yang sama, namun banyak juga marga-marga terbentuk karena pecahan dari marga
induknya, bahkan marga-marga itu dapat terbentuk secara bertingkat.
Marga adalah identitas keturunan, kelompok, kekuasaan, nama baik,
yang menjadi sebuah dinasti keturunan dalam suatu wilayah otonomi di Tanah
Batak. Terbentuknya marga pada dasarnya adalah pembentukan pengelompokan
komunitas yang membawakan kemuliaan marganya masing-masing, sehingga
dengan sendirinya membuka sekat-sekat larangan hubungan perkawinan diantara marga-marga,
kecuali karena ada perjanjian khusus yang disebut padan.
Oleh karena itu, 7 generasi adalah
ukuran waktu yang paling cepat untuk membentuk marga baru dengan alasan
bahwa seseorang masih memiliki hubungan kekeluargaan secara adat-istiadat
sebanyak tiga tingkat generasi diatasnya (Natua-tua, Rorobot, Bonaniari)
dan sebanyak tiga tingkat generasi dibawahnya {Anak, Pahompu, Pangabis
(nini-nono)}.
Namun peristiwa yang terjadi untuk
pembentukan suatu marga tidaklah demikian gampangnya, akan tetapi lebih
sering terjadi pembentukan marga baru karena suatu peristiwa yang
dianggap pelanggaran adat yang seharusnya mendapat hukuman adat, semisal
perbuatan incest satu marga antara si-perempuan dan si-lakilaki
atau yang dianggap berpantang antara marga, inilah yang disebut dengan
istilah manompas bongbong tadi. Keabsahan pembentuk marga baru
ini karena manompas bongbong dilakukan secara adat dengan bayaran adat
yang besar dan mahal yang melibatkan marga-marga yang berkaitan, seperti
yang terkait dalam Dalihan Natolu.
Marga-marga baru yang terbentuk dari marga induknya disebut marga
sabungan (=sambungan marga). Apabila marga-marga sabungan sudah
terbentuk, marga induknya dapat saja masih dipakai keturunannya, tetapi
biasanya marga induk ini tidak dipakai lagi karena berbagai
alasan-alasan logis, misalnya:
- Marga-marga sabungan yang awalnya adalah sebagai abang beradik sudah menyebar dan berketurunan banyak generasi bergenerasi membentuk komunitas yang besar dalam jumlah membawakan marganya masing-masing, sehingga pada sekian generasi tertentu (minimal 7 generasi) sudah dapat saling kawin-mawin.
- Marga-marga sabungan memungkinkan membentuk marga-marga sabungan baru, dan membentuk komunitas yang banyak dalam jumlah setelah generasi bergenerasi dan dapat pula saling kawin-mawin diantara marga-marga yang terbentuk.
Marga dan Kemurnian Genaelogis
Mungkin pemahaman berikut ini dapat
diteliti lebih lanjut secara genaelogis oleh para ahli bahwa hubungan darah
setelah 7 generasi sudah tidak membawa efek psikologis maupun genetika,
sebagaimana diuraikan pada butir-4 mengenai terbentuknya marga baru
secara adat.
Pada tubuh manusia terdapat sekitar
3 miliar pembawa sifat yang disebut DNA (Deoxyrhibo Nucleic Acid) yang berbasis
pada empat unsur kimia asam yang mendasar yang disebut Adenine,
Guininie, Cytocine, dan Thynine. Pada dasarnya setiap sel manusia memiliki
DNA yang sama yang terdapat pada inti-sel, sementara sejumlah kecil DNA
terdapat diluar inti yang disebut mtDNA.
Ilmu biologi yang sudah cukup lama
menguraikan bahwa tubuh manusia memiliki sejumlah 23 chromosome yang terdiri
dari 22 pasang dimana pada permpuan dan laki-laki adalah sama yang
disimbolkan sebagai autochromosom atau chromosomeX, sementara sepasan lagi
disebut sebagai chromosome seksual yang disimbolkan dengan X & Y. Oleh
karena itu seorang perempuan akan disebut memiliki chromosome XX, sementara
laki-laki memiliki chromosome XY. Setiap chromosome disebutkan memiliki sel
pembawa sifat, yang bersifat rececive dan dominant, dan pembawa
sifat inilah yang ilmu sekarang disebut DNA.
Diantara chromosome-1 sampai dengan
chromosome-22 terdapat sejumlah pasangan pembawa sifat (building block DNA), dan
diantaranya chromosome-1 adalah yang paling banyak pembawa sifatnya yaitu
sekitar 247 juta building block DNA dan yang terkecil adalah
chromosome-22 yaitu sekitar 50 juta pasang pembawa sifat. Dengan demikian bahwa
ada sekitar 3 miliar pasang pembawa sifat terdapat pada tubuh seorang manusia.
Upaya manusia untuk menghindarkan
munculnya pembawa sifat buruk baik berupa karakter buruk
atau bentuk penyakit buruk atau bentuk-bentuk cacat tubuh
adalah menghindari perkawinan yang masih dekat hubungan darahnya semisal
incest, oleh karena pembawa sifat buruk yang disebut rececive antara
suami-istri yang masih dekat hubungan darahnya memungkinkan menjadi dominant
dan muncullah sifat-sifat buruk seperti bego, dungu, bad character, cacat,
dan lain sebagainya.
Sungguh bijaksana nenekmoyang Bangsa
Batak memberlakukan batasan 7 generasi baru dapat melakukan penggantian marga
untuk membuka tabir perkawinan sedarah (incest) sehingga orang-orang Batak
cenderung terhindar dari munculnya sifat-sifat buruk yang disebutkan di atas.
Kalau Bangsa Jahudi banyak diakui
sebagai bangsa super atau bangsa unggulan, namun adat mereka masih mentolerir
perkawinan yang hanya berselang satu generasi (Pakcik/Pakde dengan keponakan),
maka bagaimana pula tingkat superioritas Bangsa Batak yang mentolerir setelah 7
generasi? Menurut Catholic Encyclopedia bahwa perkawinan dalam 4 tingkat
generasi masih dianggap sebagai perkawinan incest dan secara teologia adalah
perbuatan dosa.
Bagi komunitas Bangsa Batak,
perkawinan semarga merupakan perbuatan incest yang hukumannya adalah mati
tanpa memandang pangkat, kedudukan seseorang di dalam status social
komunitasnya. Diceritakan bahwa Pongki Nangolngolan atau dalam sejarahnya lebih
dikenal sebagai Tuanku Rao adalah seorang Batak yang terlahir dari hasil hubungan
incest semarga. Walaupun berasal dari keluarga raja namun hukuman tetap
harus dijalankan. Demikian ketatnya hukum adat yang berkaitan dengan kemuliaan
sebuah marga bagi Bangsa Batak.
Penulisan Marga
Sebagaimana diuraikan terbentuknya marga-marga,
ada hal penulisan marga tersebut tidak lagi persis seperti histories
awal terbentuk marga tersebut. Bila marga tersebut terbentuk dari
nama seseorang sebagai nenek moyang maka sedikit kemungkinannya terjadi
perubahan penulisan marga, melainkan marga-marga tersebut
akan sesuai sebagaimana penamaannya dahulu.
Penamaan marga-marga
dapat saja tidak terjadi perubahan penulisannya oleh karena marga-marga
tersebut terbentuk atas kesengajaan membuat penamaannya yang secara sepakat
dilakukan, diresmikan berdasarkan ketetapan adat. Sebagai contoh kecil bahwa
untuk memberikan nama seseorang biasanya dilakukan acara adat dan ritual
tertentu sehingga nama tersebut akan selamanya melekat pada diri seseorang.
Demikianlah kira-kira terbentuknya penamaan marga yang tidak dapat
berubah lagi penulisannya.
Kebanyakan adanya perubahan
penulisan marga-marga adalah nama marga-marga yang
berasal dari penamaan sebuah wilayah, kawasan, daerah, perkampungan. Memang ada
juga nama kawasan atau nama daerah menjadi nama marga-marga, atau
memang sebaliknya nama marga yang menjadi nama nama daerah dan sekaligus
sebagai nama marga; misalnya: Ambarita, Aruan, Bakkara, Barus. Tetapi
kebanyakan nama-nama suatu tempat yang bila berubah menjadi nama marga
maka penulisannya selayaknya harus berubah, misalnya nama marga-marga
yang berasal dari nama tempat seperti: Banjar (deretan rumah dalam suatu
kawasan/kampung), Banua (benua, kawasan luas), Dolok (gunung), Huta (kota =
kampung), Lumban (daerah dimana terdapat rumah-rumah tempat tinggal), Ruma
(rumah, tempat tinggal).
Berikut adalah contoh-contoh
penulisan marga yang benar:
Nama
Tempat
|
Penulisan
Marga
|
Salah
Penulisan
|
Banjar Nahor
|
Banjarnahor
|
Banjar Nahor
|
Banua Rea
|
Banuarea
|
Banua Rea
|
Dolok Saribu
|
Doloksaribu
|
DL. Saribu
|
Huta na Barat
|
Hutabarat
|
Ht. Barat, Huta Barat
|
Huta Galung
|
Hutagalung
|
Ht. Galung, Huta Galung
|
Huta Soit
|
Hutasoit
|
Ht. Soit, Huta Soit
|
Huta Haean
|
Hutahaean
|
Ht. Haean, Huta Haean
|
Huta Julu
|
Hutajulu
|
Ht. Julu, Huta Julu
|
Huta Pea
|
Hutapea
|
Ht. Pea, Huta Pea
|
Huta Suhut
|
Hutasuhut
|
Ht. Suhut, Huta Suhut
|
Huta na Buruk
|
Hutauruk
|
Ht. Uruk, Huta Uruk
|
Lumban Batu
|
Lumbanbatu
|
Lbn. Batu, Lumban Batu
|
Lumban Gaol
|
Lumbangaol
|
Lbn. Gaol, Lumban Gaol
|
Lumban na Hor
|
Lumbannahor
|
Lbn. Nahor, Lumban Nahor
|
Lumban Pea
|
Lumbanpea
|
Lbn. Pea, Lumban Pea
|
Lumban Raja
|
Lumbanraja
|
Lbn. Raja, Lumban Raja
|
Lumban Siantar
|
Lumbansiantar
|
Lbn. Siantar, Lumban Siantar
|
Lumban Toruan
|
Lumbantoruan
|
Lbn. Toruan, Lumban Toruan
|
Lumban Tungkup
|
Lumbantungkup
|
Lbn. Tungkup, Lumban Tungkup
|
Ruma Horbo
|
Rumahorbo
|
Ruma Horbo
|
Ruma Pea
|
Rumapea
|
Ruma Pea
|
Ruma Singap
|
Rumasingap
|
Ruma Singap
|
Ruma Sondi
|
Rumasondi
|
Ruma Sondi
|
Pemberian Marga (Mangain)
Apabila seseorang dari etnis bukan
Batak yang karena sesuatu hal harus memiliki marga, agar dapat masuk
dalam tatanan kekerabatan semisal dalam hal perkawinan, maka marga
tersebut dimilikinya disyahkan dalam suatu prosesi adat yang berlaku dalam
komunitas Batak sehingga penerapan Dalihan Natolu dan Tarombo dapat dijalankan.
Kalau pemberian marga kepada
seorang perempuan asing (sileban) memang harus diberikan supaya
pelaksanaan adat-istiadat yang berkaitan dengan Dalihan Natolu dapat
dilangsungkan. Untuk kasus pemberian marga kepada perempuan asing dapat
lebih mudah disetujui oleh pemberi marga oleh karena marga yang
disematkan kepadanya hanya dipakai oleh dirinya sendiri dan tidak diturunkan
kepada keturunannya. Jadi, pemakaian marga tersebut oleh dirinya hanya
berlaku dalam satu generasi saja, walaupun dalam kaitan tatanan adapt istiadat
memungkinkan berlaku sampai 7 generasi seperti yang disebutkan sebelumnya.
Lain halnya apabila pemberian marga
diberikan kepada seorang laki-laki asing sileban). Walau dimungkinkan,
namun pemilik marga (kelompok) harus melakukan proses panjang dan rumit
untuk pemberian marga tersebut, disamping berbiaya yang cukup tinggi.
Prinsip semua adalah raja sangat kental berlaku diantara kelompok marga
ini, karena hak memiliki marga tertentu ini merupakan dinasti marga
turun temurun sampai kepada diri pribadi masing-masing. Kepemilikan marga
kepada seseorang berkaitan erat dengan harta benda waris secara turun-temurun
semisal hak ulayat atas tanah, hak waris atas tanah, hak-hak yang berkaitan
dengan pemanggilan yaitu yang berkaitan dengan hierarchi kelompok kakak beradik
(partubu), termasuk urutan generasi yang berkaitan dengan Ruhut-ruhut
Partuturan, dan tentu pula berkaitan dengan Ruhut-ruhut Parhundulan
yang dengan sendirinya mengatur posisinya dalam suatu prosesi adapt-istiadat.
Seseorang yang sudah memegang marga
melekat pada dirinya, maka pada dirinya sudah melekat pula identitas baku yang
tidak dapat dihapus oleh siapapun, bahkan oleh dirinya sendiri tidak dapat
menghapusnya, karena identitas marga bukan saja sebagai milik pribadi,
tetapi milik sebuah komunitas yang disebut dinasti marga. Seseorang yang
memiliki marga ini dengan sendirinya sudah menjelaskan siapa dirinya
dalam sebuah kelompok dinasti marga. Dirinya adikenal dari kelompok
leluhur dalam satu marga tersebut (partubu parompuon). Dirinya juga akan
dikenal dari urutan generasinya (penomoran generasi).
Peresmian pemberian marga
kepada seorang laki-laki sileban dilakukan dalam suatu tahapan prosesi adat
yang panjang. Tujuh (7) ekor kerbau merupakan syarat utama sebagai simbolisasi
7 generasi yang akan saling berhubungan dalam suatu tatanan adat-istiadat
(paradaton), disamping hal-hal lain yang menyangkut materi harta (parartaon),
karena akan menyangkut kepada kewajiban dan hak membawakan nama marga
tersebut selama-lamanya.
Hal-hal yang dijalankan dalam
rangkaian prosesi adat untuk pemberian dan penyematan marga kepada seorang
laki-laki sileban adalah:
- MARHUSIP. Satu dinasti marga yang akan memberikan marganya kepada seorang laki-laki sileban, harus berkumpul untuk membicarakan. Setiap memulai pembicaraan prinsipil harus dilengkapi dengan hidangan makanan, karena adat umum yang berlaku di Bangsa Batak bahwa peristiwa penting yang dibicarakan mengharuskan demikian (pangkataion diatas ni sipanganon). Oleh karena yang akan membicarakan adalah raja-raja dari beberapa leluhur dalam satu marga (partubu parompuon), maka makan utama yang biasa dihidangkan adalah dari daging babi (namarmiakmiak) lengkap yaitu daging cincang dimasak dengan darahnya (sangsang), dengan menyediakan potongan besar daging yang dimasak bersamaan (tango-tanggo) untuk simbol pembagian hak bicara (parjambaran) terbatas. Yang ikut dalam pembicaraan ini, disamping dari kelompok keluarga yang akan diberikan marganya, biasanya dari tingkatan kakek, bapak, anak, termasuk dari pihak perempuan (boru) dari satu klan parompuon terdekat. Kemudian harus dihadiri oleh raja-raja parompuon satu marga secara lengkap sebagai mewakili kelompok parompuon yang ada pada dinasti marga tersebut. Hasil pembicaraan akan menyangkut persetujuan dari semua raja-raja termasuk mengenai kesepakatan pemberian hak penomorannya, hak-hak atas harta waris, hak ulayat. (Sifat-sifat pertemuan ini adalah marhusip-husip).
- PATUA HATA. Tahap kedua juga harus diadakan pertemuan dengan menghadirkan raja-raja sebagai perwakilan yang termasuk dalam unsur Dalihan Natolu, yaitu raja-raja partubu, tingkatan hula-hula dan tulang baik dari pihak suami maupun pihak istri yang akan mengangkat marganya kepada laki-laki sileban itu, kemudian perwakilan dari raja ni boru. Pembicaraan ini bersifat memunculkan hasil pembicaraan pada butir-1 kepada pihak perwakilan hula-hula/tulang untuk mendapat persetujuan atas pertimbangan kepentingan kewajiban dan hak yang berlaku menurut adat. Penganan utama yang disediakan adalah namarmiakmiak dengan parjambaran lengkap untuk mewakili keterwakilan Dalihan Natolu yang hadir pada pertemuan itu. Tahapan pertemuan ini dapat dikategorikan sebagai Patua Hata.
- TONGGO RAJA. Tahapan ketiga dilakukan pertemuan dan dihadiri oleh raja-raja sebagai perwakilan yang disebutkan pada butir-1. Inti dari pembicaraan ini adalah pengaturan untuk merencanakan sebuah pesta besar yang melibatkan banyak pihak dari unsur-unsur Dalihan Natolu. Pada pertemuan ini diberlakukan juga parjambaran terbatas seperti pada butir-1. Namun untuk menjamin akan berlangsungnya pesta yang sukses makan kepada raja-raja perwakilan harus dilengkapi dengan bentuk parjambaran lainnya seperti pemberian piso-piso yang berupa symbol harta atau uang.
- PESTA (HORJA). Pengadaan pesta besar dimaksudkan untuk memberitakan kepada masyarakat Bangsa Batak bahwa seseorang sudah resmi menyandang marga. Dalam hajatan ini penganan utama adalah kerbau yang dilengkapi dengan potongan parjambaran.
(Catatan: Pada jaman
dahulu, sebelum masuknya agama impor yang menggantikan Agama Mulajadi, penganan
yang diberlakukan oleh Bangsa Batak adalah penganan yang banyak diternakkan
atau yang banyak terdapat di Tanah Batak antara lain: Ayam, Ihan, Babi, Kerbau,
Gajah. Jaman sekarang secara perlahan berangsur-angsur berubah sesuai dengan
faham agama yang dianut oleh masyarakat Bangsa Batak).
Pada jaman dahulu, pelaksanaan
pemberian marga ini banyak juga berlangsung dalam komunitas Bangsa Batak
terutama Bangsa Batak yang banyak berhubungan dengan bangsa asing semisal di
perbatasan wilayah Tanah Batak. Oleh karena perdagangan banyak berlangsung di
pesisir atau pusat-pusat perdagangan, maka pembauran ini menuntut terlaksananya
pemberian marga dan bahkan pembentukan marga baru (tompas
bongbong). Wilayah-wilayah perbatasan Tanah Batak yang berhubungan dengan
masyarakat Internasional ini adalah seperti di Tanah Batak Selatan, Tanah Deli,
dan Pesisir Pantai. Oleh karena itu pembentukan marga atas pemberian marga
ini terdapat di kawasan Mandailing dan Kawasan Tanah Karo.
Yang perlu menjadi perhatian,
setelah kejadian pemberian marga atas bangsa asing (sileban) sudah
berlangsung 7 sampai 10 generasi, apakah mereka secara kultur dan adapt
istiadat masih mengakui bahwa mereka menjadi salah satu komponen Bangsa Batak.
Tanah Ulayat dan Harta Warisan sudah menjadi hak yang baku kepada mereka karena
secara adat pada jaman dahulu sudah syah menjadi Batak Bermarga, dan
apabila sekarang dan dikemudian hari ada marga ini yang menyangkal
sebagai komponen Bangsa Batak, maka apa pendapat Bangsa Batak? Apa tindakan
Bangsa Batak? Apa rencana Bangsa Batak dikemudian hari mengenai pemberian marga
kepada orang asing (sileban)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar