Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Rabu, 18 Januari 2017

TITIK TEMU ISLAM DAN KRISTEN

Perubahan Persepsi dari Perang Salib

Bagi studi dewasa ini, masalah sentral tentang Perang Salib adalah bagaimana peristiwa.peristiwa itu sendiri terjadi dan refleksi-refleksi tentangnya di abad-abad terkemudian, mempengaruhi persepsi-persepsi Islam terhadap Kristen.
Hal pertama yang harus ditegaskan adalah bahwa Perang Salib berasosiasi dengan meningkatnya rasa keagamaan yang dahsyat di Eropa Barat. Ada banyak gerakan bagi pembaharuan Gereja, ditunjukkan dengan memerangi kekejaman dan penghianatan yang khusus. Sebuah biara yang didapatkan di Cluny, Perancis, tahun 910 Masehi dalam membantu berkembangnya ketaatan kepada kekuasaan monastik Benedictine dan sedemikian baiknya didukung sejak abad ke sebelas oleh lebih dari dua ratus rumah anak perempuan. Semangat keagamaan juga ditunjukkan sendiri oleh ikut sertanya dalam hijrah untuk meningkatkan jumlah penduduk. Satu sentra penting adalah tempat suci Santiago (Saint James) di Compostela Spanyol barat laut, namun untuk mencapai tujuan itu dengan kemampuan hijrah paling tinggi adalah ke kuburan suci di Jerusalem. Tiga puluh tahun sebelum Perang Salib Pertama, gerombolan dari tujuh ribu penduduk dinyatakan telah pergi meninggalkan Rhine ke Jerusalem, dipimpin oleh Uskup Agung dan uskup di bawahnya. Pada tahun 1076 Masehi Jerusalem berada di bawah kekuasaan langsung Amir Turki yang amat menyulitkan bagi orang-orang yang berziarah ke sana. Ini agaknya menjadi salah satu faktor di samping Paus Urban II yang menyatakan keputusannya untuk mengobarkan Perang Salib di tahun 1095 Masehi pada konsili Clermont di Perancis.
Walaupun demikian, Paus dan negarawan senior itu sadar akan alasan-alasan tertentu yang sifatnya lebih klasik bagi Perang Salib. Akhirnya kaisar Byzantine harus meminta bantuan kepada Paus, mungkin bantuan ini dalam bentuk prajurit upahan. Rakyat Byzantine harus menderita kekalahan yang serius dari umat Islam di Manzikert pada tahun 1071 Masehi dan harus menarik diri dari Asia Kecil. Lebih dari itu, telah terjadi kemunduran hubungan-hubungan antara separuh Gereja Barat dan timur pada tahun 1054 Masehi, sekalipun tidak mengalami kehancuran sempurna secara total. Maka tak pelak lagi, Paus diharapkan dapat mengirimkan bantuan untuk memperbaiki hubungan-hubungan tersebut. Abad ke sebelas bagi rakyat biasa di Eropa Barat menjadi zaman keamanan yang lebih besar dan makin meningkatnya kemakmuran. Namun ini berarti
bahwa bagi keluarga para bangsawan akan lebih tertutup kesempatannya untuk berkuasa dan mengakibatkan banyak terjadi perlawanan rakyat dan meredusir perselisihan di antara umat Kristen. Peristiwa ini agaknya tidak terjadi bagi Islam sebagaimana pola Nabi Muhammad SAW yang diikuti oleh suku-suku bangsa Arabia.
Paus Gregory VII (1073-1085 Masehi) mengabsahkan perubahan sikap Kristen terhadap perang. Prajurit-prajurit yang sebelumnya, walaupun karena suatu sebab mereka berselisih, seperti pasukan William Sang Penakluk di Hasting pada tahun 1066 Masehi, menuntut adanya penebusan dosa bagi kematian. Kendatipun demikian, Paus kini menyatakan bahwa kematian mereka itu terhormat, tidak berdosa, berjuang untuk mengangkat hak bagi masyarakat. Hal ini barangkali terjadi sebagai akibat Reconquista bangsa Spanyol. Ahli sejarah, Arnold Toynbee, dari perspektif yang luas menulis dalam buku Study of History, melihat Perang Salib itu dimulai pada tahun 1018 Masehi ketika bantuan dari sekelompok orang Kristen di sana dilancarkan untuk memerangi kaum muslimin. [4] Selama waktu berkunjung ke Santiago, telah menumbuhkan popularitas sebelah utara kota Pyrenee dan sebagian harus mengetahui kehancuran yang diakibatkan oleh umat Islam pada tahun 997 Masehi, sungguhpun mereka mengecualikan peninggalan aktual Saint James. Banyak lagi ekspedisi dari Perancis ke Spanyol yang lain pada abad sebelas yang dilakukan dengan restu Gereja, sebab ekspedisi-ekspedisi itu dilakukan atas nama umat Kristen sebagai suatu keseluruhan. Hal ini tidak mengherankan karena banyak orang lelaki Perancis menanggapi panggilan Paus menuju Perang Salib Pertama.
Para serdadu yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib berkumpul di Constantinople di tahun 1097 Masehi, lalu bergerak ke selatan lewat Asia Kecil, dan pada gilirannya mereka dapat merebut kota Jerusalem di tahun 1099 Masehi. Empat negara Perang Salib yang berdiri adalah: kerajaan Jerusalem, Antioch, Edessa dan Tripoli. Edessa direbut kembali oleh umat Islam di tahun 1144 Masehi, namun Jerusalem tetap bertahan 1187 Masehi. Sama sekali ada penggabungan ke Perang Salib dan ekspedisi-ekspedisi yang lain pada suatu tipe Perang Salib, sebagian di Eropa menentang heretika (bidaah) Kristen. Namun hasil yang paling solid menentang umat Islam adalah perebutan Acre dan sebidang pesisir Palestina di tahun 1991 Masehi dan peninggalan mereka selama satu abad.

Dalam waktu yang lama umat Kristen menunjukkan pembasmian etnis manusia besar-besaran dalam suasana yang romantis. Diasosiasikan dengan semangat agama dan sarat dengan cita-cita kesatriaan Kristen. Dengan baik hal ini dapat diapresiasikan oleh Shakespeares dalam judul buku Henry IV, bab I, dimana letaknya untuk terus mengadakan pembunuhan besar-besaran, bukan sekedar sebagian bantuan sebagai cita-cita menuju perjuangan akhir antara zaman Pencerahan, melainkan juga sebagai tugas Kristen:
Oleh karena itu, teman-teman,
Sejauh kuburan Kristus
Yang kini mempunyai prajurit,
di bawah berkat kayu Salib Kita terkesan
dan harus berjuang
Segera kekuatan Inggris akan kita tarik,
Yang mempunyai prajurit yang dibentuk di rahim ibunya
Untuk memburu orang-orang pagan di tempat suci ini
Atas orang yang berjalan kaki penuh berkah
Yang terpaku selama empat belas abad yang lalu
Demi kesempatan kami di tiang salib yang menyakitkan.
(I Henry IV, I.i. 18-27)
Kata "crusade" sekarang telah lazim dipakai secara umum untuk arti "gerakan agresif atau kegiatan menentang kejahatan publik, atau institusi atau sekelompok orang yang dianggap sebagai jahat." [5] Kata ini kini lazim dipakai oleh para jurnalis di hampir semua jenis pekerjaan untuk menyatakan menuju kebaikan, bahkan ketika kekuatan kecil yang agresif itu berkembang. Walaupun demikian, banyak orang Kristen memahami asal-usul Perang Salib yang asli adalah demi mendapatkkan kembali Tempat-Tempat Suci pada cahaya yang berbeda. Kata "Crusade" ini bukan hanya anggota anti-perang dan anti sumpah atau Masyarakat Persaudaraan yang melihat bahwa tidak ada perang yang diperbolehkan berdasarkan atas prinsip-prinsip Kristen. Sungguhpun demikian, bahkan pada abad ke delapan belas para sejarawan mulai berfikir kritis tentang keseluruhan ide Perang Salib (atau pembasmian manusia). Edward Gibbon adalah seorang pemikir bebas yang menentang sistem Gereja, yang tidak mempunyai belas kasihan membeberkan penjarahan dan pembunuhan besar-besaran yang mengambil tempat ketika pasukan Perang Salib merebut Jerusalem di tahun 1099 Masehi. [6] Bahkan pemuja seperti sang novelis romantis, Sir Walter Scott, yang sadar akan kekejaman dan kebengisan heronya Richard Yang Berhati Singa (Richard the Lionheart). Pada pendahuluan kisahnya tentang peristiwa-peristiwa Perang Salib, The Talisman, dia menulis:
Periode yang lebih langsung berkaitan dengan Perang Salib yang terakhir saya putuskan adalah ciri khas Richard I yang suka perang, liar dan dermawan, pola kekesatriaan dengan semua kebaikan yang luar biasa dan tidak kurang dari kesalahan-kesalahannya yang absurd, yang menentang Pangeran Saladin (Shalahuddin al-Ayyubi) dimana monarki Kristen dan Inggris mempertontonkan semua kekejaman dan kebengisan yang mendukung karakter raja Timur. Di pihak lain, pangeran Saladin memperlihatkan kebijakan yang mendalam dan kebijaksanaan penguasa Eropa. Semua ini dikandung makna bahwa Saladin mempunyai kemampuan kualitas kekesatriaan dan keperwiraan yang baik, murah hati dan berani, yang melampaui yang lain.
Tentang sejarawan dunia Islam, keseluruhan konsepsi Perang Salib adalah bersifat membabi buta dan gila. Paus dan semua yang mengorganisir angkatan bersenjata akan dapat sedikit punya ide tentang kondisi yang akan mereka hadapi, meskipun telah mengadakan perjalanan ke Jerusalem. Mereka tidak punya sedikit ide tentang peluasan kekuasan muslim. Berbagai kesuksesan yang mereka raih barangkali karena sekitar tahun 1100 Masehi umat Islam Palestina dan Syria biasanya berada di bawah kekuasaan khalifah di Baghdad, merupakan negeri-negeri kecil merdeka yang saling bersitegang satu dengan yang lain, namun kadangkala siap-sedia bekerjasama dengan raja-raja


Kristen untuk menentang rival-rival negeri Islam. Karena negeri-negeri itu berada di bawah penguasa muslim yang kuat, maka nasib negeri-negeri Kristen segera tertutup.
Mungkin ekspresi paling baik dari pandangan Kristen kontemporer yang seimbang tentang Perang Salib dapat diperoleh dalam kata-kata Sir Steven Runciman, pada kesimpulan ketiga buku sejarahnya tentang Perang Salib:
Kemenangan pasukan Perang Salib adalah kemenangan iman. Namun iman tanpa kebijaksanaan adalah berbahaya. Sejarah dengan undang-undang hukum adalah tidak dapat ditawar-tawar, seluruh dunia harus membayar kejahatan dan kebodohan semua warga negaranya. Dalam rangka memperpanjang interaksi dan fusi antara Timur dan Barat dari peradaban kita yang tumbuh berkembang, maka Perang Salib adalah episoda yang tragis dan destruktif. Sejarawan telah menengok ke belakang berabad-abad lamanya pada kisah mereka yang gagah berani, mesti mendapatkan kebanggaan yang berlawanan dengan penderitaan pada persaksian yang membuka batas-batas hakekat manusia. Demikian banyak keberanian dan sedemikian sedikit penghargaan, demikian banyak kesetiaan dan demikian kecilnya pengertian dan pemahaman. Cita-cita yang tinggi dan agung dinodai oleh kekejaman dan kerakusan, keberanian dan ketabahan dinodai oleh kebutaan dan kesalihan diri yang picik. Perang suci itu sendiri tidak lebih lama dari gerakan intoleran atas nama Tuhan, yang merupakan perbuatan dosa melawan Ruh Kudus.[7]
Menghadapi jawaban yang telah kita kembangkan tentang kontribusi Perang Salib terhadap persepsi-persepsi Kristen terhadap Islam adalah jawaban yang sedikit mereka rubah. Banyak orang Kristen yang mengapresiasikan keperwiraan dan kemurahan hati seorang Saladin, namun hanya sedikit karya ilmiah yang dibuat. Para ilmuwan Eropa Barat dan Perancis yang menciptakan gambaran baru dan lebih terinci tentang Islam di negeri-negeri Perang Salib, secara pasti hampir memperkuat hasrat bagi inforrnasi yang lebih banyak dan lebih akurat.
Persepsi Islam kontemporer tentang Perang Salib secara implisit berbeda dengan persepsi Kristen. Mayoritas umat Islam memandang Perang Salib tidak lebih dari insiden kekejaman dan kebengisan umat Kristen yang jauh melampaui batas, dapat diperbandingkan dengan persepsi Inggris tentang peristiwa yang terjadi di barat laut India-Inggris di abad sembilan belas. Kekhalifahan di Baghdad yang diinformasikan namun tidak menarik itu, walau memang tidak memiliki kekuatan politik sebenarnya di masa itu. Pencuri yang mengontrol kekuatan dunia luar adalah dinasti Saljuk, namun pusat-pusat utamanya adalah beratus-ratus mil sebelah timur Baghdad. Bila mereka mendengarkan tentang Perang Salib, mereka akan memandang Perang Salib ini sebagai varian semata dari bentuk perselisihan yang terus-menerus berlangsung di kawasan khusus ini selama paruh akhir abad ini.
Tentu saja berbeda karena bagi umat Islam yang terpengaruh secara langsung, sungguhpun mereka terbiasa dengan ekspedisi-ekspedisi penggerebegan Byzantine. Segera mereka menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara bangsa Byzantine, bangsa
Rum dan bangsa Frank atau Franj, namun boleh jadi mereka masih belum sadar akan motif-motif dan tujuan- tujuan keagamaan lebih lanjut.
Sebagaimana yang telah dicatat, sebagian pemimpin muslim berencana untuk ikut beraliansi dengan para pemimpin Kristen dalam memerangi rival-rival mereka yang muslim. Semenjak bangsa Frank menetap di negeri-negeri Salib dalam waktu yang lama, mereka mengadopsi adat-istiadat dan pakaian lokal, mereka nampak tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin muslim. Usaha menciptakan kekuatan yang tangguh sepenuhnya diikhtiarkan untuk menggagalkan para partisipan Perang Salib, dimulai ketika seorang lelaki yang bernama Zengis yang ditunjuk sebagai gubemur Mosul oleh Sultan Saljuk di tahun 1127 Masehi dan sejak tahun 1144 Masehi sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan kembali Edessa. Putranya yang menggantikan kedudukan Zengis ini dikirim menjadi prajurit untuk melawan dinasti Fatimiah di Mesir pada tahun 1169 Masehi. Pada tahun ini juga jenderal wafat, kemenakan lelaki Saladin menduduki jabatan Zengis ini, maka segeralah Saladin menyatakan dirinya sebagai penguasa Mesir. Pada tahun 1174 Masehi atas kematian putra Zengis, ia diperkenalkan oleh khalifah sebagai sultan di seluruh kawasan mulai dari kota Mosul sampai kota Kairo. Selain konsultasi pemerintahannya atas wilayah ini. Tujuan yang utama adalah untuk memukul mundur negeri-negeri yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib. Dengan cara ini, secara luas Saladin menggantikan wilayah-wilayah negeri yang ikut aktif dalam Perang Salib menjadi berada di bawah kekuasaan Islam, menaklukkan Jerusalem di tahun 1187 Masehi.
Beberapa tahun sebelum peristiwa di atas terjadi, pangeran Saladin telah menyerukan jihad atau perang suci melawan umat Kristen. Beliau mengumandangkan jihad ini karena kebodohan baru yang diakibatkan pemimpin Kristen yang mengirim armada ke Laut Merah dari Teluk Aqabah dan pada tahun 1182 Masehi menenggelamkan kapal milik orang muslim yang melewati rute perjalanannya ke Mekah. Insiden ini begitu dikenal secara luas dan makin meningkatkan kemarahan dunia Islam yang lebih besar ketimbang berdirinya negeri-negeri Franka. Kendatipun demikian, secara pribadi Saladin tetap ramah kepada umat Kristen, paling kurang pada waktu itu. Namun hubungan-hubungan mesra ini hanya sedikit meningkatkan persepsi Islam terhadap Kristen.

Ada catatan yang cukup baik dari sejarawan kenamaan, Ibnu al-Athir (1160-1233 Masehi), yang karyanya telah dijelaskan pada bab terdahulu. Sejarawan ini adalah penduduk Mosul dan pernah ikut secara aktual dalam barisan tentara pangeran Saladin. Dia mencatat penaklukan Antioch oleh bangsa Frank di tahun 491 Hijrah (1098 Masehi). Namun ia memandang agresi bangsa Frank ini telah didahului oleh pendudukan Toledo pada tahun 478 Hijrah (1085 Masehi) dan Sicilia pada tahun 484 Hijrah (1091 Masehi). Peristiwa pendudukan ini mengantarkannya untuk berfikir tentang gerakan Perang Salib sebagai orang Kristen yang melawan umat Islam, namun sama sekali gerakan ini bukan sebagai aktifitas yang terpusat dan hanya sebagai salah satu dari sejumlah tema yang luas yang ditindak lanjuti pada periode itu. Bahkan persepsinya tentang Perang Salib adalah sebagai jihad yang tidak mungkin disumbangkan oleh mayoritas umat Islam di Iraq dan negeri-negeri lain di timur.
Pada gilirannya penting untuk menyatakan bahwa umat Islam kini memandang Perang Salib sebagai awal dimulainya kolonialisme Eropa. Pandangan ini bukan berasal dari para sejarawan muslim tempo dulu, melainkan akibat umat Islam datang ke barat sebagai mahasiswa dan mempelajari tulisan-tulisan para sejarawan barat. Mereka mencatat bahwa ada kesejajaran bentuk antara Perang Salib dan kolonialisme yang mereka alami di negeri-negeri asalnya. Barangkali sebagian mustahil bagi orang yang sedemikian jauh seperti Kolonel Qadhafi di Libya dan invasi Napoleon di Mesir pada tahun 1798 Masehi sebagai Perang Salib ke sembilan dan berdirinya negeri Israel berkat bantuan Amerika sebagai Perang Salib ke sepuluh. Tentu saja, ini bukan peristiwa Perang Salib yang sesungguhnya. Sebagian golongan fundamentalis "Kristen Bibel" yang memang telah menyambut negeri Israel sebagai pemenuhan kebutuhan yang diidam-idamkan dan hal itu dilihat sebagai bukti kebenaran Bibel dan penolakan terhadap kritik apapun tentang kebenaran Bibel ini. Sementara di pihak lain, sebagian besar umat Kristen melihat penempatan Tempat-tempat Suci Kristen di tangan bangsa Yahudi itu benar-benar sebagai bertentangan dengan tujuan Perang Salib.

Maka secara historis, pemikiran Kristen dewasa ini amat tidak bangga kepada Perang Salib dan memperkenankan adanya unsur kolonialisme terhadap Perang Salib itu. Akan tetapi dia melihat bukan kesinambungan dan identitas antara gerakan Perang Salib dan kolonialisme Eropa selama abad-abad belakangan ini. 
sumber:oleh William Montgomery Watt

Rabu, 16 November 2016

Spiritual Soeharto




Dikawal Seribu Paranormal

MASIH ingat ketika Presiden Amerika Serikat George W. Bush ke Indonesia tahun 2006? Meski hanya beberapa jam mampir, tetapi pengerahan pasukan keamanan sangat luar biasa. Mengapa sangat dan maha ketat. Selain Bush dibenci banyak orang di negeri ini, juga sebelumnya beredar luas kabar dia bakal disantet.

Yang lebih heboh adalah ketika dia turun dari mobil anti peluru yang membawanya ke Kompleks Kebun Raya Bogor, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menanti dengan gelisah. Bush tidak melangkah turun seperti biasa, tetapi dari atas mobil dia langsung lompat katak ke tanah. Ini jelas pemandangan tak lazim.

Begitu melihat tingkah laku Bush tersebut, orang pun serta merta mengaitkan kelakuannya itu merupakan perintah dari paranormal yang menyertai kunjungan sang kepala negara.

Ki Gendeng Pamungkas, salah seorang paranormal yang kabarnya dipakai oleh orang tertentu untuk ’mengerjai’ Bush, konon ’takluk’ atas paranormal boyongan Bush. Presiden yang gandrung mengobarkan perang tersebut, konon kabarnya, memanfaatkan jasa dukun Yahudi.

Bukan hanya Bush yang memanfaatkan paranormal dan perdukunan, melainkan juga pendahulunya. Ronald Reagan pun mendengarkan nasihat spiritual yang diberikan kepadanya.

Perdukunan di Amerika Serikat berkembang saat Nancy Reagan memiliki sepasukan dukun sebagai konsultan spiritualnya sehubungan dengan pribadi dan suaminya sebagai presiden.

Jauh-jauh sebelumnya, Adolf Hitler pun menggunakan jasa dukun. Ia memiliki salah satu pusaka yang diyakini bertuah berupa sebuah tombak. Tombak ini konon yang dipakai oleh pasukan Romawi untuk menombak lambung Jesus.

Lalu bagaimana dengan Soeharto? Seminggu menjelang kematiannya, dua peramal ulung atau paranormal di negeri ini mengungkapkan kedigdayaannya melihat dunia gaib mengenai Soeharto. Salah seorang yang sudah tidak asing adalah Mama Laurent.

Melihat kondisi kesehatan Pak Harto yang kian kritis, wanita Indo ini mengatakan bahwa ada sesuatu yang melekat pada diri penguasa Orde Baru itu. Sepanjang ‘sesuatu’ itu belum dilepaskan, anak petani dari Desa Kemusuk itu akan tetap ‘tersiksa’.

‘’Anggota keluarga sebaiknya mencari orang pintar yang mampu melepaskan ‘ketergantungan’ Pak Harto dari ‘perangkap’ yang melekat dalam dirinya,’’ Mama Laurent menyarankan seperti ditayangkan salah satu stasion televisi swasta.

Meski Pak Harto telah menghembuskan napasnya yang terakhir pada pukul 13.10 WIB, Minggu (27/1) dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Surakarta, Senin (28/1) pukul 13.00 WIB, namun masih ada yang penuh misteri pada sosok mantan Presiden Republik Indonesia kedua itu. Dunia kleniknya. Kawasan yang tidak banyak dipahami orang, tetapi dari dulu orang sudah banyak yang maklum.

ProFiles melalui berbagai sumber memperoleh informasi, Soeharto yang kental dengan budaya Jawa itu, kerap melakukan tirakat di berbagai tempat. Di antara lokasi itu adalah Makam Pangeran Purbaya di Desa Maguwoharjo Sleman Yogyakarta.

Watu Gilang, tempat duduk Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam Pertama di Kota Gede Yogyakarta, juga termasuk tempat Pak Harto biasa menggelar tirakat.

Arwan Tuti Artha, dalam Dunia Spiritual Soeharto mengatakan, Gapura Makam Raja-Raja Mataram Kota Gede Yogyakarta adalah tempat yang tidak pernah dilewatkan Pak Harto.

Mantan presiden kedua Indonesia itu juga memiliki seorang guru spiritual. Konon namanya Romo Diyat yang terletak di Jl.Sriwijaya Semarang. Bahkan di tengah Sungai Kaligarang Sampangan Semarang tegak Tugu Soeharto. Konon, di tempat itulah Pak Harto sering Topo Kungkum (merendam diri).

Tetapi tempat Pak Harto pernah menerima wangsit, kata Tuti Artha, terdapat di Padepokan Langlang Buana Gunung Srandil Cilacap Jawa Tengah. Untuk mencapai padepokan itu, orang harus menaiki tangga. Dan, kelihatannya sudah permanen.

Masih di Cilacap juga, ada tempat pemujaan yang dikenal dengan nama Padepokan Jambe Pitu Gunung Selok.

Eksistensi Pak Harto dengan dunia kejawen sudah lama dikenal orang. Hanya saja, seberapa jauh keakrabannya dengan aspek-aspek kejawen itulah yang masih dangkal diketahui.

Dia masih tetap melakoni kehidupan dunia Jawa yang tulen. Bentuknya, seperti melaksanakan puasa, tidak makan, tidak minum, tidak meninggalkan warisan leluhur seperti menggelar upacara selamatan bagi keluarganya.

Masih ingat ketika pernikahan cucunya, Danny Rukmana (anak Mbak Tutut-Indra Rukmana) dengan Lulu Luciana Tobing yang asal Batak, berbusana Jawa yang tulen.

Soeharto tetap menyelenggarakan upacara tradisional Jawa untuk berbagai acara seperti acara kelahiran, ulang tahun, pernikahan, maupun acara kematian.

Seorang sejarawan asing, MC Ricklefs, melukiskan Soeharto sebagai sosok yang sangat memercayai klenik kebatinan Jawa pedalaman yang kental. Sebuah klenik yang hanya mengakui Islam dalam bentuk yang lebih esoteris dan hukum agama hanya memiliki kekuatan kecil.

Adik tiri Pak Harto, H Probosutedjo, mengakui, ilmu klenik kadang-kadang disampaikan melalui cara berbisik-bisik. Itulah sebabnya disebut ilmu klenik atau ilmu kebatinan.

Probo menggambarkan, penyampaian ilmu klenik ini seperti orang membaca di tempat ramai atau di dalam kereta api, di atas bus, di pesawat terbang. Tidak diucapkan, tetapi hanya dengan batin. Tidak bersuara pula. Bahkan bibirnya pun tidak bergerak sama sekali.

Gara-gara praktik penyampaiannya yang ’mencurigakan’ inilah, sehingga Belanda pernah melarang. Apatah lagi ilmu ini sering diajarkan di tempat-tempat sepi seperti di pemakaman dan pegunungan terpencil.

Selama 32 tahun berkuasa, Pak Harto memiliki tidak kurang dari seribu dukun, paranormal, wong pinter, dan guru spiritual. Untuk menjaga keawetan daya kleniknya, Pak Harto sering berpuasa setiap sebelum 17 Agustus atau pada hari-hari penting lainnya.

Dia pun dikelilingi benda-benda pusaka dari zaman lampau. Maksudnya, untuk meminjam kekuatan magis benda-benda itu. Dia pun sering nyekar ke tempat-tempat yang dikenal keramat.

Kenyataan inilah yang menyebabkan banyak orang segan pada Pak Harto. Bahkan, banyak tersebar, Pak Harto memiliki dukun ampuh di mana-mana, membuat banyak orang tak berani main-main. Padahal, dukun itu adalah orang biasa yang mampu berkomunikasi dengan kekuatan gaib.

Kekentalan Pak Harto dengan kekuatan spiritual Jawa juga ditandai dengan seringnya beliau mengambil contoh dalam kisah pewayangan. Salah satu tokoh yang selalu diibaratkannya adalah Semar. Semar ini selalu dikaitkan dengan mesem, tersenyum. Dari nama itulah, dia menggunakan Surat Perintah Sebelas Maret dengan singkatan Super Semar.

Tokoh Semar secara tidak langsung telah memberi inspirasi pada momentum pada hari itu, saat Presiden Soekarno memberi kekuasaan pada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan, termasuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.

Dalam setiap fotonya, di mana pun, termasuk di lembaran uang kertas, wajah Soeharto selalu mesem. Dia selalu tersenyum. Strategi ini konon ia pelajari dari ilmu Suryomentaram.

Soeharto tak perlu mengerahkan bala tentara, tetapi lawan bisa dibuat takluk dan menyerah. Kecerdikan Soeharto menyingkirkan Soekarno yang memberinya Super Semar, membuat dia selalu tersenyum. Kalau Soeharto tidak tampil tersenyum, pasti ada yang tak beres dengan anak petani Kemusuk itu. OG Roeder menyebut dalam bukunya The Smiling General, kalau tidak tersenyum, jangan-jangan Soeharto sakit.

Asvi Warman Adam (baca: Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia, 2004) menulis, pada tahun 1965, ia memiliki jabatan rangkap. Dia sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) – yang pertama --, juga Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang juga pemegang Super Semar yang mengantarnya menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967.

Hebatnya, Soeharto sangat lihai memanfaatkan jabatan-jabatannya itu, sehingga lolos dari perangkap ‘koreksi’ atau kritik kabinet. Misalnya, untuk membubarkan PKI, ia memakai nama Presiden Soekarno yang memberinya Super Semar 1966.

Untuk hal lain, dia memutuskan atas nama Pangkostrad. Bila memakai posisinya selaku Menpangad, jelas kebijakannya itu bakal panjang dan masuk agenda sidang kabinet. Pangkostrad jelas tidak bisa ditegur oleh kabinet. Kecuali oleh atasannya, yang tak lain adalah Soeharto sendiri.

Kelihaian Soeharto ini juga digambarkan oleh David Jenkins, salah seorang wartawan Australia (Sidney Morning Herald) dalam bukunya bertajuk Soeharto and His Generals, Indonesian Military Politics (1984).

Kepercayaan Soeharto akan tuah budaya Jawa juga tervisualisasi dalam kehidupan kesehariannya. Misalnya saja, dia membawa topeng Gajah Mada yang berasal dari Bali masuk Istana Merdeka.

Gajah Mada adalah maha patih yang berhasil menyatukan Nusantara. Soeharto mungkin mengandaikan topeng itu dapat memberi kekuatan magis agar dia mampu menyatukan Nusantara seperti yang dilakukan Gajah Mada dulu.

Dia juga mendatangkan gong keramat dan keris-keris dari Keraton Surakarta. Dengan seabrek benda budaya yang dimilikinya, seakan-akan apa yang keluar dari mulutnya juga bertuah dan keramat.

Bahkan, dia seolah-olah menjadi orang Jawa yang sakti. Jika meludah, bisa berupa api yang menjilat siapa pun. Dia sering diibaratkan sebagai aji welut putih.

Walaupun banyak orang maklum akan keakraban Soeharto dengan dunia klenik dan sejenisnya, namun tak seorang pun berani mengungkapkannya. Terlebih lagi saat dia berkuasa.

Menyebut-nyebut miring nama Soeharto saja, apalagi sisi lain yang selama ini tidak terungkap, sama artinya dengan membuat masalah. Membuat urusan menjadi cepat jatuh ke tangan aparat keamanan. Menjadikan hidup di bumi republik ini tidak aman lagi. Kopkamtib di tingkat pusat dan Laksusda di tingkat provinsi adalah kata yang bagaikan singa yang siap menerkam. Mengerikan.

Surat kabar dan media massa pun tak akan pernah berbuat bodoh untuk menulis yang seperti itu. Tidak ada yang mau ambil risiko. Memperbincangkan Soeharto, sama saja dengan mencari urusan sampingan yang sulit penyelesaiannya. Sangat merepotkan.

Jika pun ada yang berani memperbincangkan Soeharto, itu terjadi di kalangan terbatas nun jauh dari keramaian kota. Jauh dari ’kuping-kuping’ kaki tangan Soeharto. Tepatnya hanya disampaikan secara bisik-bisik. Seperti juga klenik dan kadar kemampuan spiritual itu.

Tetapi, setelah Soeharto tak berkuasa lagi, media massa pun ramai-ramai memberanikan diri melanggar larangan dan yang tabu sepanjang Orde Baru berkuasa.

Setelah Ibu Tien meninggal secara aneh pada tanggal 28 April 1996, sebagian kekuatan dan kehebatan Soeharto berkurang. Sebab, kehebatan pria Kemusuk itu, konon justru terletak pada konde Ibu Tien.

Kabarnya, selama ini mendiang dengan nama lengkap Siti Hartinah itulah yang menjadi perantara turunnya wangsit itu. Satu jam setelah Ibu Tien wafat, konde itu sudah raib entah ke mana. Menurut bisikan gaib bisa ditemukan di petilasan pertapaan Panembahan Senopati yang dikenal dengan Banglampir.

’’Untuk mendapatkan kembali konde itu seseorang harus menjemputnya ke puncak Gunung Mahenoko atau Gunung Lanang, di Desa Blimbing, Kelurahan Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, jangan sampai melewati pukul 10.00,’’ tulis Arwan Tuti Artha.

Menurut kepercayaan, hilangnya konde ini apabila belum ditemukan bisa menjadi rebutan orang-orang yang berkeinginan menjadi pemimpin. Tak heran banyak orang berdatangan ke Banglampir, karena di situlah turunnya wahyu keraton.

Wahyu keraton pernah turun untuk Panembahan Senopati, sehingga dia bertakhta di Kerajaan Mataram. Konon, petilasan ini masih banyak dihuni macan putih yang sewaktu-waktu bisa muncul.

Selain konde, begitu Sudjono Humardani dalam wawancaranya dengan H.M Nasaruddin Anshoriy Ch yang dikutip Tuti Artha, Soeharto juga mendapat kembang wijayakusuma dari Nusakambangan yang kemudian dibawanya ke Cendana. Wijayakusuma inilah yang secara spiritual menopang semua kehebatan dan keberuntungan Soeharto.

Soeharto juga banyak berkomunikasi dengan berbagai dukun, kiai, guru spiritual, orang yang memiliki ilmu linuwih, untuk mendapatkan pegangan. Ada yang memberi jimat untuk kekuasaan agar langgeng. Ada yang mengirim empat naga besar agar terhindar dari santet dan tenung.

Ketika Soeharto masuk rumah sakit, betapa pun penyakitnya bertumpuk-tumpuk, tetapi tetap sehat. Pasalnya, ada berbagai macam jimat yang mengendap di tubuhnya! (de@r).

Misteri Ikan Raksasa di Dasar Danau Toba




 Lela Siregar, warga Tanjung Pinggir, Siantar Martoba, Sumatera Utara yang telah menemukan seekor ikan raksasa di Sungai Sigulang-gulang  pertengahan 2011 yang lalu.


Sungai Sigulang-gulang merupakan anak sungai yang mengalir dari danau Toba. Ikan raksasa yang panjangnya sekitar 1,5 meter dan berbobot hampir 40 Kg ini mengundang perhatian banyak warga. Mereka berdatangan untuk menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Pada saat itu, keluarga Sinaga yang tinggal tidak jauh dari kediaman Lela Siregar datang berkunjung dan meminta ikan raksasa tersebut.
Mereka mengatakan bahwa ikan raksasa itu adalah namboru mereka. Namboru adalah kata lain dari bibi atau tante. Karena merasa sedang berurusan dengan kehormatan leluhur orang lain, Lela Siregar pun merelakan ikan raksasa itu berpindah ke rumah Maju Sinaga.
Di rumah Maju Sinaga, ikan raksasa tersebut diletakkan di sebuah ranjang yang rapi, dengan mangkok berisi beras, telur ayam, dan jeruk purut di sampingnya. Seorang perempuan tua melarang orang-orang yang ingn mengabadikan ikan tersebut.
Selanjutnya, keluarga Sinaga akan membawa ikan tersebut ke kampung mereka di Kecamatan Mogang, Samosir. Nantinya ikan ini akan dilarungkan ke Danau Toba supaya bisa kembali ke hadapan namboru mereka. Keluarga Sinaga rupanya percaya ikan ini adalah sampan bagi leluhur mereka itu.
“Saudara kami di datangi namboru di dalam mimpinya tiga hari sebelum ikan itu ditemukan. Namboru menyuruh kami mencari solu-nya (sampan) yang hanyut,” kata seorang perempuan muda kerabat Maju Sinaga ketika itu.
Maju Sinaga mengaku tidak perduli jika orang lain menganggap aneh perlakuan mereka terhadap si ikan raksasa. “Biarlah orang menganggap orang aneh. Ini kepercayaan kami. Memang sudah sejak dulu begini,” katanya.
Bagi sebagian masyarakat di sekitar danau Toba, ikan raksasa jenis Arapaima ini dipercaya merupakan “sampan” bagi leluhur mereka dan karena itu, mesti diperlakukan dengan sebaik-baiknya jika ditemukan oleh warga sekitar.

PENEMUAN IKAN BATAK RAKSASA DI DANAU TOBA

Selain ikan raksasa seperti yang ditemukan Lela Siregar, danau Toba memang dikenal memiliki sejumlah spesies ikan langka di dunia. Salah satunya adalah ikan Batak. Umumnya ikan batak hanya memiliki berat antara 1-5 kg dan untuk sebesar itu, saat ini sudah sangat sulit untuk ditemukan.
Ikan Batak Raksasa di Danau Toba
Tetapi alangkah mengejutkannya ketika ada ikan Batak Raksasa yang ditemukan seorang nelayan di perairan pantai Danau Toba, tepatnya di Desa Parparean, Kecamatan Porsea, Tobasa, 5 November 2013 lalu. Seekor ikan Batak Raksasa dengan berat 23 kilogram dengan panjang 1,5 meter. Benar-benar ikan raksasa!
Penduduk di sekitar mengakui bahwa ikan Batak raksasa ini baru pertama kali ditemukan. Ini merupakan sejarah bagi Suku batak di sekitar wilayah tersebut. Ikan Batak sering dipergunakan untuk obat dan juga persembahan kepada nenek moyang.
Dipercaya, mereka yang menemukan ikan Batak di danau Toba sudah sangat beruntung. Ikan batak kalau dibeli tidak ada istilah tawar menawar harga. Berapa pun harga yang dipatok pemiliknya, ikan Batak tetap akan dibeli karena menyangkut kepercayaan dan mitos yang sudah melegenda.

IKAN RAKSASA DI PINGGIRAN DANAU TOBA

Entah berhubungan atau tidak dengan legenda atau mitos adanya ikan raksasa di dasar danau Toba, tetapi saat ini kita bisa menjumpai adanya bangunan berbentuk ikan raksasa di daerah Sipolha, Parapat.
Bangunan ini tidak jelas sejarah peruntukannya. Ada yang bilang bahwa dulunya bangunan ini adalah hotel, namun ada juga yang bilang jika ini adalah bekas restoran. Ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya bangunan ini adalah bekas perpustakaan yang sudah lama tidak dipakai.
Ikan Raksasa di Pinggiran Danau TobaBangunan berbentuk ikan raksasa di Parapat, pinggiran danau Toba
Jika kita masuk ke dalam bangunan tua ini, dari jendelanya kita bisa menyaksikan pemandangan indah danau Toba dari sisi yang berbeda, bagaikan kolam raksasa dengan air yang tenang dengan pulau Samosir di kejauhan

Kamis, 01 Agustus 2013

Turi-Turin Beru Ginting Sope Mbelin

Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.
Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antara lain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.

Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.

Selasa, 30 Juli 2013

Martutu Aek, Tradisi Pembaptisan Batak Kuno


Martutu aek adalah pembaptisan, pada tradisi Batak kuno, dengan air kepada seorang anak yang baru lahir (sekitar usia tujuh hari) dengan membawanya ke homban (mata air di tengah ladang). Upacara ritual ini dimulai dengan doa yang disampaikan oleh Ulu Punguan kepada Mulajadi na Bolon. Kemudian sang Ulu Punguan membentangkan ulos ragi idup di atas pasir. Lalu Ulu Punguan meneteskan minyak kelapa ke dalam cawan yang telah berisi jeruk purut untuk memastikan bahwa tondi si bayi tersebut berada di dalam badan.
Setelah itu, bayi yang hendak diberi nama dimandikan di mata air. Ulu Punguan lalu menyapukan kunyit ke tubuh bayi dan menguras bayi tersebut degan jeruk purut. Setelah diuras, Ulu Punguan mengoleskan minyak kelapa ke dahi bayi. Lalu, Ulu Punguan mencabut pisau Solam Debata yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Dengan memohon kepada Mulajadi Na Bolon, Ulu Punguan menarikan kain putih agar kain putih tersebut diberkati oleh Mulajadi Na Bolon sebagai pembungkus bayi agar mereka di kemudian hari jauh dari marabahaya.
Sumber lain, Negeri Bakara, mengatakan bahwa bila bayinya laki-laki turut dibawa hujur (tombak) sebagai simbol laki-laki, jika perempuan turut dibawa baliga (perkakas tenun berbentuk seperti sisir) sebagai simbol perempuan. Dan saat Datu menciduk air dan memandikan bayi tersebut, dengan diiringi tangis bayi, diucapkanlah oleh Datu: “sai lam tu toropnama soara ni anak dohot boru tu joloan on“ (semoga makin ramai suara anak dan boru di masa mendatang) maksudnya sebagai pengharapan agar keturunan suku Batak semakin banyak, baik laki-laki dan perempuan.
Bayi kemudian dibawa kembali ke rumah, dilanjutkan dengan acara pemberian nama. Pemberian nama dipertimbangkan dengan cermat, karena Suku Batak meyakini nama dan tondi harus sejalan. Jika mambuat goar ni Ompu atau mengambil nama seperti nama Ompung atau leluhurnya, maka harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan saompu (satu leluhur). Setelah mendapat doa restu keluarga dan sanak saudara, maka syahlah nama anak tersebut, dilanjut makan bersama seluruh keluarga sebagai ungkapan syukur.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Toba harus melakukan berbagai aturan kepercayaan yang salah satunya adalah martutu aek. Martutu Aek juga diartikan sebagai acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada Mulajadi Nabolon dan meminta agar bayi itu disucikannya. Setelah Kristen masuk ke Tanah Batak, Adat Martutu Aek ini kemudian menjadi sama dengan baptisan Kristen (Tardidi atau Pandidion) yang dilaksanakan di gereja oleh Pendeta dengan memercikkan air kepada si Bayi atau anak.

Legenda Guru Saman

guru saman 

Cerita Guru Saman kurang begitu tersiar dihalayak umum, khususnya bagi orang Batak baik berada di kota maupun yang di huta. Kurang tau penyebabnya apa, mungkin saja salah satu alasannya cerita yang konon adalah kejadian nyata dari cerita pengakuan orangtua dulu, bahwa semua karakter Guru Saman yang tidak manusiawi. Pembunuh, preman habis dan urak-urakan.
Mendengar nama Guru Saman, masyarakat begitu menyegani sekaligus sangat membencinya. Banyak yang menghindar apabila melihat apalagi mendekati Guru Saman, karena perbuatannya yang semena-mena jagoan inipun tidak segan-segan untuk berbuat kasar bahkan membunuh semua orang yang dia benci.
Guru Saman, dia adalah seorang turunan Lau Balang yang berasal dari Tanah Karo. Semasa remajanya, Guru Saman belajar ilmu silat (moncak Batak), ilmu kebal tikam dan ilmu hitam lainnya yang didapatkannya dari seorang guru kebatinan. Setelah semua ilmu yang diajarkan gurunya dikuasai, mulailah muncul niat Guru Saman untuk merantau meninggalkan tanah Karo menuju Tanah Tapanuli. Dengan ilmu yang dia miliki membuat dirinya sangat berani kemana saja dihendaki. Bahkan dengan ketenarannya pada saat itu banyak orang yang mengandalkan Guru Saman sebagai pembunuh bayaran. Guru Saman tidak akan pernah segan-segan untuk membunuh manusia, siapa saja termasuk yang tidak disukai atau dibenci Guru Saman.
Hampir seluruh daerah Karo di datangi sembari menujukkan kehebatannya kepada orang-orang. Merek dan Saribu Dolok adalah kampung yang dilaluinya dari jalan-jalan hutan. Disinilah Guru Saman menunjukkan |gobatak.com| kehebatannya dengan berbuat semena-mena terhadap orang-orang di perkampungan dan pasar-pasar. Makan dan minum di warung-warung warga tanpa membayar sepeserpun. Jika warga tidak menuruti segala permintaannya, mereka akan menjadi korbannya.
Kemudian dari dua perkampungan tersebut Guru Saman melanjutkan perjalannya menuju Sipahutar melewati SiborongBorong dan Garora. Kedua tempat persinggahan inipun tidak luput dari aksi brutalnya. Minum tuak dan makan paganggang sesukanya, dia akan memaksa orang perkampungan untuk menyediakan makanan meski sudah tidak ada lagi. Jika tidak, dengan wajah sangar sembari menancapkan belati dengan mengancam – darah pemilik warung tuakpun menjadi minumannya sebagai pengganti tuak. Bukan hanya itu, harta dan uang warga juga dia rampok untuk dia hamburkan diatas meja judi.
Setelah beberapa waktu pergi ke Sipahutar, daerah Tapanuli Utara, dia lakukan juga pembunuhan kepada seorang pelayan gereja yang bernama Guru Martin, sekaligus dengan Klara, istri yang sedang berbadan dua. Pembunuhan dilakukan atas desakan Hermanus, kepala desa Sipahutar dan bekas murid Guru Saman. Seminggu sebelumnya Hermanus sekeluarga sempat menyerang Guru Martin saat pasca ibadah gereja. Hermanus merasa tersinggung karena uang pembangunan gereja yang digunakan selama ini disinggung tiba-tiba dalam pertemuan itu. Ketersinggungan itu akhirnya dibawa pulang ke rumah dan menjadi motif kemarahan Guru Saman dan rencana pembunuhan tepat pada Sabtu malam.
Pembunuhan sadis tersebut yang dilakukan oleh Guru Saman adalah akhir hidupnya. Setelah warga Sipahutar mengetahui siapa pembunuh Guru Martin, segera warga pelapor kepada polisi di Tarutung. Guru Saman dan muridnya itu ditangkap dan diadili. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.
Inilah pesan Guru Saman kepada warga yang menyaksikan hukuman tersebut: “Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”
Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.
Cerita sejarah Guru Saman sudah pernah diangkat dalam bentu drama dan opera oleh para seniman-seniman Batak. Ada motivasi yang diambil dari cerita tersebut diatas yakni tentang sikap orangtua kepada anak-anak agar tidak memancakan anaknya.

Ikan Batak di Mual Sirambe


Mual sirambe, satu embung kecil yang airnya jernih dan dingin. Mengalir dari celah batu yang dipenuhi dengan ikan batak yang lajim disebut “Ihan”.

Berada di desa Bonandolok Kecamatan Balige. Lebih dekat dari Laguboti, jaraknya sekitar 5 kilometer. Yang masih remaja tahun 70-an di Toba sudah pasti tau riwayat Mual Sirambe ini karena menjadi obyek wisata lokal.
Ihan itu jarang menampakkan wujudnya, bila nampak, itu ada pertanda rejeki bagi yang melihatnya, kata penduduk setempat. Dikatakan, ada yang berulang datang kesana karena pada kesempatan pertama ihan itu tidak muncul, tapi sayangnya pada kunjungannya yang kedua, ihan itu juga tidak muncul.
Pada kesempatan kami berkunjung kesana bersama Kabid Perikanan Dinas Pertanian Tobasa, ikan itu sedang ramai bercanada dipermukaan air. Menakjubkan. Ihan itu menyambar kacang yang kami lemparkan setelah dikunyah lebih dahulu. Katanya, air liur kita yang dimakan ikan itu akan semakin mendekatkan kita dengannya. Ikan-ikan itu tidak bereksi terkejut begitu kami sampai di embung dekat lubuknya. Ihan sangat sulit disaksikan di alam habitatnya seperti di sungai dan danau Toba. Gerakannya sangat cepat, punggungnya agak kehitaman.
sirambe_02.jpg 
Penduduk di Sirambe tidak pernah memakan ikan itu. Itu terlarang sejak dahulu. Ikan itu adalah representasi boru Siagian yang memilih akhir hidupnya disana.
Konon, katanya pada zaman dulu kala, seorang putri dijodohkan dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe. Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda. Batu itu, diyakini sebagai perwujutan dari “namboru boru Siagian” yang menjadi penghuni Mual Sirambe.
Ihan Sudah langka.
Ihan memiliki nilai religius tersendiri, terutama dalam upacara adat. Sekarang, ikan tersebut mulai langka. Karena penangkapan terus berlangsung, tapi perkembang biakan di alam menurun.
Pada jaman dulu penangkapan ihan di danau toba biasanya dengan menggunakan sabaran beruba susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan tenang. Setelah mereka masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan. Tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya yang dapat mengganggu pertumbuhan jentik. Pamijahan ikan lajimnya di hulu sungai yang jernih untuk menghindari prederator yang ada dikolam raksasa itu.
Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu adalah alam habitat ihan batak. Masyarakat sekitar yang hendak menangkap ihan dari sungai itu sudah punya aturan dan cara tersendiri. Aturan can cara itu tujuannya untuk tidak terjadi perusakan apalagi niat menghancurkkan ikan sakral itu.
Namun, masyarakat disana pernah mengutarakan kekecewaan mereka, ketika masyarakat dari kota datang menangkap ikan di sungai itu dengan menggunakan stroom listrik. Itu akan membunuh anak ikan, keluh mereka. Belum ada peraturan daerah untuk perlindungan ikan langka itu.
Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan Tobasa, melaksanakan kegiatan “Pembuatan Kolam Penampungan”. Tujuannya, agar ikan yang keluar dari lubuk dimaksud, dapat tertampung . Diharapkan, lubuk larangan yang menjadi habitat ihan yang menjadi kebanggan orang Batak ini, bisa dilestarikan. Tujuan paling utama, yaitu pelestarian. Lubuk larangan akan dipagari berdasarkan nilai etika dan estetika. Sehingga, pada gilirannya bisa berpeluang menjadi objek agro wisata minat khusus. Eksistensi ihan batak yang legendaris, harus dapat dipertahankan.
Aek Sirambe, diyakini merupakan habitat paling sesuai. Juga, merupakan situs menarik yang unik dan legendaris. Disana sudah dibangun sebuah kolam untuk pembiakan ihan itu dan selanjutnya dilepas kehilir sungai. Bila ini berhasil, sungai itu akan dipenuhi ihan yang dapat ditangkap dan dimakan.
Kualitas air sirambe sangat bagus, memungkinkan untuk syarat hidup ikan yang sudah hampir langka ini. Yaitu, hanya bisa hidup pada air jernih yang terus mengalir deras, dengan suhu relatif rendah 21 – 25 derajat Celcius. Kebiasaan dari ikan ini, berkelompok dan beriring (mudur-udur).
Dengke Simudurudur
Ada pemahaman saat ini bahwa dikatakan simudurudur karena ikan yang sudah dimasak dijajarkan beberapa ekor diatas nasi dalam piring. Namun leluhur kita yang arif dan bijak itu tidak menggambarkan sfat mati untuk harapan sifat hidup. Ihan dan porapora memiliki sifat hidup mudurudur ke satu arah tertentu. Ini tidak dimiliki sifat ikan mas, menurut pengamatan para leluhur.
Yang dikatakan masyarakat batak dengke simudurudur adalah ihan dan porapora. Ikan mas tidak termasuk kategori dengke simudurudur, tapi disebut dengke namokmok. Kedua jenis ihan dan ikan mas dikategorikan juga dengke sitiotio, tidak termasuk porapora. Simudurudur adalah sebutan dari sifat ikan itu semasih hidup, yaitu ihan dan porapora. Simudurudur bukan menggambarkan (sifat) ikan yang sudah mati, dimasak dan dibariskan dalam piring. Leluhur selalu menggambarkan sifat hidup dan untuk hidup.
Porapora adalah pilihan kedua dalam acara mangupa setelah ihan. Ikan mas adalah pilihan ketiga. Saat ini masyarakat adat sudah melupakan sifat ikan itu yang marudurudur dan telah mengatakan itu pada ikan mas dan menjadi pilihan pertama