Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Minggu, 30 Juni 2013

TANAH AIR BATAK TERSEBAR DI BEBERAPA PROVINSI

TANAH BATAK TERSEBAR DI BEBERAPA PROVINSI


Wilayah sejati Rumpun Etnis Batak sesungguhnya lebih luas dari sebagian wilayah Tanah Batak yang saat ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara (SUMUT).
Beberapa daerah dan Sub rumpun Etnis Batak yang wilayahnya terletak di luar Provinsi Sumatera Utara saat ini adalah :

1. Gayo, Kluet, dan Alas 

Berdasarkan penelitian ahli anthropolgi, ahli bahasa, dan pakar budaya pada jaman Penjajahan Belanda yaitu Prof. Van Vollenhoven menemukan banyak kesamaan adat istiadat asli (sebelum dipengaruhi agama yg masuk belakangan), kesamaan budaya, kesamaan asal etnis, dan kesamaan dasar rumpun bahasa antara Batak Karo dengan Suku Batak Gayo dan Suku Batak Alas. Ketiga Suku ini dimasukkan Belanda ke dalam wilayah Aceh sejak penaklukan Aceh. Ketiganya dimasukkan Belanda sebagai bagian dari wilayah Keresidenan Aceh yang berpusat di Kutaradja (Banda Aceh, sekarang). Dalam hal ini Belanda mengesampingkan kenyataan perbedaan etnis, bahasa, adat istiadat, budaya dan sejarah yang ada diantara Suku Aceh dengan Suku Batak Gayo, Batak Kluet, dan Suku Batak Alas.
Van Vollenhoven mengklasifikasikan Rumpun Adat ini sebagai Rumpun tersendiri yang sejajar dengan Rumpun Budaya Batak yaitu Rumpun Gayo Alas Karo.
Dikatakannya kedua rumpun ini (Rumpun Batak dan Rumpun Gayo Alas Karo) memiliki kekerabatan dan sejarah awal yang berhubungan. Sehingga Rumpun Induk Suku Batak terdiri dari 2 Sub Rumpun Induk yaitu : Sub Rumpun Budaya Batak dan Sub Rumpun Budaya Gayo Alas Karo.
Masing2 sub Rumpun terdiri lagi atas beberapa Sub Suku yang sering dikenal dengan istilah Puak. Sub Rumpun Batak Gayo Alas Karo terdiri dari Puak-puak : Karo, Gayo, dan Alas, termasuk di dalamnya Suku Kluet yang juga dikategorikannya sebagai bagian dari Puak Batak ini.
Sedangkan Sub Rumpun Batak terdiri dari Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun dan juga Pakpak serta Singkil.
Pakpak dan Singkil menurutnya sebetulnya lebih tepat dikategorikan menjadi budaya peralihan yang terletak di pertengahan antara kedua klasifikasi Sub Rumpun Batak ini.
Secara mendatail ditemukannya banyak data yang menunjukkan lebih banyak persamaan antara ketiganya (Gayo, Alas, dan Karo). Penelitian seorang ahli Belanda lainnya yaitu Ypes yang khusus mempelajari budaya Batak Karo menemukan banyak data hubungan Puak ini dengan Gayo dan Alas, serta juga dengan Pakpak dan Singkil. Jauh lebih sedikit persamaan yang bisa ditemukan bila dibandingkan dengan rumpun Batak lain (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing).
Puak Karo memiliki cukup banyak persamaan dengan Pakpak dan Singkil dari segi Bahasa Daerah yang memiliki persamaan akar dialek, sementara secara adat dan budaya, Batak Pakpak dan Batak Singkil lebih dekat kepada Rumpun Batak Toba. Mungkin karena wilayah ini dalam sejarahnya menjadi daerah kekuasaan dan sekutu Toba di bawah Dinasti Sisingamangaradja dalam waktu yang sangat panjang.
Dalam sejarah banyak ditemukan kisah perantauan dari Karo dan Pakpak yang kemudian menetap di Tanah Gayo dan Tanah Alas dan sebaliknya. Banyak garis keturunan diantara ketiganya yang masih bisa ditelusuri hingga saat ini. Bahkan dalam sejarah juga dicatat kekuasaan kerajaan Alas dan Kerajaan Gayo sering menyerang dan menduduki wilayah Karo Atas (Karo Gunung di Tana Karo) hingga mencapai wilayah Simalungun. Orang Batak Gayo dan Batak Alas bahkan tercatat dalam sejarah mendirikan Dinasti beberapa kerajaan kecil di Simalungun dan Karo Gunung. 


2. Singkil 



Selain Gayo dan Alas, sesungguhnya wilayah Suku Batak juga mencakup Daerah Singkil yang saat ini juga termasuk wilayah Aceh. Budaya, adat istiadat asli dan bahasa daerah Singkil berkerabat dekat dengan Puak Batak Pakpak di Dairi. Begitu pula dengan marga-marga asli Singkil merupakan varian dari marga Pakpak. Disamping etnis Batak Singkil asli juga banyak bermukim keturunan Toba yang telah berabad-abad tinggal di sana dan menjadi orang Singkil sepenuhnya dalam budaya dan bahasa daerah Singkil. Kendati menjadi orang Singkil mereka masih tetap menggunakan marga yang 100% asli Toba, seperti Sinambela, Marpaung, Pardosi, Hutabarat, Hutajulu, Silalahi, Sihite, Situmorang, Pardede, Bakkara, Pasaribu, Sinaga, Simangunsong, Sidabutar, Tanjung, Pane, dll.
Daerah Batak Singkil dilepaskan Belanda dari lingkungan budaya Batak secara global dimasukkan ke dalam wilayah Aceh di masa penghujung kekuasaan Sisingamangaradja. Pada saat itu Sisingamangaradja XII sedang bertahan di Dairi dengan segenap kekuatan terakhirnya. Kekuatan beliau terdiri dari Pasukan inti dari Batak Toba yang masih setia padanya dengan tambahan pasukan dari Batak Pakpak, dan juga sekutunya Batak Singkil yg umumnya Muslim. Disamping itu juga ada bantuan dari Batak Gayo yang dikirim oleh Kesultanan Aceh karena mereka mengabdi kepada Kesultanan Aceh.
Pertahanan Sang Raja Sisingamagaradja XII di Tanah Dairi Pakpak sangat kuat sehingga sulit ditembus oleh pasukan Belanda yang menyerang dari arah Selatan (Tanah Toba ex wilayah kekuasaan Sisingamangaradja dan Sibolga Barus es kekuasaan Kesultanan Batak Barus) dan Timur (Tanah Simalungun ex wilyah kekuasaan Raja-raja Simalungun dan Tanah Karo ex kekuasaan Raja-raja Karo). Belanda kemudian meminta bantuan kepada Gubernur Militer dan Residen Aceh untuk mengirimkan pasukan Belanda dari Aceh untuk menjepit kekuatan Sisingamangaradja XII dari arah Utara. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memutuskan akses wilayah Dairi ke daerah pesisir pantai oleh Pasukan Belanda yang di datangkan dari Aceh tersebut.
Pasukan bantuan dari daerah Aceh ini menyerang dari Utara (dari arah Tanah Gayo dan Tanah Alas) menduduki Tanah Singkil, menghancurkan Kerajaan Batak Singkil yang masih berkerabat darah dengan Dinasti Sisingamangaradja. Dengan ditaklukkannya Singkil, berarti terputuslah jalur bantuan kekuatan dari Barat yang memiliki akses ke laut.
Selanjutnya dibuat kesepakatan oleh kedua Residen untuk memberikan wilayah Singkil kepada pasukan dari Aceh dan dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Atjeh.
Pendudukan Singkil ini sangat membantu Pasukan Belanda yang menyerang dari Selatan (Sumut) untuk mengobrak-abrik pertahanan sang Raja yang praktis hanya bertahan di sekitar Tanah Dairi. Selanjutnya seperti yang sudah diketahui di penghujung perjuangan, Sang Raja akhirnya tewas tertembus peluru musuh.
Sejak itu secara resmi terpisahlah Batak Singkil dari saudara serumpunnya di Tanah Dairi Pakpak oleh Belanda sebagai bagian politik devide et impera. Pemisahan ini terus berlangsung hingga saat ini dengan ditetapkannya menjadi bagian integral dari Prov. D.I. Nanggroe Aceh Darusssalam (NAD) sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Begitulah ketiga wilayah bersuku Batak ini oleh Belanda dianeksasi dan dimasukkan ke dalam wilayah Aceh secara sepihak. Ketiga daerah ini tidak pernah sudi dikategorikan sebagai orang Aceh. karena memang hampir tidak ada persamaan antara orang Aceh dengan mereka , kecuali hanya sama-sama beragama Islam.
Saat ini Wilayah Gayo dan Wilayah Alas sedang berjuang masing-masing secara konstitusional untuk melepaskan diri dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara wilayah Singkil belum terdengar resonansi perjuangannya sampai meletup menjadi upaya serupa yang sistematis.

3. Rao 
 
 
 Daerah Rao dalam sejarahnya dihuni oleh Etnis Batak yang berkerabat dekat dengan Puak Batak Mandailing. Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa orang Rao adalah Etnis Batak dari Puak Mandailing yang wilayahnya termasuk Provinsi Sumatera Barat. Oleh Belanda daerah ini dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera’s Westkust (Sumatera Barat) pada saat penaklukan wilayah ini dari tangan Kaum Paderi thn 1837M. Pada saat itu Tanah Rao yang dominant bersuku Batak adalah merupakan salah satu pusat kekuatan kaum Paderi. Sehingga sejarah mencatat bahwa sebagian diantara tokoh kaum Paderi sejatinya adalah dari etnis Minangkabau bermarga Batak.
Sejak itu wilayah ini praktis menjadi bagian yang tek terpisahkan dari Sumatera Barat hingga masa kemerdekaan saat ini. Dan seperti daerah lainnya yang terpisah dari wilayah induknya, perasaan kebatakan mereka pun cenderung melemah sehingga dengan tanpa rasa bersalah mereka menyatakan diri sebagai orang Minangkabau kendati sebagian diantaranya masih menggunakan marga Batak. Sedangkan sebagian besar diantaranya menggunakan nama Suku (Marga di Minangkabau disebut Suku) : Mandailiang. Tentu saja nama ini agak sukar dibantah bila dikatakan memiliki asal dari kata Mandailing dengan aksen dialek Minangkabau.

4. Beberapa wilayah kecamatan di Rokan Hulu Riau
 

Beberapa wilayah di sekitar perbatasan Rokan Hulu di Provinsi Riau dengan wilayah Padang Lawas di Sumatera Utara sejatinya adalah bersuku Batak yang masih berkerabat dengan Puak Mandailing. Wilayah mereka juga dimasukkan ke dalam wilayah Administrasi Keresidenan Riouw pada jaman penjajahan Belanda setelah penaklukan kaum Paderi gelombang terkhir yang dipimpin oleh tokohnya Tuanku Tambusei. Sesungguhnya Tuanku Tambusei adalah putera asli daerah Rokan Hulu yang bermarga Harahap.
Sejak itu wilayah ini termasuk dalam lingkungan Budaya Melayu Riau yang kental hingga akhirnya para penutur bahasa dan adapt istiadat Batak terabsorbsi sepenuhnya menjadi orang Melayu dengan meninggalkan marganya. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak diantaranya yang masih memiliki cerita sejarah leluhur meraka yang berasal dari Etnis Batak. Keresidenan Riouw pada jaman Kemerdekaan RI setelah melewati sejarah yang cukup panjang akhirnya sekarang telah menjadi Provinsi Riau.

5. Beberapa wilayah Batak lainnya 1861-1907 M.
Belanda tidak sabar untuk menguasai lahan-lahan pertanian Tanah Batak yang masih dimiliki Sisingamagaraja XI. Untuk menyerangnya secara frontal Belanda pada masa itu belum mampu karena di pihak lain dan di dalam negeri mereka banyak menghabiskan tenaga untuk menumpas berbagai pemberontakan. Sementara itu pada saat yang sama, kerajaan-kerajaan pribumi tidak menyadari keunggulan mereka.
Belanda kemudian menerapkan Politik Devide et Impera dari Pantai Timur dengan kebijakan Zelbestuur, artinya swapraja. 


Tanah Batak Raya dipecah menjadi:

1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja, yang meliputi daerah Tapanuli Selatan (Mandailing, Padang Lawas, Angkola, Sibolga, Pesisir Barus), Tapanuli Utara (Humbang, Silindung, Holbung, Tarutung, Pahae, Toba, Samosir, Muara, dll) dan Tanah Dairi, ditambah kepulauan Nias yang sama sekali bukan beretenis Batak.
 

2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja. Yang meliputi Pesisir Sumatera Timur Mulai dari wilayah Kesultanan Melayu Langkat, Kesultanan Melayu Deli, sampai dengan perbatasan Riau di Selatan, ditambah Wilayah Batak Simalungun dan Wilayah Batak Karo.
 

3. Daerah Batak Singkil, Gayo, dan Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Aceh.
 

Daerah Batak yang menjadi Swapraja yang bercampur dengan puak Melayu dipecah sebagai berikut:
  1. Kesultanan Langkat, di atas kerajaan Karo, Aru/Wampu di Tanah Karo Dusun.
  2. Kesultanan Deli, bekas Kesultanan Haru/Delitua.
  3. Kesultanan Serdang, di bekas Kerajaan Dolok Silo, Simalungun sampai ke Lubuk Pakam.
  4. Distrik Bedagai, dilepas dari Kerajaan Kahean, Simalungun. Di bawah pimpinan otoritas bergelar Tengku.
  5. Kesultanan Asahan yang didirikan oleh Tuanku Mansur Marpaung ex panglima Paderi diberi pengakuan secara hukum.
  6. Kerajaan Kota Pinang, dengan mayoritas penduduk Batak Muslim didirikan dengan kepemimpinan Alamsyah Dasopang dengan gelar Tuanku Kota Pinang.
  7. Kerajaan-kerajaan kecil dan tak mempunyai kekuatan diciptakan, misalnya kerajaan Merbau, Panai, Bila, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk memecah-mecah kekuatan masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, wilayah, dan kepentingan ekonomi. Kerajaan Merbau didirikan oleh salah seorang ex Panglima Tentara Paderi pimpinan Tuanku Mansur Marpaung yang bernama Zulkarnain Aritonang.
  8. Kerajaan Dolok Silo dan Kahaen dipecah tiga kerajaan kecil-kecil.
  9. Di Tanah Karo daerah pegunungan diciptakan Kerajaan Sibayak.
Pihak Gayo, Kluet, dan Alas yang dimasukkan ke Aceh, dan orang-orang Batak Karo, serta Simalungun tidak dapat lagi membela perjuangan Dinasti Sisingamangaraja karena mereka menganggap dirinya masing-masing sudah berbeda kewarganegaraan. Pihak Belanda menguasai setiap check point, untuk mengisolir rakyat setiap kerajaan dan membatasi pelintas batas. Kekuatan ekonomi masyarakat Batak saat itu, praktis, sepenuhnya dikuasai Belanda.
Sementara itu wilayah Tapanuli Selatan bersuku Batak Mandailing dan suku Batak Angkola dan ex Kesultanan Batak Melayu Barus Hulu dan Pesisir Barus Hilir di Tapanuli Tengah juga sudah ditaklukan lebih dahulu oleh Belanda.
Kekuatan Tanah Batak mencapai titik paling lemah dalam sejarah perjuangannya pada masa Sisingamangaradja XII. Hingga akhirnya penguasaan Tanah Batak Toba secara keseluruhan oleh Belanda menyebabkan tersingkirnya Sisingamangardja XII dari ibukota kerajaannya di Bakkara dan menyingkir ke wilayah Pakpak di tanah Dairi yang masih setia kepadanya.
Selanjutnya wilayah Singkil pun dianeksasi oleh Belanda ke dalam wilayah Aceh sehingga praktis sang Baginda hanya tinggal menyisakan wilayah Pakpak Dairi sebagai pertahanan terakhir menjelang ajalnya dalam pertempuran akhir yang menentukan.

Tanah Batak dan Etnis Batak sukar untuk Dipersatukan Kembali
Itulah sekelumit wilayah Bersuku Batak yang saat ini terpisah dalam beberapa Provinsi yang sepertinya mustahil bisa dipersatukan kembali. Kondisinya utama yg dihadapi Etnis Batak sejak dahulu kala adalah adanya resistensi masing-masing Puak Batak yang teguh menentang persatuan diantara mereka.
Juga karena dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak mudah mengakomodasi pemisahan ataupun penyatuan wilayah berdasarkan konsep etnis apalagi agama .... bisa dicap SARA.....

4 komentar:

  1. menarik untuk di baca ,,dan kebetulan aku sangat tertarik untuk menilik kebelakang ,,sekalipun dikatain sedang mencari jati diri,,semakin bnyk aku baca semakin terang,,,

    BalasHapus
  2. menarik untuk di baca ,,dan kebetulan aku sangat tertarik untuk menilik kebelakang ,,sekalipun dikatain sedang mencari jati diri,,semakin bnyk aku baca semakin terang,,,

    BalasHapus