Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Rabu, 07 November 2012

Legenda dari Dairi-Pakpak

LAE ANGKAT & LAE SIBELLEN DI TANOH PADANG SATU SUNGAI DENGAN DUA NAMA


Di Siempat Rube, terdapat sebuah sungai dengan dua nama. Air yang mengalir dari hulu delleng sibarteng menuju lae kombih di Jambu buah rea. Di sekitar Mungkur dinamai lae Angkat, sementara yang mengalir di Jambu Rea dinamai Lae Sibellen, meskipun bersumber dari satu sumber air dan alirannya tidak terpisah atau terbelah. Artinya dia adalah satu sungai. Hal ini menggelitik, sehingga seringkali menimbuilkan pertanyaan bagi banyak orang. Ternyata penyebutan nama Lae Angkat memiliki legenda atau kisah tersendiri sebab namanya semula memang Lae Sibellen. Kisah itu ditelusuri dari beberapa sumber yakni K. Tumangger, Pa Padang, Pa Irfan Manik Alkisah terdapatlah dua anak dari marga Padang yakni Meraja Delleng dan Mertumpak delleng. Meraja delleng dan keturunannya berdiam di Mungkur sehingga sering juga disebut menjadi Padang Mungkur, sementara Mertumpak delleng berdiam di Jambu Buah Rea dan seringkali pula dinamai Padang Jambu. Meraja Delleng tidak memiliki keturunan laki-laki meskipun dia memiliki dua isteri. Yang satu menurut cerita berru Manik dan satunya lagi Berru Maha. Pada saat kisah ini, Si berru Maha sedang “mberat-mberrat rumah” (hamil). Adek Meraja Delleng yakni Mertumpak delleng melihat keadaan abangnya lalu kemudian menawarkan anaknya ke tujuh kepadanya untuk diangkat sebagai anak (pekuanak), sebagai sesuatu yang dapat menyenangkan abangnya. Sebab bagi Pakpak umumnya tanpa keturunan lelaki cenderung kurang menyenangkan Anak ini bernama Tatakuit, dan kemudian tinggal di rumah Meraja Dellng dan menjadi anak angkatnya. Pada suatu ketika, Meraja delleng mengalami sakit keras,dalam waktu yang cukup lama. Pada satu saat timbul niat atau keinginannya atau kerinduannya untuk meminum pola dari Jambu Rea, dan meyakini bahwa hal itu akan dapat mengobati sakitnya. Sebab pola dikampung adiknya itu terberita rasanya enak. Lalu disuruhlah si Tatakuit pergi untuk mengambil pola tersebut ke Jambu. Dengan membawa kiong, anak angkatnya ini lalu berangkat ke jambu dan menceritakan kepada ayah kandungnya Mertumpak Delleng, tentang keadaan bapak angkat (patuanya) serta keinginan sang bapak angkat untuk menikmati pola dari Jambu tersebut. Bapak kandungnya merasa iba, lalu dipenuhilah kiong dengan pola dan menitipkan salamnya agar sang abang segera sembuh. Si Tatakuit lalu kembali ke Mungkur, tetapi ditengah jalan dia berhenti di lae sibelen untuk mengaso karena kecapaian dan membasuh muka untuk menyegarkan diri. Dia lalu menyandarkan kiongnya ditepi sungai, tetapi tanpa disadarinya ditempat ia meletakkan kiong terdapat ceppah papuren (bekkas sirih yang dibuang seseorang) serta penuh dengan pasir. Setelah merasa tenaga pulih ia lalu meneruskan perjalanan ke Mungkur. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa dibawah kiongnya telah menempel ceppah papuren disertai segumpal pasir. Dan setiba di Muingkur diserahkannyalah pola tersebut kepada bapak angkatnya (patuanya). Meraja delleng merasa senang dan segera meneguk pola dalam jumlah yang cukup banyak. Dia berkeyakinan bahwa dengan meminum pola yang dirindukannya itu, penyakitnya akan berangsur membaik atau sembuh. Ada kepuasan saat meminum pola tersebut. Namun setelah sekian lama dan setiap hari tetap meneguk pola hingga habis, ternyata sakitnya tidak juga berkurang. Ia merasa heran sebab menurut kebiasaannya, dengan meneguk pola sakitnya biasanya segera sembuh. Ditengah rasa heran sedemikian itu, kemudian tanpa sengaja ia melihat dibahwah kiongnya terdapat ceppah papuren yang dipenuhi dengan pasir. Sebab Si Takakuit lupa membersihkannya sebelum diletakkan didalam rumah. Lalu Meraja Delleng menjadi curiga, timbullah pertanyaan dalam hatinya kenapa ekor kiongnya penuh pasir dan ada ceppah papuren. Dalam pikirannya lalu timbul kecurigaan dan berburuk sangka, bahwa hal itu dilakukan secara sengaja. Artinya bahwa keluarga adiknya diduganya telah dengan sengaja meletakkan “aji” atau sejenis racun kedalam kiongnya, agar ia mati. Hal itu membangkitkan rasa marahnya dan dengan segera ia memanggil Sitakakuit. “ Takakuit, bapakmu telah sengaja meracuni aku, ini buktinya kenapa ada papuren dipenuhi pasir di bawah kiong”, bentaknya penuh amarah. Dia lalu mengusir Takakuit sebab diduganya telah bekerjasama untuk meracuninya. Berbagai dugaan menumpuk dalam pikirannya. Ia menuduh adiknya tidak menyenanginya atau kemungkinan lain, anak yang diangkatnya itu ingin menguasai wilayah dan harta bendanya. Dia kemudian juga memaki-maki adiknya yang juga bapak kandung Takakuit. Dengan disertai rasa takut lalu takakuit lari dan kembali ke jambu. Sambil berlari Tarakuit sendiri terheran-heran, ia sama sekali tidak tahu asal muasal ceppah papuren yang menempel di kiongnya. Dan ia melihat sendiri ketika ayah kandungnya Mertumpak Delleng mengisi pola ke kiongnya, dan sama sekali tidak ada papuren yang menyertai kiongnya. Setiba di Jambu ia lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya dan tidak ketinggalan tentang caci maki dan sumpah serapah yang dialamatkan kepada bapak dan keluarganya. Dan cerita itu lalu mengundang amarah Mertumpak Delleng. Dia merasa terhina dan tidak senang dituduh ingin menghabisi nyawa abangnya. Sebab tidak sedikitpun terbersit niat seperti itu. Tuduhan itu sungguh terasa menghina dan menyinggung harga dirinya. Kisah ini kemudian disampaikannya kepada keluarga dan lalu mereka menyusun rencana untuk melakukan “graha” dan menyerang Mungkur. Setelah matang lalu mereka berangkat ke Mungkur dengan segala perlengkapan “Graha”nya. Pasukan Mertumpak Delleng berangkat dan kedatangannya tidak diduga sama sekali oleh warga Mungkur sehingga dengan mudah mereka dapat menumpas seluruh warga yang ada di Mungkur dan membumi hanguskan lebbuh itu. Seluruh rumah rata dengan tanah, dan tidak ada pula warga yang tersisia. Mujur bagi isteri Meraja delleng Br. Maha, dimana pada saat terjadi penyerangan ia sedang tidak di lebbuh. Ia konon tengah mencari “rorohen” ke delleng. Oleh karena itu ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan suami dan lebbuhnya. Setelah sore ia lalu kembali ke lebbuh, dan betapa terkejutnya Br. Maha ketika melihat lebbuh telah rata dengan tanah dibumi hanguskan oleh musuh. Ia mencari kesana-kemari diseluruh lebbuh, siapa tau masih ada warga yang hidup, namun ia tidak menemukan seorang jua. Ia menjadi demikian ketakutan. Ditengah rasa takutnya ia lalu berpikir untuk segera minggat atau mengungsi ketempat lain, sebab khawatir jika ada yang melihat atau mengetahuinya masih hidup akan dihabisi juga. Ia lalu berbenah dan berangkat “mbungkas” meskipun belum memiliki tujuan. Ia keluar kampung secara mengendap dengan arah jalan yang jauh dari Jambu. Setelah berjalan sekian lama tanpa henti, ada beberapa hari lamanya ia tiba disebuah tempat yang kemudian diketahui di daerah Sidiangkat, lebbuh marga Angkat. Ditempat itu dia melihat sebuah “liang” yang kemudian dikenal dengan “liang gerring”. Sekarang tempat itu ada kuta yang dikenal dengan lae gerring. Ia lalu bersembunyi ditempat itu. Sementara itu di Sidiangkat, alkisah tersebutlah seorang Raja Angkat yang meiliki tujuh permasuri. Enam isteri atau permasuri terdahulu rata-rata telah memilki keturunan, tetapi semuanya perempuan. Tidak satupun anak laki–laki. Sementara isterinya yang ketujuh tengah mengandung atau “mberrat-mberrat rumah”. Sebagaimana lazimnya raja dan adat yang berlaku di Pakpak, dimana orang sangat mendambakan anak lelaki, tentu perasaan yang sama menyelimuti pikiran Raja Angkat. Hal itu tentu mengakibatkan keenam isteri raja seringkali khawatir. Takut kalau-kalau kemudian anak yang dikandung Br. Maha adalah Laki-laki. Oleh karena itu keenammnya secara bersama-sama mengunjungi orang pintar (“datu”) untuk memastikan kekhawatiran mereka. Mereka dibayang-bayangi ketakutan bahwa jika benar isteri ketujuh ini mengandung anak laki-laki, maka mereka akan tersingkir dan tidak dihargai Raja. Datu pertama yang mereka datangi mengatakan bahwa benar anak yang dikandung isteri ketujuh ini adalah laki-laki. Mereka terkejut dan semakin khawatir. Dan pada saat lain, keinginan untuk mendapat kepastian, mereka lalu mendatangai datu lainnya. Dan betapa kagetnya mereka karena datu kedua juga memastikan bahwa anak tersebut adalah laki-laki. Setelah merasa yakin lalu keenamnya merencanakan strategi pengusiran sang isteri ketujuh. Mereka “menakiken” atau membuat cerita bahwa setiap kali ada permasalahan, hal itu adalah merupakan perbuatan isteri ketujuh. Setelah merasa bahwa raja bisa diyakinkan, maka mereka lalu meminta raja untuk mengusirnya. Raja Angkat dengan berat hati mempercayai dan setuju untuk mengusirnya. Isteri ketujuh ini kemudian pergi dan juga tanpa tujuan pasti. Tetapi karena sedang hamil, ia tidak berani pergi jauh. Ia lalu mencari “liang gerring” dan juga merencanakan bersembunyi disana. Betapa terkejutnya sang isteri ketujuh ketika menemukan sorang perempuan juga tengah berada dalam liang (gua). Dia lalu menanyakan asal-muasal si perempuan dan kenapa ia berada di tempat itu. Si br Maha lalu menceritakan kisahnya kepada isteri ketujuh Raja Angkat. Si isteri ketujuh merasa iba, dan timbul pula perasaan senasib meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Keduanya lalu sepakat untuk berlindung bersama di tempat itu. Sekian lama mereka berada disitu hingga pakaian mereka tidak lagi dapat digunakan, sobek dan compang camping serta tidak mampu lagi menutupi tubuh. Artinya keduanya tidak lagi berpakaian dan hanya menggunakan dedaunan sebagai pelindung tubuh. Dari liang itu, tidak jauh terdapat kebun “pergadongan” keluarga Raja Angkat. Dan untuk bertahan hidup mereka lalu mengambil buahnya untuk di”tutung” sebagai konsumsi hariannya. Hal itu mereka lakukan setiap hari, hingga kebun gadong secara perlahan berkurang. Keenam isteri Raja Angkat yang memperhatikan hal itu menjadi bertanya-tanya. Mereka lalu mencoba mencari penyebabnya dan timbul dugaan kemungkinan dicuri orang atau dimakan “wangkah” (babi hutan). Sebab biasanya hewan inilah yang menjadi pengganggu tanaman warga. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan jejak apapun, sehingga mereka berkesimpulan telah terjadi pencurian. Hal itu lalu mereka laporkan kepada Raja dan meminta Raja untuk menyelidikinya. Raja mengabulkan permintaan mereka, lalu pada satu malam ia datang sendiri keladang itu dengan membawa peralatan berburu. Tetapi ia juga tidak menemukan jejak wangkah. Ia lalu kembali dengan tangan hampa dan menceritakan kepada keenam isterinya. Keenam isteri ini menjadi semakin tanda tanya, lalu berselang berapa hari kemudian mereka pergi lagi kekebun gadong tersebut. Jumlah tanaman yang hilang justeru ternyata semakin bertambah dan hal itu kembali mereka ceritakan kepada Raja. Mendengar cerita ini, raja juga jadi curiga dan penuh tanya. Lalu pada malam berikutnya ia kembali mencoba melakukan penyelidikan. Sesampai disana ia sepertinya melihat dikejauhan gerakan tubuh manusia, tampaknya sedang memanen gadong. Ia lalu mendekat, dan dua perempuan yang bersembunyi di liang yang dedang mengembil gadong terkejut, lalu berteriak. “Jangan mendekat tuan, sebab kami tidak berpakaian”. Raja terkejut lalu bertanya “siapakah gerangan kalian….?”, Kedua perempuan itu tidak memberikan jawaban dan hanya melarang sang raja untuk mendekat. Dalam benak sang raja sebetulnya sudah timbul kecurigaan sebab rasanya ia mengenal suara salah satu perempuan tadi. Tetapi ia tidak berani memastikannya. Ditengah keraguannya ia lalu mengatakan kepada mereka untuk menunggu dan ia akan mengambilkan pakaian. Ia lalu kembali kerumah, berencana untuk mengambilkan beberapa pakaian perempuan. Sesampai di rumah keenam isterinya menanyakan hasil penyelidikannya, dan apakah menemukan sesuatau. Sang raja menjawab bahwa hasil pencariannya belum selesai dan memberikan alasan bahwa kepulangannya hanyalah untuk mengambil isap yang tertinggal dan oles karena cuaca di luar teramat dingin. Keenam isterinya percaya pada alibinya itu. Secara diam-diam Raja Angkat mencari pakaian dan lalu mengambilnya beberapa helai serta disembunyikan dalam tempusannya. Setelah terasa cukup ia lalu kembali ke ladang atau kebun. Mendekati gua tempat persebunyian perempuan itu ia lalu melemparkan sehelai pakaian, tetapi sayang pakaian itu tidak sampai karena terlalu ringan. Ia lalu mencari batu dan mengikatkan pakaian ke batu dan melemparkan kembali. Setelah beberapa saat ia lalu bertanya apakah ia sudah boleh mendekat dan ingin berbicara. Dari gua lalu terdengar teriakan “ ulang ke njolmit, kerna sada ngo kessa kami mergedda”, sahut perempuan dari dalam gua. Raja lalu melempar sehelai lagi dengan cara yang sama meskipun semakin timbul pertanyaan kenapa ada dua perempuan disana. Setelah keduanya mengenakan pakaian lalau mereka mempersilahkan sang raja mendekat. Dan betapa terkejutnya Raja ketika melihat bahwa salah satu diantara mereka adalah isteri ketujuhnya. Dia lalu mennayakan asal muasal keduanya berada disitu, dan mereka masing-masing menceritakan kisahnya. Mereka tidak lupa menceritakan perihal kandungan mereka. Raja lalu terkesima dan timbul rasa ibanya, dan ia tidak tau jika sebelum diusir, isterinya sedang mengandung. Selain itu juga berpikiran bahwa mungkin diantara keduanya akan ada anak laki-laki sehingga bisa dijadikan anak. Pikiran itu tentu menghentikan keinginan untuk mengusir mereka dari tempat itu. Harapan untuk memilki anak laki-laki yang menggelora lebih mengemuka dalam benaknya. Setelah sekian lama bercerita Raja lalu kembali kerumah sembari menjanjikan akan mengirimkan makanan kepada mereka dan berpesan untuk menjaga kandungannya. Setiba dirumah ia lalu ditanya keenam isterinya dan ia menjawab bahwa ia sama sekali tidak menemukan apapun juga. Jawabannya begitu meyakinkan keenam isterinya, selain itu raja juga meminta agar mereka tidak perlu lagi mempersoalkannya. Beberapa saat lamaya, secara diam-diam Raja Angkat selalu mengahantarkan makanan kepada kedua perempuan itu. Sementara itu kedua perempuan yang berada di goa lalu membuat sebuah perjanjian. Jika kedua anaknya laki-laki atau jika keduanya perempuan, mereka akan dijadikan saudara. Tetapi jika salah satu perempaun dan yang lain laki-laki maka mereka sepakat bahwa keduanya akan “mersibuaten” atau boleh dikawinkan. Sang Raja sendiri secara rutin mengunjungi mereka dengan maksud mengikuti perkembangan kandungan mereka. Sampai tiba satu masa kedua perempuan itu melahirkan dan secara kebetulan keduanya adalah Laki-laki. Melihat itu Raja begitu gembiranya dan kemudian membawa kedua perempuan dengan anaknya masing-masing ke istana. Rasa gembira mendapatkan anak laki-laki dua sekaligus mendorongnya untuk mengusir keraguan terhadap pandangan keenam isterinya yang lain. Raja merasa senang dengan anaknya yang lahir dari isteri ketujuhnya adalah laki-laki. Bahkan ia bermaksud menyingkirkan keenam isterinya jika kemudian ada protes dari mereka. Kedua anak itu kemudian diangkatnya menjadi anaknya. Setelah dewasa, anaknya dari Br Maha keturunan Padang Mungkur yang diberi nama “Manunggal” diangkatnya menjadi Pakalima. Ada beberapa graha yang selalu dimenangkan oleh Raja ini oleh bantuan Manunggal, Sebab Manunggal ini kemudian diketahui memilki kesaktian yang luar biasa dan dapat diandalkan. Namun demikian, bagi Raja secara perlahan timbul juga rasa tidak enak dalam hati untuk tetap mempertahankan keduanya sebagai anak. Sebab dari isterinya yang sah toh juga sudah ada anak laki-laki. Dipikirannya timbul pula keinginan untuk menjelaskan keberadaan Manunggal yang tentu akan menemukan kisah dan jati diri yang sebenarnya. Oleh karena itu Raja Angkat lalu mengingat kembali kisah sang Br. Maha. Sekian lama pikiran itu menghantuinya hingga pada satu saat ia lalu mengirimkan utusan ke Jambu untuk menyampaikan pesan, bahwa mereka memiliki anak di Sidiangkat. Pesan itu diterima oleh Marga Padang di jambu. Meskipun diliputi keraguan namun setelah menerima pesan ini, mereka lalu mengutus berru untuk menelusuri dan menjemputnya. Sebab disisi lain mereka sudah pernah mendengar cerita perihal kesaktiannya. Mertumpak delleng, khawatir kalau Manunggal datang sendiri ke Jambu akan menimbulkan mala petaka. Utusan berru yang berangkat lalu membujuk agar sang anak mau kembali ke lebbuh. Menjawab perminyaan sang utusan Manunggal lalu memberikan persyaratan agar ia mau kembali, yakni agar mereka membangun rumahnya kembali seperti sedia kala. Sebab ia selalu mendengar kisah ibunya tentang keberadaan lebbuhnya. Pesan itu disampaikan kepada Mertumpak Delleng, dan lalu mereka mendirikan rumah di Mungkur sebagaimana bentuk rumahnya terdahulu. Dan setalah itu barulah Manunggal bersama ibunya kembali ke Mungkur. Anak Mertumpak delleng Si Takakuit, kemudian ditempatkan agak berjauhan, sebab timbul juga ketakutannya. Bahkan beberapa lama kemudian Takakuit berserta keluarganya pernah migrasi atau pindah ke daerah klasen. (Tetapi konon beberapa lama kemudian keturunannya kembali ke Mungkur-red). Setelah berlangsung sekian lama, mengingat perjanjian yang pernah disepakati oleh isterinya dan ibu Manunggal, maka Raja Angkat lalu mengundang Manunggal dan melakukan perjanjian dengan Manunggal. Perjanjian itu adalah untuk mewujudkn “perpadanan” yang pernah dikrarkan oleh isterinya dengan ibu Manunggal. Dimana Marga Angkat dan Padang Mungkur adalah bersaudara. Mereka tidak boleh saling mengawini “oda mersibuaten” (Dan hal itu masih berlaku hingga sekarang ini-red). Lalu kemudian sebagai tanda diambilkan se”pancong” air dari lae Angkat di Sidiangkat dan dituangkan ke Lae Sibellen di Mungkur lalu mereka menamakan sungai itu sebagai Lae Angkat. Demikian sebaliknya “sepancong” air dari Lae Sibellen di Mungkur dan dituangkan ke Lae Angkat, dan menukarkan namanya menjadi Lae Sibellen. Sejak itu kedua belah pihak sepakat untuk menukar nama sungai (lae) tersebut. Dimana lae Angkat kemudian diberi nama Lae Sibellen dan Lae Sibellen berubah nama menjadi Lae Angkat. Itulah menjadi asal muasal adanya Lae Angkat di tanah Marga Padang di Mungkur. Tetapi air yang mengalir di daerah jambu rea hingga kini tetap dinamai Lae Sibellen. Artinya nama Lae Angkat hanya terbatas pada sungai yang sama yang mengalir di daerah Mungkur hingga perbatasan jambu Rea, sedangkan seterusnya dari jambu hingga Lae Kombih namanya tetap Lae Sibellen. Dan sejak itu pula nama Lae Angkat yang ada di Sidiangkat berubah menjadi Lae Sibellen dan bahkan sekarang ini sering diplesetkan dengan nama yang keliru yakni Lae Simbolon. Dan dengan kisah ini sebetulnya tidak ada hak siapapun yang kemudian merobah dan memplesetkan nama itu.
Dituliskan Oleh Muda Banurea & Nusler Banurea

SEJARAH SUKU GAYO

I. Pendahuluan

Suku Gayo hanya satu di permukaan bumi ini. Gayo Lues, Gayo Alas, Gayo Laut, dan Gayo Serbejadi terjadi karena perbedaan tempat tinggal saja. Kalau ada terdapat perbedaan di antara Gayo di atas, hal itu akibat pengaruh lingkungan dan geografis. Bagi saya, perbedaan itu adalah asset budaya Gayo.

Jika suku Gayo bercita-cita untuk menjadi suku yang maju dan dapat menjawab tantangan zaman adalah harus bersatu. Tidak melihat perbedaan, tetapi lebih melihat persamaan, sehingga dapat membangun masa depan yang gemilang. Suku Gayo menjadi suku yang harus diperhitungkan untuk membangun bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang menangis ini.

Salah satu upaya adalah menggali potensi budaya, sehingga dapat menumbuhkan kepribadian yang utuh dan mapan. Dapat menjadi acuan atau pedoman dalam usaha menyusun langkah dan strategi untuk menghadapi masa depan yang cerah. Sangat sesuai dengan semangat otonomi daerah (suatu perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi).

Untuk memenuhi harapan di atas, di samping harapan panitia kongres ini, saya mencoba untuk menyusun sebuah makalah yang sangat sederhana tentang Orientasi dan sejarah Gayo secara ringkas. Hal ini sangat menarik karena kita selalu menghadapi persoalan dan tantangan tentang eksistenssi kepribadian dan martabat suku Gayo di tanah tumpah darah sendiri. Makalah yang sangat sederhana ini, dapat kiranya menjadi bahan diskusi di dalam kongres ini. Semoga keberadaan suku Gayo dapat kita pahami secara global maupun secara substansi, terutama oleh generasi Gayo masa kini dan mendatang.


II. Asal Nama Suku Gayo

Setiap pemberian identitas, pengenal atau nama dari sesuatu selalu dihubungkan dengan kronologi peristiwa yang berlatar belakang sejarah. Demikian pula halnya dengan nama yang disandang suku Gayo. Rentang sejarah yang amat panjang jika dikaji dengan seksama dan mendasar, terkadang dijumpai silang atau perbedaan pendapat dalam menemukan sisi kebenarannya. Hal ini disadari karena rentang waktu sejarah yang amat panjang, refrensi yang terbatas ditambah keragaman keterangan oleh para nara sumber yang sifatnya turun-temurun.

Mengenai pendapat tentang asal nama Gayo terdapat keragaman, dengan demikian belum ada data pasti dan penelitian khusus untuk mendapatkan keterangannya, ada beberapa pendapat (M.Z. Abidin : 1) sebagai berikut:

Pertama, kata Gayo, berarti kepiting dalam bahasa Batak Karo. Pada zaman dahulu terdapat serombongan pendatang suku Batak Karo ke Blangkejeren, mereka melintasi sebuah desa bernama Porang. Tidak jauh dari perkampungan tersebut dijumpai telaga yang dihuni seekor kepiting besar, lantas para pendatang ini melihat binatang tersebut dan berteriak Gayo…Gayo... Konon dari sinilah kemudian daerah tersebut dinamai dengan Gayo.

Kedua, dalam buku The Travel of Marcopolo karya Marcopolo seorang pengembara bangsa Italia. Dalam buku ini dijumpai kata drang-gayu yang artinya orang Gayu/Gayo.

Ketiga, kata Kayo dalam bahasa Aceh, Ka berarti sudah dan Yo berarti lari/takut. Kayo berarti sudah takut/lari.

Keempat, kata Gayo berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu: Gayo berarti gunung. Maksudnya orang yang tinggal di daerah pegunungan.

Kelima, dalam buku Bustanussalatin yang dikarang oleh Nuruddin Ar-raniry, pada tahun 1637 masehi yang tertulis dengan huruf Arab. Di samping nama Gayo di atas ada juga disebutkan kata Gayor. Hal ini terjadi karena orang-orang tertentu tidak mengerti, bahwa yang sebenarnya dalah kata Gayo.

III. Asal Usul Orang Gayo

Untuk mengetahui asal usul penduduk Gayo Lues, tidak terlepas kaitannya dengan kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia ke kepulauan Indonesia, yang dimulai lebih kurang 2000 tahun sebelum masehi. Sisa-sisa penduduk kepulauan Indonesia yang mula-mula sekali ialah orang Kubu di Sumatera yang serupa dengan orang Semang di semenanjung Melayu, orang Wedda di Sailan, Negrita di Fhilipina. Kulitnya hitam dan badannya kecil berambut keriting.

Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke-kepulauan ini kelompok demi kelompok dan dalam 2 (dua) gelombang besar dari India Belakang (Birma, Siam, dan Indo Cina). Mereka yang datang dalam gelombang pertama dinamakan denagn Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua dinamakan dengan Deutre Melayu.

Nenek moyang kita, gemar berlayar sehingga perjalanan menuju pulau Indonesia tidaklah sukar, mereka pun sudah pandai bercocok tanam dan memelihara ternak. Selain itu mereka sangat ahli dalam ilmu bintang yang bertalian dengan pelayaran dan musim. Kepercayaan mereka adalah menyembah roh-roh yang sudah meninggal dunia, dan yang paling dihormati adalah roh pembangun suku atau negeri. Roh-roh tersebut dapat memasuki tubuh atau jasad-jasad dukun dan guru-guru yang biasanya perempuan. Setelah membakar kemenyan mereka menari dengan diiringi oleh bunyi-bunyian. Hal ini masih terlihat pada suku-suku yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindia, Islam, dan Batak. Mereka memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir sungai dan tanah subur di sekeliling/sekitar gunung berapi.

Keberadaan mereka di kepulauan Indonesia terpisah-pisah dan jarang berhubungan komunikasi satu dengan lainnya, lama-kelamaan terjadi perbedaan dalam adat-istiadat dan bahasa, namun tetap tampak persamaan-persamaan yang mendasar.

Karena terdesak oleh pendatang-pendatang dalam gelombang kedua (Deutre Melayu) yang lebih cerdas dan tinggi kebudayaannya, suku-suku yang tergolong Proto Melayu ini seperti orang Batak Karo, Gayo, Toba, Toraja, Dayak, dan lain-lain masuk ke pedalaman di sepanjang pinggir sungai-sungai.

Sebagai suku bangsa yang digolongkan kepada Proto Melayu, suku Gayo yang konon berasal dari India Belakang ini mula-mula mendiami pantai timur dan utara Aceh, di tempat Kerajaan Samudera Pasai dan Peurlak. Dalam usaha mencari tanah baru sebagai areal pertanian, sebagian pindah ke pedalaman sepanjang sungai Peusangan, Jambo Aer, Penarun, Simpang Kiri, Simpang Kanan terus ke daerah yang sekarang bernama Gayo Kalul dan Gayo Lues.

Akibat dari terjadinya peperangan/serangan dari Kerajaan Sriwijaya dalam tahun 1271 atas Kerajaan Peurlak dan serangan Kerajaan Majapahit dalam tahun 1350 atas Kerajaan Samudera Pasai.

Akibat dari peperangan tersebut maka bertambah banyaklah mereka yang mengungsi ke pedalaman, yang kelak tidak mau kembali lagi kendati musuh telah menyerah. Orang Gayo yang telah mendiami daerah pedalaman lalu membentuk Kerajaan Lingga (Linge).

Kalau dilihat dari silsilah Kerajaan Linge, maka dapat kita kemukakan :
Raja Linge yang pertama adalah Tengku Kawe Tepat, yang mempunyai 4 (empat) orang anak :
1. Anak pertama perempuan bernama Empu Beru yang tinggal sama ayahnya di Linge.
2. Anak kedua laki-laki bernama Si Bayak Linge. Anak ini setelah dewasa bersama-sama rekannya berangkat ke daerah Karo dan bermukim dekat pegunungan Si Bayak.
3. Anak yang ketiga laki-laki bernama Merah Johan, juga setelah dewasa berangkat ke daerah Aceh yang bermukim di Lamuri.
4. Anak yang bungsu laki-laki bernama Merah Linge. Anak inilah yang menetap bersama ayahnya, serta sebagai pengganti ayahnya sebagai Raja Linge kedua.

Penduduk Linge lama kelamaan bertambah banyak, kemudian mereka berpindah-pindah mencari tempat pemukiman baru, sebagian mereka ada ke dataran tinggi Gayo, selanjutnya menjadi penduduk asli Gayo.

IV. Suku Gayo Penduduk Asli Provinsi Nanggroi Aceh Darussalam

Suku Gayo merupakan suku tertua di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui dua fakta berikut ini. Pertama, bila dicermati bahasa daerah suku Aceh, banyak kosa kata yang berasal dari bahasa asing, seperti bahasa Ingris, Cina, India, dan lain-lain seperti dikemukan Ayah Panton (2007 : 3-5) dan disarikan dari hasil wawancara dengan Israwati (tanggal 23 Desember 2007) berikut ini:

Tabel 1
Asal Kosa Kata Bahasa Aceh

Nomor Bahasa Aceh Bahasa Asal Asal Bahasa Artinya
01 rod road Inggeris jalan
02 god good Inggeris baik
03 nomboi number Inggeris nomor
04 meukat market Inggeris pasar
05 kot coat Inggeris Jas
06 cawan cawan Cina cangkir
07 camca camca Cina sendok
08 thong thong Cina celana
09 khong khong Cina satu-satunya
10 katam khatam Arab tamat
11 zuad zuwad Arab nikah
12 qurbeun qurban Arab korban

Berdasarkan tabel 2.1 di atas dapat dilihat bahwa kosa kata dalam bahasa Aceh banyak berasal dari bahasa asing. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa suku Aceh berasal dari beberapa bangsa asing, karena bahasa menunjukkan bangsa. Hal ini didukung pula oleh wilayah yang didiami oleh suku Aceh adalah wilayah pesisir pantai, yaitu daerah yang pertama disinggahi oleh para pendatang.

Kedua, banyak nama geografis (khususnya nama-nama tempat) di daerah Aceh berasal dari bahasa Gayo. Seperti tabel berikut ini:

Tabel 2
Nama-nama Tempat dari Bahasa Gayo

Nomor Nama Tempat di Aceh Dalam Bahasa Gayo Artinya
01 Langsa lang sa besok siapa
02 Beruen berren bayarkan
03 Besitang besi tatang angkat besi
04 Sigli si geli yang gelik
05 Linge linge suaranya
06 Selawah selo sawah kapan sampai
07 Tapak Tuan tapak tuen jejak tuan
08 Takengon entah kuengon ayuk saya lihat
09 Meulaboh mera beluh Mau pergi
10 Singah Mata singah mata Pemandangan
11 Tamiang entah semiyang Ayok sembahyang


Berdasarkan tabel di atas, terbukti bahwa nama-nama tempat banyak yang berasal dari bahasa Gayo. Hal ini membuktikan bahwa daerah Aceh pertama sekali ditemukan, dilalui atau didiami oleh suku Gayo. Sehingga para pengembara suku Gayo ini memberikan nama-nama tempat yang mereka lalui dan digunakan sampai sekarang.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dijalankan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Suku Gayo sama dengan suku-suku lain di Indonesia, yaitu berasal dari India Belakang.
2. Suku Gayo merrupakan suku atau penduduk tertua di Provinsi Nanggroi Aceh Darussalam.
3. Suku Gayo memiliki ciri-ciri dan kebudayaan sendiri, yang membedakan dengan suku lain di nusantara ini.
4. Suku Gayo yang tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sama. Jika ada terjadi perbedaan bahasa dan budaya akibat asimilasi dengan suku-suku yang berada di sekitarnya.