Hoorass-anda di "Dolok Tolong Site" !!!

Minggu, 22 Juli 2012

Sipongki Nangolngolan (Tuanku Rao)

VERSI HAMKA: TUANKU RAO ADALAH ORANG MINANG

 
Hamka sendiri membantah bahwa Tuanku Rao adalah orang Batak. Menurutnya, di Minangkabau sama sekali tidak dikenal cerita yang telah luas disiarkan di Toba bahwa Tuanku Rao adalah putera Batak, yang bernama Si Pongki Nangolngolan. Ia mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan dari Bakkara. Karena itu, Tuanku Rao adalah orang Minang, bukan orang Batak. J.B. Neumann menulis bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao dan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Ia sama sekali tidak menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri menulis pada tahun 1866, dengan mengambil sebagian sumber karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli apada tahun 1835 dan dianggap sebagai sumber tangan pertama. Selengkapnya, tulisan Hamka sendiri dalam menanggapi polemik tentang asal-usul Tuanku Rao telah dikutip secara utuh dan dapat dibaca di bawah ini:
Orang manakah Tuanku Rao?
Mohammad Said menulis dalam bukunya Singa Mangaraja XII, “Ada pun pemimpin perang yang telah memperhatikan benteng ‘Amerongan’ itu adalah Tuanku Rao sendiri, dalam hal ini dia dibantu dengan kerja sama kompak oleh Tuanku Tambusai.”
Dalam sumber lain sekali-kali tidak dikenal dan tidak diketahui apa yang di bagian wilayah Toba Batak telah meluas disiarkan bahwa Tuanku Rao ini adalah seorang putera suku Batak, atau Si Pongki Nangolngolan. Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Bukan orang Bakkara! Sebab itu beliau orang Minang. Bukan orang Batak. J.B. Neumann Kontelir B.B. yang menulis tentang ”Studies over Bataks en Batakschlanden,” pada halaman 51 ketika menyebut bahwa Tuanku Tambusai bergabung di Rao dengan Tuanku Rao, disebutnya bahwa Tuanku Rao ini adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut-sebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Sumber Neumann yang menulis di tahun 1866, sebagian mengambil sumber karangannya dari Residen T.J. Willer, yang berada di Tapanuli dalam tahun 1835, tegasnya lima puluh tahun sebelumnya, yaitu masa peristiwa yang bersangkutan masih dalam tahun-tahun, di mana orang yang bercerita turut berada, dengan demikian boleh dikatakan sumber dari tangan pertama. Menurut suatu sumber memang benar bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri dari Yang Dipertuan Rao dan karena Yang Dipertuan bukan seorang penganut Wahabiah dan tidak begitu bersemangat untuk menentang agresi Belanda telah diambil-alih oleh menantunya, yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Rao itu” (Lihat Si Singamangaraja XII, Mohammad Said, hal 77-78).
Keterangan H. Asrul Sani
Karena ingin tahu dari orang Rao sendiri, gembiralah hati saya seketika seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Rao datang ziarah ke rumah saya. Saya langsung bertanya tentang Tuanku Rao. Apakah ada pengetahuannya tentang beliau.
Mahasiswa itu menjawab bahwa, sebagai seorang pemuda, masihlah kurang pengetahuannya, kalau maksud saya bertanya itu hendaknya mengadakan semacam riset. Tetapi dia menunjukan orang yang ahli dan berhak menjawab pertanyaan saya di sekitar Tuanku Rao. Orang itu kata pemuda itu ialah Drs. H. Asrul Sani (seniman dan sastrawan dan panyair yang terkenal). Dia adalah keturunan dari Yang Dipertuan Padang Nunang Rao, masih saudara dari pemangku gelar dan adat Yang Dipertuan yang sekarang.
Gembira hati saya mendengar keterangan itu. Sebab, Asrul Sani adalah sahabat yang saya hargai. Pada suatu waktu dapatlah saya pergi menemuinya, dan diterimanya saya di Taman Ismail Marzuki disaksikan pula oleh Penyair yang terkenal Taufiq Ismail. Dan saya mulailah pertanyaan tentang Tuanku Rao, dan bagaimana pendapatnya tentang Tuanku Rao seperti yang diceritakan oleh Parlindungan. Asrul Sani memberikan keterangan: “Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi sendiri, Rao Padang Nunang. Kaum keluarga dan suka-saka yang terdekat masih dapat dicari sekarang di sana. Jubah beliau masih tersimpan sebagai barang pusaka yang dipelihara baik-baik. Tetapi sayang sekali, kitab-kitab pusaka beliau sudah berserak-serak, karena tidak ada lagi anak-cucu yang sanggup memeliharanya.”
Kata Asrul Sani selanjutnya: ”Beliau meninggal sebagai syahid dalam pertempuran dengan Belanda, tetapi jenazahnya hilang di laut. Sampai sekarang masih ada sebuah gosong diberi orang nama Gosong Tuanku Rao. Parit-parit pertahanan yang dibangun beliau masih dapat dilihat bekasnya sampai sekarang, sebagai benteng Bukit Tajadi di Bonjol juga. Parit pertahanan itu telah saya persaksikan. Saya kagum, sebab mengarah-arah Maginotlinie di Prancis. Panglima yang diangkat Tuanku menjadi wakilnya menjaga parit itu bernama Panglima Ibrahim. Kata Asrul Sani selanjutnya: “Bagi kami di daerah Rao, yang lebih banyak diajarkan oleh guru-guru mengaji kami atau orang tua-tua kami ialah riwayat Perang Padri. Hikayat Cindur-Mato hanyalah yang kedua, dan tidak begitu mendalam kesannya di jiwa kami. Kalau Hikayat Perang Padri sangatlah berkesan.”
Ketika saya tanyai tentang pribadi Asrul Sani seorang bangsawan adat di Rao, keturunan yang Dipertuan, spontan Asrul menjawab: “Itu tidak perlu lagi dibanggakan sekarang!” Lalu saya tanyakan pula bagaimana tanggapannya tentang cerita orang bahwa Tuanku Rao itu adalah orang Batak, nama kecilnya Si Pongki Nangolngolan. Asrul Sani dengan sikapnya yang terkenal tenang itu menjawab bahwa timbulnya ceritera demikian dapat juga dimaklumi. Serangan besar-besaran Tuanku Rao ke tanah Toba sangatlah dahsyatnya dan perlawanan orang di sana pun hebat pula. Dan akhirnya Toba kalah, buat mengobat hati dikatakan sajalah bahwa yang mengalahkan mereka bukan orang lain, melainkan putera mereka sendiri. Dengan demikian terobat jugalah luka perasaan karena kekalahan.” Sekian Asrul Sani.
Mohammad Rajab dalam bukunya Perang Paderi menulis, “Daerah Rao banyak menanggung kerusakan, disebabkan oleh perang saudara, hanya di Padang Matinggi masih ada rumah-rumah yang bagus.
Tuanku Rao dibujuk oleh letnan van Bevervoosden supaya menyerah, tetapi ia mengatakan akan naik haji ke Mekkah dan tidak mau memerintah lagi. Raja Rao yang tadinya tinggal di belakang selama kaum Paderi berkuasa, muncul lagi dan dalam suatu rapat para pengulu dan rakyat, ia diangkat oleh pihak Belanda sebagai Regen Rao” (halaman 139). Kalau apa yang ditulis oleh M. Rajab ini dipertalikan dengan keterangan Mohammad Said, Tuanku Rao adalah orang Rao, bukan orang Batak. Teranglah bahwa pada mulanya beliau mengambil kekuasaan dari tangan mertuanya Yang Dipertuan Rao, tetapi setelah Rao kalah, Tuanku Rao menarik diri, mencari dalih mengatakan hendak berangkat ke Mekkah, dan kekuasaannya diserahkan Belanda kepada mertuanya kembali.
Penulis Putera Batak sendiri, Alm. Sanusi Pane tidak ada membayangkan sama sekali bahwa Tuanku Rao itu orang Batak. Malahan dianggapnya bahwa Tuanku Rao dengan Tuanku Tambusai adalah orang yang satu itu juga. Beliau menulis: “Sebagai telah diterjemahkan, Tuanku Tambusai telah beberapa lamanya mengembangkan kuasanya di Padang Lawas dan Angkola, Kota Nopan dan Mandailing pun pernah dikepungnya, tetapi tidak dapat direbutnya karena pembelaan orang Mandailing dan Belanda. Ke Sipirok dan daerah Toba pun datang juga ia melanggar.” (Sejarah Indonesia II, 106). Kemudian pada noot di bawah ditulisnya: “Dalam cerita-cerita Batak ia disebut Tuanku Rao. Yang datang melanggar itu disebut “orang Rao.”

Sekilas tentang Marga Orang Batak



Batak Punya Marga
Oleh: Maridup Hutauruk
“Ada beberapa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam bahasan.”
Paragraph diatas dipetik dari bahasa pembuka artikel yang tertulis dalam format pdf yang boleh anda klik untuk mengetahui isinya yaitu tentang ‘Marga’ dalam komunitas Batak.
Sebenarnya kata marga dalam kosa kata Batak diperkirakan muncul karena adanya interaksi dengan Bangsa Tamil dari India Selatan, yaitu awal bermukimnya 1500 tentara Kerajaan Chola ke Tanah Batak sebelum menyerang Sriwijaya di tahun 1025 M. Kerajaan Chola yang dimaksud adalah kerajaan semasa pemerintahannya dipegang oleh Rajendra Chola-I yang berkuasa tahun 1012 – 1044 M, dan Sriwijaya dibawah pemerintahan Wijaya Tunggawarman.
Pembuktian adanya interaksi Bangsa Tamil dan Bangsa Batak adalah berdasarkan peninggalan arkeologis stone incription di Candi Portibi dimana skripsi yang diperkirakan ditulis di tahun 1208 telah diterjemahkan oleh Professor Nilakantisasri dari Kepurbakalaan Madras. Pada saat mereka mendaratkan tentaranya di kawasan Barus, mereka sudah menemukan kerajaan Batak bernama Pannai (Pane). Komunitas Batak sudah eksis dan bukan berasal dari Melayu Sriwijaya.
Tetapi keanehan yang muncul di sebagian komunitas Batak yang mengakui bahwa Bangsa Batak berasal dari Sriwijaya sekitar tahun 1200-an? Inikan sebuah pendapat yang konyol dan menyesatkan. Kalau kita mau membuka lembaran sejarah lebih kebelakang bahwa Bangsa Batak adala Proto Melayu, sedang suku-suku Melayu lainnya adalah Deutro Melayu, apakah lantas anaknya melahirkan bapaknya?
Apabila Bangsa Batak pada waktu itu dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Siraja Batak (Oknum raja-raja Batak) menjadi officer Kerajaan Sriwijaya adalah sangat wajar karena Kerajaan Sriwijaya yang besar itu bukan saja menguasai Nusantara, bahkan Asia Tenggara, tetapi bukan lantas orang Batak berasal dari Sriwijaya? Walau ada satu dua kosa-kata yang sama, tetapi adat-istiadat yang jauh berbeda, serta memiliki tulisan original yang mereka tidak miliki.
Interaksi bangsa India dari selatan ini (Tamil) sebenarnya bukan yang pertama dilakukan semasa Rajendra Chola-I ini, bahkan sekitar abad-2 dan -3 Sebelum Masehi sudah ada interaksi perdagangan dengan Sumatra. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadi pula interaksi sosial berupa perkawinan sehingga marga-marga Batak ada yang berkaitan dengan India Selatan ini sebagai contoh Brahmana, Cholia, Pandia, dll. dan termasuk mulai dari Barus, Pakpak, Tanah Karo, sebagai jalur darat menuju Sriwijaya.
Apabila para pendatang dari India selatan ini berinteraksi perkawinan dengan Bangsa Batak, sudah barang tentu mereka mengikuti pula kultur yang ada di Tanah Batak, semisal mereka akan dimargakan dengan embel tambahan identitas Tamil, lalu mereka diberikan hak ulayat di Tanah Batak, kemudian beranak pinak di Tanah Batak menjadi komunitas suku-suku Batak, lantas sekarang ini ada indikasi tidak mengakuinya sebagai bagian dari Bangsa Batak. Apakah contoh sejarah kecil akan berulang seperti Pasaribu yang hengkang dari Silindung yang kemudian jatuh ketangan menantunya Naipospos yang kemudian setengahnya dianeksasi oleh Siopat Pusoran?
Walaupun sekarang ini kata marga diartikan secara sangat sederhana hanya sebagai identitas kelompok, tetapi kata marga sesungguhnya yang berasal dari bahasa Sanskerta diartikan sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’.
Sekerang terserah kita untuk mengartikan pengertian marga bagi Bangsa Batak; Apakah hanya sebagai identitas kelompok saja? Atau sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’? Bagi penulis lebih condong untuk mengartikan marga seperti pengertian yang mendalam tadi, dan oleh karena itu artikel ini dijudulkan dengan Sakti Marga.
 
Arti Marga
Ada beberapa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam bahasan.
Dalam keagamaan di India seperti agama Hindu, ada mengenal marga sebagai artikulasi ajaran. Dalam bahasa sansekerta, marga diartikan sebagai jurus, jalur, jalan, untuk mencapai keselamatan, yang diterapkan dalam bentuk Yoga seperti yang disebutkan dalam kata Jnana Marga, Bhakti Marga, Raja Marga, Karma Marga, atau sering juga disebut sebagai Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga, Karma Yoga. Dalam agama Budha ada delapan tingkat marga sebagai doktrin ajaran Budha yang dalam bahasa sanskerta disebut Astangika Marga, atau dalam bahasa Pali disebut Atthangika Marga.
Definisi marga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada 4 definisi, dua diantaranya adalah yang cocok untuk artikel bahasan:
2mar·ga n Antr 1 kelompok kekerabatan yg eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal; 2 bagian daerah (sekumpulan dusun) yg agak luas (di Sumatra Selatan);
ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
4mar·ga n Bio satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yg mempersatukan jenis-jenis yg erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis dng huruf kapital dan selalu tercantum dl nama jenis;
khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
  marga yg hanya mempunyai satu jenis. 


Batak Punya Marga
Oleh: Maridup Hutauruk
“Ada beberapa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam bahasan.”
Paragraph diatas dipetik dari bahasa pembuka artikel yang tertulis dalam format pdf yang boleh anda klik untuk mengetahui isinya yaitu tentang ‘Marga’ dalam komunitas Batak.
Sebenarnya kata marga dalam kosa kata Batak diperkirakan muncul karena adanya interaksi dengan Bangsa Tamil dari India Selatan, yaitu awal bermukimnya 1500 tentara Kerajaan Chola ke Tanah Batak sebelum menyerang Sriwijaya di tahun 1025 M. Kerajaan Chola yang dimaksud adalah kerajaan semasa pemerintahannya dipegang oleh Rajendra Chola-I yang berkuasa tahun 1012 – 1044 M, dan Sriwijaya dibawah pemerintahan Wijaya Tunggawarman.
Pembuktian adanya interaksi Bangsa Tamil dan Bangsa Batak adalah berdasarkan peninggalan arkeologis stone incription di Candi Portibi dimana skripsi yang diperkirakan ditulis di tahun 1208 telah diterjemahkan oleh Professor Nilakantisasri dari Kepurbakalaan Madras. Pada saat mereka mendaratkan tentaranya di kawasan Barus, mereka sudah menemukan kerajaan Batak bernama Pannai (Pane). Komunitas Batak sudah eksis dan bukan berasal dari Melayu Sriwijaya.
Tetapi keanehan yang muncul di sebagian komunitas Batak yang mengakui bahwa Bangsa Batak berasal dari Sriwijaya sekitar tahun 1200-an? Inikan sebuah pendapat yang konyol dan menyesatkan. Kalau kita mau membuka lembaran sejarah lebih kebelakang bahwa Bangsa Batak adala Proto Melayu, sedang suku-suku Melayu lainnya adalah Deutro Melayu, apakah lantas anaknya melahirkan bapaknya?
Apabila Bangsa Batak pada waktu itu dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan Siraja Batak (Oknum raja-raja Batak) menjadi officer Kerajaan Sriwijaya adalah sangat wajar karena Kerajaan Sriwijaya yang besar itu bukan saja menguasai Nusantara, bahkan Asia Tenggara, tetapi bukan lantas orang Batak berasal dari Sriwijaya? Walau ada satu dua kosa-kata yang sama, tetapi adat-istiadat yang jauh berbeda, serta memiliki tulisan original yang mereka tidak miliki.
Interaksi bangsa India dari selatan ini (Tamil) sebenarnya bukan yang pertama dilakukan semasa Rajendra Chola-I ini, bahkan sekitar abad-2 dan -3 Sebelum Masehi sudah ada interaksi perdagangan dengan Sumatra. Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadi pula interaksi sosial berupa perkawinan sehingga marga-marga Batak ada yang berkaitan dengan India Selatan ini sebagai contoh Brahmana, Cholia, Pandia, dll. dan termasuk mulai dari Barus, Pakpak, Tanah Karo, sebagai jalur darat menuju Sriwijaya.
Apabila para pendatang dari India selatan ini berinteraksi perkawinan dengan Bangsa Batak, sudah barang tentu mereka mengikuti pula kultur yang ada di Tanah Batak, semisal mereka akan dimargakan dengan embel tambahan identitas Tamil, lalu mereka diberikan hak ulayat di Tanah Batak, kemudian beranak pinak di Tanah Batak menjadi komunitas suku-suku Batak, lantas sekarang ini ada indikasi tidak mengakuinya sebagai bagian dari Bangsa Batak. Apakah contoh sejarah kecil akan berulang seperti Pasaribu yang hengkang dari Silindung yang kemudian jatuh ketangan menantunya Naipospos yang kemudian setengahnya dianeksasi oleh Siopat Pusoran?
Walaupun sekarang ini kata marga diartikan secara sangat sederhana hanya sebagai identitas kelompok, tetapi kata marga sesungguhnya yang berasal dari bahasa Sanskerta diartikan sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’.
Sekerang terserah kita untuk mengartikan pengertian marga bagi Bangsa Batak; Apakah hanya sebagai identitas kelompok saja? Atau sebagai ‘jalan menuju suatu tujuan mulia oleh jiwa dan raga (the path of mind-body-soul)’? Bagi penulis lebih condong untuk mengartikan marga seperti pengertian yang mendalam tadi, dan oleh karena itu artikel ini dijudulkan dengan Sakti Marga.
 
Arti Marga
Ada beberapa kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan kata Marga misalnya; Marga-marga sebagai sebutan identitas kelompok pada beberapa suku di Indonesia seperti Batak, Nias, Flores, Toraja, Manado, Ambon, Irian dan lain sebagainya. Juga ada kata Jasa Marga, Sapta Marga, Marga Satwa, margarine – eeh.. ini tidak masuk dalam bahasan.
Dalam keagamaan di India seperti agama Hindu, ada mengenal marga sebagai artikulasi ajaran. Dalam bahasa sansekerta, marga diartikan sebagai jurus, jalur, jalan, untuk mencapai keselamatan, yang diterapkan dalam bentuk Yoga seperti yang disebutkan dalam kata Jnana Marga, Bhakti Marga, Raja Marga, Karma Marga, atau sering juga disebut sebagai Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Raja Yoga, Karma Yoga. Dalam agama Budha ada delapan tingkat marga sebagai doktrin ajaran Budha yang dalam bahasa sanskerta disebut Astangika Marga, atau dalam bahasa Pali disebut Atthangika Marga.
Definisi marga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada 4 definisi, dua diantaranya adalah yang cocok untuk artikel bahasan:
2mar·ga n Antr 1 kelompok kekerabatan yg eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal; 2 bagian daerah (sekumpulan dusun) yg agak luas (di Sumatra Selatan);
ketip marga yg bertugas membacakan doa (di Lampung)
4mar·ga n Bio satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yg mempersatukan jenis-jenis yg erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis dng huruf kapital dan selalu tercantum dl nama jenis;
khusus marga yg sengaja diciptakan untuk menampung sebagian dr jenis khusus; – monotipe
  marga yg hanya mempunyai satu jenis. 

 
Esensi Marga
Bagi Bangsa Batak, apakah masih diperlukan identitas marga? Sudah pasti sangat diperlukan oleh karena kultur Bangsa Batak masih memegang erat falsafah budayanya yang disebut Dalihan Natolu & Tarombo (Toba) yang mengharuskan eksistensi marga ada dalam setiap geliat kehidupan Bangsa Batak. Dalam sub-Bangsa Batak lainnya disebut; Daliken Sitelu – Rukut Sitelu (Karo), Dalihan Natellu (Pakpak), Dalian Natolu (Mandailing-Angkola).
Kalau memang masih diperlukan, apakah sekarang ini insan Bangsa Batak sudah menggunakan marganya secara benar, baik dalam posisi hierarkis di falsafah kehidupan yang disebutkan diatas tadi? Karena yang berkaitan dengan falsafah tersebut ada yang dikenal dengan sebutan Ruhut-ruhut Partuturan atau Ruhut-ruhut Parhundulan, yang diartikan sebagai Aturan-aturan yang berkaitan dengan sebutan pemanggilan yang bermakna pada posisi seseorang terhadap seseorang lainnya. Ruhut-ruhut Partuturan yang dimaksud disini adalah identitas seseorang yang dikenal melalui penyebutan pemanggilannya, seperti: Amang, Amang Tua, Amang Uda, Amang Boru, Amang Naposo, Amang Hela, Inang, Inang Tua, Inang Uda, Inang Simatua, Inang Bao, Inang Boru (Namboru), Inang Parumaen, Anak, Boru, Bere, Ibebere, Anggi, Angkang, Pariban, Hela, Parumaen,  Ito (Iboto), Eda, Paraman (Paramaan), Bao, Tulang, Tulang Naposo, Tulang Rorobot, Tunggane, Lae, Hula-Hula, Hula-Hula Anak Manjae, Hula-hula Namarhahamaranggi, Ompung (Doli / Boru), Ompung Bao, Ompu, dan lain-lainnya.
Apabila marga tidak lagi dipergunakan di kalangan insan Bangsa Batak, maka Ruhut-ruhut Partuturan juga tidak diperlukan lagi, dan selanjutnya Dalihan Natolu dan Tarombo juga tidak diperlukan lagi. Bila ini terjadi maka sebutan untuk pemanggilan hanya seperti; pak (bapak), bu (ibu), dek (adik/adek), hei, atau sebutan lain yang tidak bermakna pada kedudukan seseorang.
Marga Sebagai Identitas Kekuasaan
Marga-marga yang digunakan oleh kelompok-kelompok Bangsa Batak pada dasarnya adalah identitas dari sebuah dinasti turun-temurun. Marga bagi Bangsa Batak identik dengan penguasaan wilayah yang dapat diartikan sebagai bentuk kerajaan di suatu wilayah tertentu dimana marga penguasa sebagai marga induk yang menjadi pemegang kekuasaan wilayah secara turun-temurun, baik dalam penataan wilayah dan lingkungan, penataan batas-batas wilayah, penataan kemasyarakatan, hak dan kewajiban, pelestarian kultur dan budaya, pengontrol kesetaraan dengan pihak lain diluar kekuasaan wilayah.
Setiap marga di Tanah Batak akan memiliki nilai historis sebagai kekuasaan wilayah sah masing-masing marga secara otonom, dimana pengelolaannya tidak akan pernah dicampuri oleh penguasa wilayah marga lainnya. Kekuasaan suatu wilayah marga akan dipimpin oleh raja dan dewan raja-raja dari marga utama yang masing-masing memiliki fungsi yang diatur melalui mekanisme adat istiadat yang berlaku di suatu kekuasaan wilayah marga yang disebut Bius.
Di dalam kekuasaan wilayah suatu marga (Bius) tidak berarti hanya terdiri dari marga tunggal, melainkan terdapat pula marga-marga lainnya yang secara kultur berhubungan dengan satu sama lainnya berdasarkan falsafah Dalihan Natolu yang disebutkan di atas. Namun penguasa yang menjadi raja dan raja-raja tetap dari marga utama wilayah itu. Oleh karena itu, di Tanah Batak, semua marga adalah raja yang harus dimuliakan dan dijunjung tinggi sebagai identitas dinasti marga.
Asal Muasal Nama Marga
Marga yang sudah menjadi identitas turun-temurun dari sebuah dinasti marga, penamaannya berasal dari berbagai sumber penamaan:
  1. Nama marga dapat terbentuk dari nama seseorang yang kemudian secara turun-temurun  menggunakan nama itu oleh keturunannya selanjutnya menjadi marga.
  2. Nama marga dapat terbentuk dari nama suatu kawasan wilayah atau tempat (Bius, Huta, Lumban, Banjar, Ruma, ) dimana komunitasnya membawakan nama daerah itu menjadi identitas untuk memperkenalkan dirinya terhadap orang lain di wilayah lain. Sehingga pada saatnya penamaan itu menjadi sebutan pengenal yang lebih dikenal sebagai daerah asal oleh orang lain.
  3. Nama marga dapat terbentuk dari sebutan-sebuatan istilah yang awalnya diberikan kepada seseorang, atau suatu tempat, atau suatu wilayah semisal berdasarkan kegiatan-kegiatan komunitas yang ada di kawasan itu, atau kebiasaan-kebiasaan yang ada di kawasan itu, atau bahkan karena penggelaran-penggelaran seseorang yang menjadi terkenal bagi orang lain sehingga keturunan selanjutnya dari kawasan dimana terbentuk pencitraan itu dengan sendirinya membawakan nama itu menjadi marga.
  4. Nama marga dapat terbentuk secara sengaja mencarikan penamaan kepada sekelompok komunitas dimana sebelumnya mereka sebenarnya sudah memiliki identitas marga dengan sebutan lain, akan tetapi karena alasan tertentu semisal adanya perselisihan diantara marga-marga kakak beradik sehingga diperlukan untuk mengganti marga itu dalam sebuah tatacara adat istiadat yang disepakati dan berlaku di wilayah itu, maka menjadilah sebuah marga baru.
  5. Dimungkinkan pembentukan marga baru dengan sengaja secara adat karena alasan perkawinan dimana jumlah penyebaran komunitas terbatas dan terkungkung dari dunia luar. Biasanya pembentukan nama marga baru secara sengaja karena alasan perkawinan ini hanya dapat terjadi setelah 7 generasi yang disebut sebagai manompas bongbong. Manompas bombong dapat juga terjadi karena keterpaksaan perkawinan yang terlarang sehingga terbentuklah marga baru sebagai marga sabungan dari marga induknya.
Oleh karena itu marga-marga Bangsa Batak tidaklah semuanya terbentuk secara bersamaan pada level generasi yang sama, namun banyak juga marga-marga terbentuk karena pecahan dari marga induknya, bahkan marga-marga itu dapat terbentuk secara bertingkat.
Marga adalah identitas keturunan, kelompok, kekuasaan, nama baik, yang menjadi sebuah dinasti keturunan dalam suatu wilayah otonomi di Tanah Batak. Terbentuknya marga pada dasarnya adalah pembentukan pengelompokan komunitas yang membawakan kemuliaan marganya masing-masing, sehingga dengan sendirinya membuka sekat-sekat larangan hubungan perkawinan diantara marga-marga, kecuali karena ada perjanjian khusus yang disebut padan.
Oleh karena itu, 7 generasi adalah ukuran waktu yang paling cepat untuk membentuk marga baru dengan alasan bahwa seseorang masih memiliki hubungan kekeluargaan secara adat-istiadat sebanyak tiga tingkat generasi diatasnya (Natua-tua, Rorobot, Bonaniari) dan sebanyak tiga tingkat generasi dibawahnya {Anak, Pahompu, Pangabis (nini-nono)}.
Namun peristiwa yang terjadi untuk pembentukan suatu marga tidaklah demikian gampangnya, akan tetapi lebih sering terjadi pembentukan marga baru karena suatu peristiwa yang dianggap pelanggaran adat yang seharusnya mendapat hukuman adat, semisal perbuatan incest satu marga antara si-perempuan dan si-lakilaki atau yang dianggap berpantang antara marga, inilah yang disebut dengan istilah manompas bongbong tadi. Keabsahan pembentuk marga baru ini karena manompas bongbong dilakukan secara adat dengan bayaran adat yang besar dan mahal yang melibatkan marga-marga yang berkaitan, seperti yang terkait dalam Dalihan Natolu.
Marga-marga baru yang terbentuk dari marga induknya disebut marga sabungan (=sambungan marga). Apabila marga-marga sabungan sudah terbentuk, marga induknya dapat saja masih dipakai keturunannya, tetapi biasanya marga induk ini tidak dipakai lagi karena berbagai alasan-alasan logis, misalnya:
  1. Marga-marga sabungan yang awalnya adalah sebagai abang beradik sudah menyebar dan berketurunan banyak generasi bergenerasi membentuk komunitas yang besar dalam jumlah membawakan marganya masing-masing, sehingga pada sekian generasi tertentu (minimal 7 generasi) sudah dapat saling kawin-mawin.
  2. Marga-marga sabungan memungkinkan membentuk marga-marga sabungan baru, dan membentuk komunitas yang banyak dalam jumlah setelah generasi bergenerasi dan dapat pula saling kawin-mawin diantara marga-marga yang terbentuk.

Marga dan Kemurnian Genaelogis
Mungkin pemahaman berikut ini dapat diteliti lebih lanjut secara genaelogis oleh para ahli bahwa hubungan darah setelah 7 generasi sudah tidak membawa efek psikologis maupun genetika, sebagaimana diuraikan pada butir-4 mengenai terbentuknya marga baru secara adat.
Pada tubuh manusia terdapat sekitar 3 miliar pembawa sifat yang disebut DNA (Deoxyrhibo Nucleic Acid) yang berbasis pada empat unsur kimia asam yang mendasar yang disebut  Adenine, Guininie, Cytocine, dan Thynine. Pada dasarnya setiap sel manusia memiliki DNA yang sama yang terdapat pada inti-sel, sementara sejumlah kecil DNA terdapat diluar inti yang disebut mtDNA.
Ilmu biologi yang sudah cukup lama menguraikan bahwa tubuh manusia memiliki sejumlah 23 chromosome yang terdiri dari 22 pasang  dimana pada permpuan dan laki-laki adalah sama yang disimbolkan sebagai autochromosom atau chromosomeX, sementara sepasan lagi disebut sebagai chromosome seksual yang disimbolkan dengan X & Y. Oleh karena itu seorang perempuan akan disebut memiliki chromosome XX, sementara laki-laki memiliki chromosome XY. Setiap chromosome disebutkan memiliki sel pembawa sifat, yang bersifat rececive dan dominant, dan pembawa sifat inilah yang ilmu sekarang disebut DNA.
Diantara chromosome-1 sampai dengan chromosome-22 terdapat sejumlah pasangan pembawa sifat (building block DNA), dan diantaranya chromosome-1 adalah yang paling banyak pembawa sifatnya yaitu sekitar 247 juta building block DNA dan yang terkecil adalah chromosome-22 yaitu sekitar 50 juta pasang pembawa sifat. Dengan demikian bahwa ada sekitar 3 miliar pasang pembawa sifat terdapat pada tubuh seorang manusia.
Upaya manusia untuk menghindarkan munculnya pembawa sifat buruk baik berupa karakter buruk atau bentuk penyakit buruk atau bentuk-bentuk cacat tubuh adalah menghindari perkawinan yang masih dekat hubungan darahnya semisal incest, oleh karena pembawa sifat buruk yang disebut rececive antara suami-istri yang masih dekat hubungan darahnya memungkinkan menjadi dominant dan muncullah sifat-sifat buruk seperti bego, dungu, bad character, cacat, dan lain sebagainya.
Sungguh bijaksana nenekmoyang Bangsa Batak memberlakukan batasan 7 generasi baru dapat melakukan penggantian marga untuk membuka tabir perkawinan sedarah (incest) sehingga orang-orang Batak cenderung terhindar dari munculnya sifat-sifat buruk yang disebutkan di atas.
Kalau Bangsa Jahudi banyak diakui sebagai bangsa super atau bangsa unggulan, namun adat mereka masih mentolerir perkawinan yang hanya berselang satu generasi (Pakcik/Pakde dengan keponakan), maka bagaimana pula tingkat superioritas Bangsa Batak yang mentolerir setelah 7 generasi? Menurut Catholic Encyclopedia bahwa perkawinan dalam 4 tingkat generasi masih dianggap sebagai perkawinan incest dan secara teologia adalah perbuatan dosa.
Bagi komunitas Bangsa Batak, perkawinan semarga merupakan perbuatan incest yang hukumannya adalah mati tanpa memandang pangkat, kedudukan seseorang di dalam status social komunitasnya. Diceritakan bahwa Pongki Nangolngolan atau dalam sejarahnya lebih dikenal sebagai Tuanku Rao adalah seorang Batak yang terlahir dari hasil hubungan incest semarga. Walaupun berasal dari keluarga raja namun hukuman tetap harus dijalankan. Demikian ketatnya hukum adat yang berkaitan dengan kemuliaan sebuah marga bagi Bangsa Batak.
Penulisan Marga
Sebagaimana diuraikan terbentuknya marga-marga, ada hal penulisan marga tersebut tidak lagi persis seperti histories awal terbentuk marga tersebut. Bila marga tersebut terbentuk dari nama seseorang sebagai nenek moyang maka sedikit kemungkinannya terjadi perubahan penulisan marga, melainkan marga-marga tersebut akan sesuai sebagaimana penamaannya dahulu.
Penamaan marga-marga dapat saja tidak terjadi perubahan penulisannya oleh karena marga-marga tersebut terbentuk atas kesengajaan membuat penamaannya yang secara sepakat dilakukan, diresmikan berdasarkan ketetapan adat. Sebagai contoh kecil bahwa untuk memberikan nama seseorang biasanya dilakukan acara adat dan ritual tertentu sehingga nama tersebut akan selamanya melekat pada diri seseorang. Demikianlah kira-kira terbentuknya penamaan marga yang tidak dapat berubah lagi penulisannya.
Kebanyakan adanya perubahan penulisan marga-marga adalah nama marga-marga yang berasal dari penamaan sebuah wilayah, kawasan, daerah, perkampungan. Memang ada juga nama kawasan atau nama daerah menjadi nama marga-marga, atau memang sebaliknya nama marga yang menjadi nama nama daerah dan sekaligus sebagai nama marga; misalnya: Ambarita, Aruan, Bakkara, Barus. Tetapi kebanyakan nama-nama suatu tempat yang bila berubah menjadi nama marga maka penulisannya selayaknya harus berubah, misalnya nama marga-marga yang berasal dari nama tempat seperti: Banjar (deretan rumah dalam suatu kawasan/kampung), Banua (benua, kawasan luas), Dolok (gunung), Huta (kota = kampung), Lumban (daerah dimana terdapat rumah-rumah tempat tinggal), Ruma (rumah, tempat tinggal).
Berikut adalah contoh-contoh penulisan marga yang benar:
Nama Tempat
Penulisan Marga
Salah Penulisan
Banjar Nahor
Banjarnahor
Banjar Nahor
Banua Rea
Banuarea
Banua Rea
Dolok Saribu
Doloksaribu
DL. Saribu
Huta na Barat
Hutabarat
Ht. Barat, Huta Barat
Huta Galung
Hutagalung
Ht. Galung, Huta Galung
Huta Soit
Hutasoit
Ht. Soit, Huta Soit
Huta Haean
Hutahaean
Ht. Haean, Huta Haean
Huta Julu
Hutajulu
Ht. Julu, Huta Julu
Huta Pea
Hutapea
Ht. Pea, Huta Pea
Huta Suhut
Hutasuhut
Ht. Suhut, Huta Suhut
Huta na Buruk
Hutauruk
Ht. Uruk, Huta Uruk
Lumban Batu
Lumbanbatu
Lbn. Batu, Lumban Batu
Lumban Gaol
Lumbangaol
Lbn. Gaol, Lumban Gaol
Lumban na Hor
Lumbannahor
Lbn. Nahor, Lumban Nahor
Lumban Pea
Lumbanpea
Lbn. Pea, Lumban Pea
Lumban Raja
Lumbanraja
Lbn. Raja, Lumban Raja
Lumban Siantar
Lumbansiantar
Lbn. Siantar, Lumban Siantar
Lumban Toruan
Lumbantoruan
Lbn. Toruan, Lumban Toruan
Lumban Tungkup
Lumbantungkup
Lbn. Tungkup, Lumban Tungkup
Ruma Horbo
Rumahorbo
Ruma Horbo
Ruma Pea
Rumapea
Ruma Pea
Ruma Singap
Rumasingap
Ruma Singap
Ruma Sondi
Rumasondi
Ruma Sondi
Pemberian Marga (Mangain)
Apabila seseorang dari etnis bukan Batak yang karena sesuatu hal harus memiliki marga, agar dapat masuk dalam tatanan kekerabatan semisal dalam hal perkawinan, maka marga tersebut dimilikinya disyahkan dalam suatu prosesi adat yang berlaku dalam komunitas Batak sehingga penerapan Dalihan Natolu dan Tarombo dapat dijalankan.
Kalau pemberian marga kepada seorang perempuan asing (sileban) memang harus diberikan supaya pelaksanaan adat-istiadat yang berkaitan dengan Dalihan Natolu dapat dilangsungkan. Untuk kasus pemberian marga kepada perempuan asing dapat lebih mudah disetujui oleh pemberi marga oleh karena marga yang disematkan kepadanya hanya dipakai oleh dirinya sendiri dan tidak diturunkan kepada keturunannya. Jadi, pemakaian marga tersebut oleh dirinya hanya berlaku dalam satu generasi saja, walaupun dalam kaitan tatanan adapt istiadat memungkinkan berlaku sampai 7 generasi seperti yang disebutkan sebelumnya.
Lain halnya apabila pemberian marga diberikan kepada seorang laki-laki asing sileban). Walau dimungkinkan, namun pemilik marga (kelompok) harus melakukan proses panjang dan rumit untuk pemberian marga tersebut, disamping berbiaya yang cukup tinggi. Prinsip semua adalah raja sangat kental berlaku diantara kelompok marga ini, karena hak memiliki marga tertentu ini merupakan dinasti marga turun temurun sampai kepada diri pribadi masing-masing. Kepemilikan marga kepada seseorang berkaitan erat dengan harta benda waris secara turun-temurun semisal hak ulayat atas tanah, hak waris atas tanah, hak-hak yang berkaitan dengan pemanggilan yaitu yang berkaitan dengan hierarchi kelompok kakak beradik (partubu), termasuk urutan generasi yang berkaitan dengan Ruhut-ruhut Partuturan, dan tentu pula berkaitan dengan Ruhut-ruhut Parhundulan yang dengan sendirinya mengatur posisinya dalam suatu prosesi adapt-istiadat.
Seseorang yang sudah memegang marga melekat pada dirinya, maka pada dirinya sudah melekat pula identitas baku yang tidak dapat dihapus oleh siapapun, bahkan oleh dirinya sendiri tidak dapat menghapusnya, karena identitas marga bukan saja sebagai milik pribadi, tetapi milik sebuah komunitas yang disebut dinasti marga. Seseorang yang memiliki marga ini dengan sendirinya sudah menjelaskan siapa dirinya dalam sebuah kelompok dinasti marga. Dirinya adikenal dari kelompok leluhur dalam satu marga tersebut (partubu parompuon). Dirinya juga akan dikenal dari urutan generasinya (penomoran generasi).
Peresmian pemberian marga kepada seorang laki-laki sileban dilakukan dalam suatu tahapan prosesi adat yang panjang. Tujuh (7) ekor kerbau merupakan syarat utama sebagai simbolisasi 7 generasi yang akan saling berhubungan dalam suatu tatanan adat-istiadat (paradaton), disamping hal-hal lain yang menyangkut materi harta (parartaon), karena akan menyangkut kepada kewajiban dan hak membawakan nama marga tersebut selama-lamanya.
Hal-hal yang dijalankan dalam rangkaian prosesi adat untuk pemberian dan penyematan marga kepada seorang laki-laki sileban adalah:
  1. MARHUSIP. Satu dinasti marga yang akan memberikan marganya kepada seorang laki-laki sileban, harus berkumpul untuk membicarakan. Setiap memulai pembicaraan prinsipil harus dilengkapi dengan hidangan makanan, karena adat umum yang berlaku di Bangsa Batak bahwa peristiwa penting yang dibicarakan mengharuskan demikian (pangkataion diatas ni sipanganon). Oleh karena yang akan membicarakan adalah raja-raja dari beberapa leluhur dalam satu marga (partubu parompuon), maka makan utama yang biasa dihidangkan adalah dari daging babi (namarmiakmiak) lengkap yaitu daging cincang dimasak dengan darahnya (sangsang), dengan menyediakan potongan besar daging yang dimasak bersamaan (tango-tanggo) untuk simbol pembagian hak bicara (parjambaran) terbatas. Yang ikut dalam pembicaraan ini, disamping dari kelompok keluarga yang akan diberikan marganya, biasanya dari tingkatan kakek, bapak, anak, termasuk dari pihak perempuan (boru) dari satu klan parompuon terdekat. Kemudian harus dihadiri oleh raja-raja parompuon satu marga secara lengkap sebagai mewakili kelompok parompuon yang ada pada dinasti marga tersebut. Hasil pembicaraan akan menyangkut persetujuan dari semua raja-raja termasuk mengenai kesepakatan pemberian hak penomorannya, hak-hak atas harta waris, hak ulayat. (Sifat-sifat pertemuan ini adalah marhusip-husip).
  2. PATUA HATA. Tahap kedua juga harus diadakan pertemuan dengan menghadirkan raja-raja sebagai perwakilan yang termasuk dalam unsur Dalihan Natolu, yaitu raja-raja partubu, tingkatan hula-hula dan tulang baik dari pihak suami maupun pihak istri yang akan mengangkat marganya kepada laki-laki sileban itu, kemudian perwakilan dari raja ni boru. Pembicaraan ini bersifat memunculkan hasil pembicaraan pada butir-1 kepada pihak perwakilan hula-hula/tulang untuk mendapat persetujuan atas pertimbangan kepentingan kewajiban dan hak yang berlaku menurut adat. Penganan utama yang disediakan adalah namarmiakmiak dengan parjambaran lengkap untuk mewakili keterwakilan Dalihan Natolu yang hadir pada pertemuan itu. Tahapan pertemuan ini dapat dikategorikan sebagai Patua Hata.
  3. TONGGO RAJA. Tahapan ketiga dilakukan pertemuan dan dihadiri oleh raja-raja sebagai perwakilan yang disebutkan pada butir-1. Inti dari pembicaraan ini adalah pengaturan untuk merencanakan sebuah pesta besar yang melibatkan banyak pihak dari unsur-unsur Dalihan Natolu. Pada pertemuan ini diberlakukan juga parjambaran terbatas seperti pada butir-1. Namun untuk menjamin akan berlangsungnya pesta yang sukses makan kepada raja-raja perwakilan harus dilengkapi dengan bentuk parjambaran lainnya seperti pemberian piso-piso yang berupa symbol harta atau uang.
  4. PESTA (HORJA). Pengadaan pesta besar dimaksudkan untuk memberitakan kepada masyarakat Bangsa Batak bahwa seseorang sudah resmi menyandang marga. Dalam hajatan ini penganan utama adalah kerbau yang dilengkapi dengan potongan parjambaran.
(Catatan: Pada jaman dahulu, sebelum masuknya agama impor yang menggantikan Agama Mulajadi, penganan yang diberlakukan oleh Bangsa Batak adalah penganan yang banyak diternakkan atau yang banyak terdapat di Tanah Batak antara lain: Ayam, Ihan, Babi, Kerbau, Gajah. Jaman sekarang secara perlahan berangsur-angsur berubah sesuai dengan faham agama yang dianut oleh masyarakat Bangsa Batak).
Pada jaman dahulu, pelaksanaan pemberian marga ini banyak juga berlangsung dalam komunitas Bangsa Batak terutama Bangsa Batak yang banyak berhubungan dengan bangsa asing semisal di perbatasan wilayah Tanah Batak. Oleh karena perdagangan banyak berlangsung di pesisir atau pusat-pusat perdagangan, maka pembauran ini menuntut terlaksananya pemberian marga dan bahkan pembentukan marga baru (tompas bongbong). Wilayah-wilayah perbatasan Tanah Batak yang berhubungan dengan masyarakat Internasional ini adalah seperti di Tanah Batak Selatan, Tanah Deli, dan Pesisir Pantai. Oleh karena itu pembentukan marga atas pemberian marga ini terdapat di kawasan Mandailing dan Kawasan Tanah Karo.
Yang perlu menjadi perhatian, setelah kejadian pemberian marga atas bangsa asing (sileban) sudah berlangsung 7 sampai 10 generasi, apakah mereka secara kultur dan adapt istiadat masih mengakui bahwa mereka menjadi salah satu komponen Bangsa Batak. Tanah Ulayat dan Harta Warisan sudah menjadi hak yang baku kepada mereka karena secara adat pada jaman dahulu sudah syah menjadi Batak Bermarga, dan apabila sekarang dan dikemudian hari ada marga ini yang menyangkal sebagai komponen Bangsa Batak, maka apa pendapat Bangsa Batak? Apa tindakan Bangsa Batak? Apa rencana Bangsa Batak dikemudian hari mengenai pemberian marga kepada orang asing (sileban)?